SEPEDA DINDA
Sorenya sedang cerah. Angin bertiup agak kencang di daerah sekitarku. Banyak orang bermain layang-layang di pesawahan dekat tempatku berada. Aku sedang duduk santai di teras sambil memainkan gitar. Lagunya The Rock yang berjudul Munajat Cinta. Aku sudah mandi.
Aku baru saja akan menggenjreng lagu kedua ketika tiba-tiba kulihat ada cewek naik sepeda, berbadan kurus dan berkacamata, berhenti di depan gerbang. Dia melambaikan tangan padaku.
"Haaaaiiii.." sapanya sambil tersenyum lebar. Aku segera berjalan menuju pintu gerbang.
"Eh, Dinda?" tanyaku kaget.
"Kenapa?" dia balik bertanya.
"Kamu naik sepeda dari rumah?" tanyaku sambil membuka pintu gerbang.
"Iya.. tadi tuh aku di jalan ngebut, pokoknya kalau jam lima belum sampai di sini, aku puter balik.. Eh, ternyata sampai sini pas banget jam lima kurang semenit.. Hahaha.." jelasnya diiringi nafas yang ngos-ngosan.
"Sini masuk, istirahat dulu.. bawa minum sendiri kan seperti biasa?"
"Ya iyalah, nggak boleh lupa bawa minum.." jawabnya.
"Duduk di sana yuk," ajakku kepada Dinda untuk duduk di bangku kayu.
"Tahu nggak? Aku tuh tadi perginya diam-diam.. biar nggak dilihat Sena.. hehehe," ujarnya sambil berjalan menuju bangku.
"Emang kalau lihat kamu pergi Sena mau ikut?" aku bertanya.
"Nggak, tapi sepedanya itu nggak boleh dipakai aku, katanya itu sepedanya mommy Sena, bukan sepedanya buyek Didi, hahaha.." Dinda menjelaskan.
"Oo gitu.."
"Iya, padahal kan itu sepedaku, hadiah ulang tahun waktu usiaku sepuluh tahun.. jadi sudah kupakai sejak sekolah es-de, es-em-pe, es-em-a.."
"Kuliah juga pakai sepeda itu?"
"Iya, kuliah juga pakai sepeda itu.."
"Wow.."
"Nanti sebelum maghrib aku pulang ya, Mas?" Dinda memberitahukan.
"Cepet banget, habis maghrib aja Dek.. kamu pasti masih capek kan, gowes tujuh kilometer sambil ngebut.."
"Udah biasa.. kan dulu waktu kuliah malah lebih jauh dari ini.. dari rumah sampai ke kampus satu jam perjalanan.." bela Dinda.
"Hihihi.. oh iya ding, dari rumah kamu sampai UGM kan lumayan juga ya?" komentarku.
"Kandani og (sudah kubilang kan?)."
"Oh, yaudah ngobrol-ngobrol dulu sebelum pulang.. nanti aku ikut sampai Giwangan ya.."
"Ngapain ke Giwangan?"
"Bayar bawang ke tempat Broto, itu temanku yang biasa antar belanjaan ke sini, kemarin bawang merahnya lupa belum tak bayar, hehehe.."
"Modus aja.. Ya kan?" Dinda menggoda.
"Nggak, beneran ini.."
"Alaaa.. iya juga nggak apa-apa kok, Mas, biar bisa boncengan naik sepeda bareng, biar kayak di film-film itu.. Hahaha.."
"Yaudah, iya.. hehe.."
"Hmmm.. Eh, aku udah cerita kalau mau ikut sertifikasi belum?" tutur Dinda.
"Udah, yang kamu gagal itu kan?" timpalku.
"Bukan.. bukan yang itu.." sergah Dinda.
"Oh, berarti belum, gimana?" lanjutku.
"Aku nanti Sabtu ikut sertifikasi, tempatnya di Solo.." Dinda menjelaskan.
"Butuh ditemani?" tawarku.
"Nggak usah, berangkatnya dari sini bareng-bareng kok, ada sepuluh atau sebelas orang gitu, nanti hari Jumat berangkat," lanjut Dinda.
"Semoga berhasil ya, Dek.." doaku.
"Aamiin," diamini Dinda.
"Eh, kamu tahu nggak?"
"Apa?"
