Setelah acara buka puasa bersama itu, aku dan Zen lebih sering berkomunikasi. Yang namanya berkirim pesan lewat SMS dalam sehari bisa mencapai 50 pesan. Bahkan bisa lebih. Telepon juga, kadang sampai tiga kali sehari, udah kayak minum obat aja, hehe. Itu biasanya terjadi sehabis sholat subuh dan setelah sholat tarawih.
Aku akan menceritakan kejadian-kejadiannya, mencoba mengurutkan sesuai waktu terjadinya. Karena ini merupakan bagian dari sejarah.
Aku kadang seperti bingung sendiri sampai sekarang. Kenapa aku dulu bisa sangat mementingkan Zen daripada pacarku sendiri. Padahal aku sudah pernah bilang bahwa Zen tidaklah ganteng dan keren penampilannya. Aku juga sempat tidak menggubrisnya serta bersikap cuek terhadapnya. Ini bukan rasa cinta. Tapi entah apa. Mungkin kalau kalian jadi diriku pada saat itu,kalian juga akan mengalami perasaan seperti yang aku rasakan. Rasa dimana ada seoranp cowok yang sikapnya lebih manis dibanding pacar sendiri. Dan rasa itu tidak tersedia di dalam roti yang dijual dengan harga seribuan di warung.
Seperti malam itu, ketika aku sedang ditelepon pacarku tetapi kemudian ada telepon masuk juga dari Zen. Cuma miskol. Mungkin dia tahu aku sedang menerima telepon dari orang lain. Jadi dia mengalah. Aku langsung SMS ke dia.
"Ada apa?"
"Cuma ingin ngobrol, boleh?" begitu balasnya.
Aku sudahi telepon dengan pacarku. Lalu aku menelepon Zen. Langsung diangkat. Aku yakin pasti saat itu dia girang banget ditelepon oleh diriku.
"Halo.." sapaku.
"Halo.." dia membalas sapaanku.
"Lagi apa om?"
"Lagi tiduran, dan ditelepon sama kamu.."
"Dimana?"
"Diatas pohon, bersama raja semut, hehe.." jawabnya bercanda.
"Ih, om Zen.. Serius, dimana?" tanyaku.
"Dikamar.. eh, kamu tahu lagunya Muse nggak?" dia bertanya padaku.
"Ngerti.." jawabku singkat.
"Suka nggak?"
"Suka.. tapi aku ngertinya yang lagu itu aja, apa itu judulnya yang.. yang.."
"Starlight?" dia menyela.
"Bukan.."
"Histeria?"
"Bukan.. lagunya itu melow banget, pokoknya kalau disetel malam-malam dingin itu cocok banget.. judulnya aku nggak tahu, susah ngucapnya." jelasku.
"Oh, itu Unintended kayaknya.." kata Zen.
"Mungkin.. coba nyanyinya gimana?"
"Sebentar.. aku ambil gitar dulu, dengar sampai lagunya selesai ya.." pintanya.
"Iya.."
Malam itu, tanggal 24 Juli tahun 2014, dia menyanyikan lagu Unintended untukku. Aku suka. Walaupun suaranya pas-pasan, hihihi. Buat yang mau tahu lirik lagunya seperti apa, aku berbaik hati menuliskannya.
UNINTENDED
You could be my unintended
Choice to live my life extended
You could be the one I always love..
You could be the one who listens
To my deepest inquesition
You could be the one I always love..
I'll be there as soon as I can
But I'm busy mending broken
Pieces of the life I had before..
You could be the one who challenge
All my dreams and all my balance
She could never be as good as you..
You could be my unintended
Choice to live my life extended
You should be the one I always love..
Dan pada saat Zen menyanyikan itu untukku. Akupun sebenarnya ikut bernyanyi dengan suara pelan dikamarku.
Selanjutnya kami ngobrol santai sambil sesekali nyanyi-nyanyi bareng ditelepon. Biasanya aku dulu yang mulai bernyanyi, lalu Zen mengikuti. Lagu apa saja yang aku ingat, aku nyanyikan. Kadang aku sengaja menyelipkan lagu yang menggambarkan perasaanku kepada Zen. Karena aku tidak mungkin mengatakannya jika harus sengaja mengatakannya. Jadi dengan lagu aku bisa bebas mengungkapkan perasaanku.