"Tadi siang aku sempat berpikiran untuk pergi ke Klenggotan, nyusul kamu ke rumah Lembayung," ujarku.
"Ngapain?"
"Cuma pingin ketemu aja, tapi nggak jadi, panas banget," jelasku.
"Hahaha.."
"Terus sempat kepikiran juga begini, kalau hari ini kamu nggak datang kesini, aku yang akan datang ke rumahmu.." tambahku lagi.
"Edaaan, segitu rindunya kah?"
"Soalnya, kan biasanya tiap hari Rabu kamu datang kesini setelah selesai ngasih les Lembayung.. dan aku menunggu kamu sejak jam setengah empat sore.."
"Aku ngangenin ya? Hahaha.." Dinda tertawa puas.
"Iya, sini sun dulu.."
"Nggak mau, weeek!"
"Yaudah, foto aja, berdua.."
"Oke, tapi ada syaratnya," ujar Dinda.
"Apa?" tanyaku.
"Carikan tangkai daun walisongo yang jumlah daunnya sembilan.." Dinda berkata sambil menunjuk ke pohon Walisongo yang ada di sampingnya.
"Gampang banget, Dek.." aku berkata sambil bergerak menuju ke pohon Walisongo dan kemudian memetik satu tangkai yang berisi sembilan daun, "nih, langsung dapat, hehehe.."
"Mana? hitung dulu," Dinda belum percaya.
"Ini.. satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan.." kataku semangat.
"Oh tidaaak! Ya ampuun, ternyata benar.. Hahaha.. aku salah ngasih tantangan.." Dinda tertawa.
"Ayo, sini foto naik sepeda berdua.. Week," ajakku. Dinda menuruti. Tapi yang terfoto hanya manusianya saja, sepedanya nggak kelihatan.
"Akhirnya, aku terekspos juga.."
"Hehehe."
"Mas, jadi ke Giwangan nggak?" Dinda bertanya padaku.
"Jadi.. bentar, aku taruh gitar di kamar dulu," jawabku sambil membawa masuk gitar. Aku naik ke kamarku dan meletakkan gitar, mengambil hape, tas, topi, dan ganti celana.
"Tadi pagi tuh aku di suruh sarapan sama ibu, tapi aku kabur, hehehe.." terdengar Dinda berbicara dari bawah.
"Kamu, tuh, setiap disuruh makan kok malah nggak mau to Dek, malah kabur, nanti pingsan lho," kataku.
"Males.."
"Dasar, eM-eM-eS," kataku pada Dinda setelah aku sampai di dekatnya.
"Apa itu eM-eM-eS?" tanya Dinda.
"Manusia Malas Sarapan.." jawabku sambil mengacak rambut Dinda.
"Awwww.."
"Yaudah, yuk berangkat!" ajakku setelah menyalakan lampu bangunan karena, akan aku tinggal.
"Yuuk."
Dinda menuntun sepeda keluar menuju jalanan. Aku dibelakangnya, masih mengunci pintu gerbang. Banyak juga pesepeda yang lewat di jalanan depan tempatku. Beberapa detik kemudian aku sudah siap naik sepeda Dinda. Aku duduk di depan sebagai sopirnya. Dinda duduk di belakang.
Sorenya menjadi asyik ketika kami sudah melaju bersama sepeda yang aku kayuh dengan santai. Melewati Hotel Grand Dafam, lewat depan Jogja Expo Center, lewat depan kantor Satpol Pe-Pe juga, diantara banyaknya motor dan mobil.
"Kayaknya ban belakang agak kempes deh," ujar Dinda.
"Iya kah?" tanyaku, "tapi tadi waktu di cek masih banyak anginnya.."
"Tadi kan belum dinaiki," jawab Dinda.
"Yaudah nanti kita cari tukang tambal ban, biar ditambah anginnya." Usulku.
"Kukira mau kamu tiup pakai mulut, Mas, hehe.." canda Dinda.
"Ogah, wek!"
"Eh, itu di depan ada tukang tambal ban, waah.. nggak jadi lihat kamu niup ban, deh, hahaha.." Dinda menunjukkan. Kami lalu berhenti sejenak untuk mengisi angin. Itu lokasinya sebelum perempatan lampu merah Gedong Kuning.
"Pak, tambah angin, Pak.." kataku pada bapak tukang tambal ban.
"Depan atau belakang?" dia bertanya.
"Dua-duanya Pak," jawabku.
"Yang belakang sudah lumayan full ini.."
"Tapi kalau dinaiki berdua agak kempes Pak, kata nona manis ini.." kataku sambil menunjuk ke Dinda. Dindanya senyum-senyum.
"Iya.." kata si bapak. Nggak ada satu menit semua ban sudah terisi penuh.
"Berapa, Pak?" aku menanyakan biayanya.
"Dua ribu.." jawab si Bapak.
"Ini, Pak, terimakasih ya.." kataku sambil menyerahkan satu lembar uang dua ribuan.
"Lanjut lagi kita Dek.. kamu gantian depan ya.." tawarku pada Dinda.
"Nggak mau.." tolak Dinda.
"Yaudah, bilang satu.. dua.. tiga.. Gitu ya sebelum sepedanya aku gowes.."
"Nggak mau juga.. hehe," Dinda berujar manja.
Sepeda kembali melaju ke arah selatan. Melewati lampu merah perempatan Gedong Kuning. Dinda menyuruhku untuk terus menyeberang walaupun lampunya masih merah.
"Jalan terus aja, Mas," suruh Dinda.
"Tapi, kan, lampunya masih merah itu, Dek," timpalku.
"Nggak apa-apa, kita kan naik sepeda.."
"Sepeda juga kan kendaraan.."
"Ihhh.. nurut peraturan banget sih?" Dinda kesal.
"Yaudah, deh.. kita jalan terus nih.." aku luluh juga. Tapi tetap waspada dan pelan-pelan nyeberangnya.
"Ngapain lewat pinggiran, Mas?" tanya Dinda padaku yang membawa sepedanya terlalu ke pinggiran jalan.
"Biar aman.. udah lah, kamu nurut sama sopirnya aja.. hehehe.."
"Oke deh.."
Setelah melewati perempatan Gedong Kuning, kami terus melaju ke arah selatan. Sempat melewati Kantor Kelurahan Banguntapan juga, yang membuat aku bertanya.
"Dinda, kamu tahu di mana letak Kantor Kecamatan Banguntapan?" aku bertanya pada Dinda.
"Tahu.." jawabnya singkat.
"Di daerah mana?" Aku bertanya lagi.
"Di Baturetno, daerah Ngipik.." jawab Dinda.
"Oo.. Kok nggak di daerah Banguntapannya ya?"
"Ya, aku nggak tahu kalau itu.."
"Yaudah, deh, nggak usah dipikirkan.." kataku sambil menggowes sepeda agak cepat, sampai melewati ibu-ibu yang juga naik sepeda di depan kami. Sepeda kami agak keluar dari jalur sepeda.
"Kula rumiyin nggih, Bu.." kalimat bahasa Jawa yang artinya, saya duluan ya Bu. Basa-basi biar kelihatan sopan.
"Mas, nanti di lampu merah perempatan PLN jalan terus aja kayak tadi ya.." pinta Dinda.
"Siap grak! Kebetulan pas ijo tuh.." ujarku.
"Wah, iya.. ayo.. ayo semangat gowesnya.." ujar Dinda heboh.
"Dek.." aku memanggil Dinda.
"Ya, ada apa?" jawabnya.
"Perasaan dulu kamu pernah bilang, kalau naik motor sama ibu, kamu selalu taat peraturan, walaupun ibu mu hanya meyuruh untuk berhenti di ruang tunggu sepeda?"
"Itu kan kalau naik motor, beda dengan sepeda, hehe.."
"Oo.. begitu.."
"Iya.."
Perjalanan masih berlanjut pembaca. Terus bergerak ke selatan. Melewati Yogyatourium punya Dagadu. Melewati percetakan buku Erlangga. Oh, melewati Gedung Kehutanan juga. Melewati banyak deh pokoknya. Sampai kemudian tiba di lampu merah pertigaan Kota Gede.
Aku bawa sepeda itu melaju lurus bersama Dinda yang masih setia duduk di belakangku. Sudah mulai senja kala itu. Memasuki gerbang Kota Gede yang terkenal dengan kerajinan peraknya.
"Dek, sepedamu ini walaupun udah enam belas tahun masih enak juga ya dipakai.." aku membuka percakapan lagi.
"Iya doong.. siapa dulu dong yang merawatnya.. Bapakku.. hehehe.." jawab Dinda.
"Iya, ini kelihatan kayak masih baru lho.. bodinya, rodanya, bahkan stelan giginya juga masih enak.." tambahku.
"Siapa dulu dong.. bapakku.. hehehe.."
"Kukira kamu yang merawat, ternyata.. bukan.. hihihi," timpalku. Obrolan tentang sepeda Dinda pun terus berlanjut sepanjang jalan di area Kota Gede.
"Dulu tuh kalau kuliah, aku parkir sepedanya bukan di tempat parkir sepeda umum, tapi di tempat parkir sepeda yang khusus punya UGM, yang kayak sepeda di Malioboro itu.." cerita Dinda.
"Kenapa dek, kok gitu?" tanyaku.
"Soalnya kalau aku lupa bawa kunci, kadang sepedanya suka di pakai sembarangan sama mahasiswa lain yang ngerti kalau itu sepedaku.. jadi, tanpa izin langsung dibawa aja gitu.." jelas Dinda.
"Hihihi, emang yang kuliah disitu yang naik sepeda cuma kamu?" aku bertanya lagi.
"Bisa dipastikan begitu.. hahaha.. Aku sampai pernah dipinjami kunci sama Pak Satpam yang jaga tempat parkirnya.." lanjut Dinda.
"Sudah terkenal berarti sepedamu itu, hahaha.."
"Kadang kalau aku males pulang naik sepeda juga ku tinggal di kampus kok, keren kan? Hahaha.."
"Terus, pulangnya naik apa?" tanyaku.
"Kadang nebeng teman, kadang naik Trans Jogja sampai terminal.." jawabnya diikuti teriakan yang membuat aku kaget, "Oiiiii MAAS!!!"
"Ada apa, Dek?" tanyaku.
"Itu, aku kenal tukang cilok itu, suaminya temanku.. hehe.." kata Dinda sambil menunjuk seorang tukang cilok yang sedang mangkal di area trotoar Kota Gede, yang barusan kami lewati.
"Oh, iya ya, dulu kan kamu sempat kerja di sekitar sini ya?"
"Iya bener.." jawabnya, yang kemudian diikuti suara yang lantang lagi dari Dinda, "Pak Bahriiiiiiiii!!"
Entah orangnya yang mana aku tak tahu. Yang dipanggil juga mungkin nggak tahu kalau itu suara Dinda. Kami terus melaju hingga sampai di Pasar Kota Gede. Aku tetap membuat sepeda berjalan lurus ke arah selatan.
"Ada yang kamu kenal lagi nggak, Dek di sekitar sini?" tanyaku bercanda.
"Ada, itu.. yang punya warung di tikungan sana.. aku dulu biasa beli plastik disitu.." Dinda berkata sambil menunjuk ke depan.
"Oke deh, nanti kita sapa ya.." ajakku.
"Iya, kalau ada orangnya.."
Setelah hampir sampai di depan warung yang Dinda tunjuk, aku memelankan laju sepeda hingga hampir berhenti. Tapi disuruh jalan lagi oleh Dinda.
"Nggak ada ibu-ibu yang aku kenal, jalan lagi aja, Mas.. hihihi.." ujar Dinda sambil cekikikan.
"Siap Kapten Adinda!" Aku pun mengayuh sepeda itu lagi.
Sudah hampir maghrib ketika kami melewati area Masjid Gede Mataram, Kota Gede. Tetapi langit masih biru. Perjalanan naik sepeda kami seperti Tour de Kota Gede. Melintasi tempat-temat ikonik seperti Cokelat Monggo, Balai Budaya Singosaren, Rumah Hantu, dan Pabrik BH. Yang terakhir itu lokasinya dekat Ringroad Selatan.
Sepeda melaju diatas aspal Ringroad Selatan. Langit telah senja dan sedang ingin orens. Aku sudah mulai ingin jus. Kami menyeberang Ringroad Selatan berpacu melawan sepeda motor, mobil, truk, dan bus. Aku arahkan sepeda menuju arah perempatan Terminal Giwangan. Diiringi obrolan juga.
"Dek, tadi kenapa kita nyebrangnya taat aturan banget ya? Padahal kan kalau kita jalan kaki, terus sepedanya aku angkat itu lebih cepat sampai di seberang.." aku membuka obrolan dengan Dinda.
"Saking semangatnya paling, mentang-mentang lagi bareng aku, hahaha.. aku mah, sebagai penumpang ikut apa kehendak sopir aja.." timpal Dinda.
"Hehehe.. Eh, langitnya bagus, aku mau teriak ah.." kataku ketika melihat langit di ujung barat yang mulai berwarna orens, dan kami melintas diatas jembatan.
"Eh, iya, aku juga udah lama nggak teriak-teriak, hahaha.."
"Buyek Didiiiii!!" Aku berteriak menirukan Sena, keponakan Dinda.
"Hooooiiiiii!!" itu Dinda menjawab dengan teriakan yang kencang.
"Dindaaaaaaaaa!!!" itu aku teriak lagi memanggil Dinda.
"Hooiii Kakandaaaaa!! Hahahaha.." Dinda tertawa terbahak-bahak. Kami dilihat oleh orang-orang yang sama-sama lewat di jalan tersebut.
"Udah ah, Dek, dilihatin orang-orang.. dikiranya kita gila.." ujarku.
"Kan emang gitu.. Hahaha," sambung Dinda, "tapi ngomong-ngomong, pantatku kok agak sakit ya.."
"Kan tempat dudukmu itu besi, perjalanan jauh otomatis bikin sakit lah.." jawabku.
"Tadi nggak kepikiran bawa kain buat melapisi ini sih ya.."
"Mana sempat kepikiran kain.. udah ngebet pingin boncengan berdua, haha.."
"Tapi, aku jadi pingin teriak-teriak lagi deh, jadi ingin ke hutan, ke cangkringan, tempat aku dulu KKN.. disana tuh ada hutan bambu yang bagus.." oceh Dinda.
"Yaudah, kapan-kapan kita kesana.." tawarku.
"Iya, mengenang lima tahun yang lalu."
Tak terasa sepeda sudah sampai di depan Markas Brimob Gondowulung. Itu artinya, aku sudah dekat dengan rumah Broto karena, rumahnya ada di sebelah selatan markas Brimob. Sepeda terus aku kayuh, Dinda masih setia ikut aku, hingga kami memasuki pelataran rumah Broto yang lumayan luas.
"Bu Raniii.. Pak Broto mana?" tanyaku sambil menghentikan laju sepeda.
"Haaiiii, itu serius kalian bersepeda dari Janti?" Tanya Rani, istrinya Broto.
"Iya.." jawabku sambil ngos-ngosan dan membuka botol minum punya Dinda yang masih ada airnya.
"Mbaknya dari rumah ke tempat mas Zen, terus diajakin kesini?" Rani bertanya lagi.
"Hehehe iya.. terus katanya dia mau bayar belanjaan di sini, terus nanti mau antar aku pulang," jawab Dinda.
"Yaudah, sini masuk dulu, pulangnya nanti aja habis maghrib," usul Rani. Broto baru keluar dari kamar.
Aku dan Dinda pun beristirahat sejenak di rumah Broto sebelum lanjut lagi bersepeda ke rumah Dinda, untuk mengantar dia pulang. Sejenak itu ternyata lebih dari satu jam karena, keasyikan ngobrol dan katanya Dinda masih capek. Aku sih nurut aja.
Akhirnya setelah isya' kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan lagi menuju rumah Dinda, di daerah Wirokerten. Tetapi kali ini kami naik sepeda sendiri-sendiri. Biar aku pulangnya nggak jalan kaki. Tadinya mau dipinjami motor oleh Broto, tapi Dinda menolak. Katanya, biar aku juga merasakan capeknya bersepeda dari rumah Dinda sampai ke tempatku. Jadilah kami berdua bersepeda lagi menuju rumah Dinda yang ternyata masuk ke kampung-kampung dan jalanannya tidak rata serta kurang penerangan. Kami berpisah di tikungan dekat rumah Dinda.
"Udah ya Dek, aku lanjut pulang.." ucapku.
"Iya, Mas.. Hati-hati," balas Dinda.
Aku kayuh sepeda ternyata capek juga. Tetapi walaupun capek, hari itu juga menyenangkan. Bisa berdua dengan Dinda tidak hanya duduk di sofa. Setidaknya bisa menikmati suasana sore hari di Jogja dengan bersepeda santai. Menggunakan sepeda Dinda.
TAMAT