"Kamu cita-citanya, ingin jadi apa?" tiba-tiba Zen bertanya setelah tadi aku bernyanyi lagu Titanium.
"Apa om? Maaf, tadi nggak dengar." kataku agar Zen mengulangi pertanyaannya.
"Kamu cita-citanya, ingin jadi apa bulek?" ulangnya.
"Jadi dokter," jawabku mantap.
"Bagus.. Nanti setelah lulus SMA lanjut ke Universitas mana?"
"UGM, Fakultas Kedokteran," jawabku dengan semangat.
"Semoga bisa masuk kesana ya.."
"Iya, aamiin.."
"Waah, nanti aku panggil kau bu dokter ya?"
"Hehehe." aku hanya tersenyum.
"Belajar yang rajin ya, Bulek.."
"Iya, Oom.."
"Tapi, hati-hati juga di dunia perkuliahan.. jaga diri baik-baik.." katanya.
"Memangnya kenapa Om?" tanyaku penasaran.
"Cewek secantik kamu, pasti bakal jadi incaran banyak cowok dikampus.. dan aku takutnya, mereka hanya ingin merusak dirimu.. sudah banyak contohnya kan? Aku tak ingin kau diganggu orang-orang seperti itu.."
"Iya om, terima kasih sudah mengingatkan," kataku.
Zen banyak bercerita tentang kehidupan mahasiswa dan kampus padaku. Yang membuat aku jadi tambah wawasan, tambah mengerti, dan membuka pemikiran. Aku rasa, dia adalah sosok yang aku inginkan. Dia bisa berperan sebagai teman sekaligus kakak bagiku. Iya, aku anak pertama, jadi aku tidak pernah mengerti rasanya punya kakak yang bisa melindungi dan menyayangiku. Dan juga bisa ada untukku setiap aku membutuhkannya. Seperti Superhero di film-film.
"Oom, aku ngantuk, aku bobok duluan ya.." kataku lirih.
"Iya bulek dokter.. hehe.."
"Ah, apaan sih om.." aku tersipu.
"Eh, jangan ingat aku ya.." Zen berkata.
"Kok gitu?" tanyaku heran.
"Biar aku saja yang mengingatmu, dan mengucapkan selamat tidur untukmu.." kalimatnya itu membuat aku terpana dan tersanjung. Tidak seperti pacarku yang mintanya selalu diingat dan ketemu dimimpi. Zen malah tidak ingin diingat tetapi dia sendiri yang akan mengingat diriku. Dan kalian harus tahu, aku melanggar ucapan Zen. Iya, aku malah mengingatnya serta mengucapkan selamat tidur untuknya.
"Selamat tidur juga Oom Zen.."
***
Paginya masih gelap dan dingin. Aku dan nenekku habis sholat subuh di mushola Al Amin. Sesampai dikamarku dan mengecek hape-ku, ternyata ada pesan masuk. Kalian pasti sudah tahu siapa pengirimnya.
"Jalan-jalan yuk!"
"Kemana?" tanyaku membalas pesan dari Zen.
"Keliling Daerah Istimewa Mlokolegi aja tuan Putri.. Melihat negerimu dan kehidupan rakyatmu, aku yang jadi pengawal, hehe.."
"Apaan sih?" aku jadi malu. Dia memang suka berimajinasi yang aneh-aneh, kayak anak kecil.
"Kamu kan saat ini cewek tercantik di Daerah Istimewa Mlokolegi, jadi semua orang harus tahu bahwa kamu juga tidak sombong untuk menyapa rakyat-rakyatmu disini.. mau nggak?"
"Dingin.. hehe, kapan-kapan aja ya.. lagian aku malu kalau jalan sama cowok yang bukan keluargaku, nanti dikira pacaran.." alasanku menolak adalah takut ada yang melihatku kemudian melapor pada ibuku.
"Ah, baiklah.. kapan-kapan," Zen mengiyakan.
"Aku juga kalau mau keluar harus minta izin ke nenekku.. nggak apa-apa kan?"
"Oke.." jawabnya singkat.
"Sebenarnya aku ingin menyanyikan lagu untukmu, tapi nanti aja ya kalau telepon.."
"Lagu apa?" Zen bertanya.
"Ada deh.. Hahaha"
"Ah kau.."
"Om sudah dulu ya, assalamu'alaikum.." aku mengakhiri SMSan itu karena pacarku menelepon.
***
Matahari mulai menampakkan sinarnya. Menyinari bumi dan jutaan bulir-bulir embun dipucuk dedaunan serta rerumputan Daerah Istimewa Mlokolegi. Aku sedang menyapu lantai karena disuruh. Capek juga walau sudah terbiasa. Sayup-sayup aku mendengar handphone-ku berbunyi. Mungkin ada yang menelepon. Iya benar, ada yang menelepon. Dan itu adalah mahluk yang tampaknya suka sekali menggangguku dan membuang waktuku. Tetapi aku suka diganggu olehnya. Zen.
"Halo.." aku berbicara.
"Halo.." suara Zen disana.
"Ada apa?"
"Ada aku disini.. hehe.. sedang apa sekarang?" dia bertanya.
"Tadi sedang menyapu, tapi sekarang sedang berbicara denganmu.." jawabku.
"Apakah aku mengganggu?"
"Nggak," jawabku singkat.
"Oh iya, tadi katanya mau nyanyi buat aku.. lagu apa?" dia menagih janjiku.
"Hehe, itu.. emmm, lagunya Padi.."
"Yang judulnya apa?"
"Itu, Harmoni.." jawabku.
"Oh iya, aku tahu.."
"Dengar ya," pintaku.
"Silakan menyanyi, aku mendengar.." katanya.
Asli aku menyanyikan lagu itu dari awal sampai akhir. Kadang Zen juga ikut bernyanyi pas masuk bagian reff.nya. Lagunya bagus, berisi tentang kehidupan sebagai manusia didunia.
Aku juga berbaik hati menuliskan liriknya untuk kalian baca.
Harmoni
Aku mengenal dikau
Tak cukup lama
Separuh usiaku
Namun begitu banyak
Pelajaran
Yang aku terima
Kau membuatku mengerti hidup ini
Kita terlahir bagai selembar kertas putih..
Tinggal kulukis dengan tinta pesan damai
Dan terwujud harmoni..
Segala kebaikan
Takkan terhapus
Oleh kepahitan
Kulapangkan resah jiwa
Karena kuyakin
Kan berujung indah..
"Sudah om.." kataku.
"Suaramu bagus," Zen memuji.
"Terima kasih, tapi menurutku biasa aja kok," aku merendah.
"Beneran, bagus.. lain kali nyanyi bareng yuk, mau?"
"Nggak ah, malu, hehe.."
"Tadi, lagu itu kau nyanyikan untukku?"
"Hu-um," aku menjawab sambil tak sadar mengangguk, padahal dia nggak akan melihat. Ekspresiku saat itu adalah menggigit bibir bawah dan memegangi sapu.
"Terima kasih.. sudah mau menyanyikan.."
"Sama-sama om, sudah mau mendengarkan.."
"Eh, jangan lupa sarapan ya.."
"Iya, eh nggak ding, ini kan masih puasa om.. Hahaha"
"Oh iya, lupa, hehe.."
"Ah om Zen udah tua, pelupa, hahaha.."
"Heheh.. Baiklah.. Aku mau beraktifitas dulu ya.. Udahan ah.." katanya.
"Iya om, terima kasih sudah menelepon," kataku.
"Terima kasih juga sudah mau diganggu.."
"Hahaha.." aku tertawa.
"Boleh assalamu'alaikum nggak nih?"
"Ya, assalamu'alaikum.." kataku.
"Wa'alaikumsalaam.." balasnya.
Telepon aku tutup. Aku melanjutkan aktifitasku. Bulan puasa hampir selesai. Seperti sudah dijadikan tradisi, jika harus bersih-bersih rumah untuk menyambut lebaran Idul Fitri. Kali ini aku semakin semangat melakukan aktifitasku. Sambil bernyanyi dan sesekali menari bagai penari balet. Nenekku hanya tersenyum melihat tingkah cucunya yang paling cantik ini tiba-tiba jejingkrakan kayak orang kesurupan. Untung mak Kutis tidak lewat dan melihatku. Tapi aku yakin dia pasti mendengar suaraku yang sedang bernyanyi. Hari itu aku benar-benar semangat. Karena dia. Zen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar