Senin, 01 April 2024

BELAJAR SANDI (Part I)

1. SANDI LIDAH KEPLESET
adalah Sandi yang terinspirasi dari obrolan orang tua jaman dulu yang sering salah menyebutkan nama, bisa nama orang, nama benda, atau nama tempat. Karena kebanyakan orang-orang tua jaman dulu belum bisa baca-tulis. Sandi yang tidak ada rumusnya tapi, ada trik untuk memahaminya. Biasanya hanya beda satu huruf atau hurufnya tertukar-tukar.
contoh : 
PAMELA disebut KAMELA
PEMERINTAH disebut KAMARENTAH
ALHAMDULILLAH nyebut KAMDULILAH
CIRCLE K disebut SIKERKLEK

2. SANDI WALIKAN JOGJA

Sandi walikan Jogja merupakan salah satu bahasa pergaulan atau prokem khas Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menurut jurnal Memahami Basa Walikan dalam Membentuk Identitas Komunitas Masyarakat Kampung Badran, Yogyakarta (Interaksi Online Vol 7 No 4, 2019), bahasa walikan Jogja sudah banyak berkurang penuturnya alias sudah jarang digunakan dalam percakapan di masa sekarang.

Dalam jurnal karya Gusti Purbo Darpitojati dan Dr Turnomo Rahardjo, M.Si, peneliti dari Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang, bahasa walikan Jogja menggunakan acuan aksara Jawa dengan melompati urutan abjadnya sebanyak dua kali untuk menentukan aksara apa yang akan dipakai untuk mengganti suku kata dari kata yang ingin diubah.

Rumusnya :

HA NA CA RA KA = PA DHA JA YA NYA

DA THA SA WA LA = MA GA BA TA NGA

Contoh :

 MAS = DAB

MATAMU = DAGADU

ASU = PABU

3. SANDI KIWALAN MALANG

disebut juga sebagai Osob Kiwalan atau Boso Walikan adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di kawasan Malang Raya. Dialek ini memiliki ciri khas berupa membalikkan posisi huruf pada kosakata bahasa Jawa ataupun bahasa Indonesia pada umumnya, kecuali pada konsonan rangkap, afiks dan gabungan suku kata yang tidak memungkinkan bisa dibalik.[4]

Dialek Malang banyak digunakan dan dipopulerkan oleh kalangan pemuda, baik dari dalam maupun luar Malang. Dalam percakapan sehari-sehari dialek ini telah menjadi salah satu ciri khas orang Malang. Selain itu, kelompok pendukung klub sepak bola asal Malang, Aremania, juga turut andil dalam mempopulerkan dialek Malang, melalui penggunaannya dalam berbagai bentuk dukungan kepada klub ataupun dalam percakapan sehari-hari.[5]

Contoh :

Malang = ngalam

Soto Ayam = maya otos

Enak = kane

4. SANDI MARS

Adalah sandi yang tercipta karena orang kurang kerjaan dan mengutak-atik kata biar susah dibaca orang lain. Sandi ini sebenarnya hanya membalikkan huruf dan cara membacanya juga berkebalikan. Sandi ini hanya bisa menggunakan huruf kecil, tidak bisa menggunakan huruf kapital kecuali O, H, I, S, Z, X, dan N.

Contoh :

aku = nke

kamu = nwek

kotabaru = njeqefok

5. SCYTALE

Adalah sandi yang berupa gulungan perkamen yang hanya bisa dibaca ketika pembuat pesan dan penerima pesan mempunya alat pembaca sandi berupa tabung dengan diameter yang sama. Sederhananya, jika pembuat pesan menggunakan botol minuman merk AQUA kemasan 600 ml, maka penerima pesan juga harus mempunyai botol minuman merk AQUA kemasan 600 ml juga agar bisa membaca pesannya.

Ini dia contohnya..


Demikianlah sedikit info tentang Sandi.. sampai jumpa di belajar sandi edisi berikutnya..






Jumat, 08 September 2023

email penerbit buku

Email penerbit2

1. Ziyad: publishing@ziyadbooks.com

2. Pro-U Media: redaksi.proumedia.utama@gmail.com

3. Quanta: jarwati@elexmedia.id

4. Andi: naskahandi@gmail.com

5. DARI Mizan: darmizananak@gmail.com

6. Republika: andriyati@bukurepublika.id

7. Syalmahat: syalmahatpublishing@yahoo.co.id

8. kampungcahaya@gmail.com

9. Gema insani : redpel.anak@gemainsani.co.id

10. Kanak : editorial.kanak@bumiaksara.com

11. Ihsan media : naskahihsanmedia@gmail.com

12. Zikrul : redaksi_zikrul@yahoo.co.id

13. PTS Malaysia : naadhira@pts.com.my

14. Noura : redaksi@noura.mizan.com

15. Al Kautsar : redaksi@kautsar.co.id

16. Visi Mandiri :
visimandiripublishing@gmail.com

17. Kanisius :
redaksi@kanisiusmedia.co.id

18. Zain : bukuanakzain@gmail.com

19. Elex Media :
dewa@elexmedia.id
renny@elexmedia.id

20. Cikal Aksara : redaksi@cikalaksara.com

21. Indiva : publish.indiva@gmail.com

22. Semesta Hikmah: Semestahikmah80@gmail.com

Kamis, 03 November 2022

CLUE TAMBAHAN II

Gemar Menggambar

Jogja memiliki seorang tokoh seniman gambar yang dulu setiap hari Sabtu muncul di acara Gemar Menggambar di TVRI. Beliau adalah Pak Tino Sidin. Ucapan beliau yang paling diingat adalah, "Yak, baguuus.." untuk membuat anak-anak yang sedang belajar menggambar terus bersemangat.

Toko Makanan Hewan Peliharan

Siapa yang tidak tahu toko donat bernama J.co? Sebagian besar orang pasti tahu nama itu. Nah, di Jogja ada sebuah toko bernama J.co J.ci yang sebenarnya adalah Petshop dengan tagline Bukan Toko Donat.

Gunung Yang Tidak Terlihat

Apakah kalian tahu jika di Jogja ada daerah bernama Gunung Ketur? Daerah yang cukup menggelitik pikiran ketika kalian tahu bahwa daerah itu ada di Kota Jogja yang sepertinya sejauh mata memandang adalah dataran rendah. Tapi perlu diketahui bahwa daerah Gunung Ketur adalah dataran yang jika dilihat dari sekitar perempatan Gondomanan memang terlihat lebih tinggi dari daerah disekitarnya. Apalagi jika dilihat pada jaman dahulu sebelum ada teknologi jembatan besi dan aspal. Orang kalau dari pusat kota Jogja menuju Gunung Ketur harus turun ke sungai dan kemudian mendaki.


CLUE TAMBAHAN

Sekilas tentang Gaet Lokal Jogja

Gaet Lokal didirikan oleh 3 orang sahabat bernama Richard, Unak, dan Ferdian.
Kemudian mereka mendompleng Hotel Puri Pangeran sebagai markasnya karena kebetulan pemilik hotel itu adalah Ida Bagus Narendra, temannya Unak.

Gaet Lokal memilih Bunglon sebagai logonya untuk menggambarkan bahwa jika traveler menggunakan jasa Gaet Lokal maka, traveler itu akan lebih cepat beradaptasi di tempat tujuan wisata mereka.

Karena bermarkas di jogja, akhirnya para gaet yang tergabung di aplikasi Gaet Lokal, mendirikan komunitas Gaet Lokal Jogja yang diprakarsai oleh Windra Nowhere dan langsung ditunjuk sebagai Ketua.


Corak Bahasa di Jogja

Orang Jogja terbiasa menyingkat-nyingkat kata dalam penggunaannya ketika sedang mengobrol dengan rekan sejawat.
Contohnya : 
Malahane disingkat menjadi Mahane artinya kebeneran yang menguntungkan
Ngisor wit Beringin disingkat menjadi Soringin artinya dibawah pohon beringin
Nang endi disingkat menjadi Nandi artinya dimana.

Makanan Yang Unik

Di Jogja, ada makanan yang penjualnya tidak pernah khawatir kalau tidak habis dijual pada hari itu juga meskipun makanan itu adalah makanan basah. Karena faktanya makanan satu ini akan selalu dipanaskan, untuk tetap menjaga cita rasanya agar tetap sedap. Yaitu, Gudeg. Makin dinget makin sedep.

Daerah Sate Klathak

Agak ke selatan, melewati jalan Imogiri Timur ada daerah namanya nJejeran. Disitu banyak berderet penjual sate klathak. Sate yang tusuknya bukan dari bambu tapi dari jeruji sepeda yang sudah tidak terpakai.


Kamis, 05 November 2020

lirik lagu

Dinda.. Dinda..
Memang aku membutuhkan dirimu
Hari apapun, jam berapapun
Terus ingin dirimu saja..

Itu sebabnya ku ingin
Mendadak ada dirimu
Bila berdua disini
Ibumu pasti kan mencarimu..

Dinda.. Dinda..
Lama aku menginginkan diri kau
Terus berdua, terus bahagia
Terus menerus kamu saja..

Itu sebabnya ku ingin
Mendidik agar dirimu
Tenang berdua denganku
Ibumu terkunci di kamarnya..

Dinda.. Dinda..
Baiklah tak perlu kau kemari
Disini dingin, nanti kau sakit
Kamu tidurlah saja Dinda..
Terus tidurlah saja sayang..

Jumat, 04 September 2020

DATANGLAH, DINDA


DATANGLAH, DINDA

Hari sudah Selasa. Sejak terakhir bertemu Dinda pada hari Rabu yang lalu. Aku sudah bertekad bahwa malam ini aku harus bertemu dengannya daripada aku gila karena tertekan jutaan ton rindu yang menyesakkan dada dan kepala. Aku tak bisa apa-apa. Terlebih Dinda bilang sudah dua minggu tidak pegang hape. Otomatis jika sudah berpisah, kami tidak bisa saling bicara. Tersiksalah bagi orang-orang yang sedang kasmaran, jika rindu sudah datang menyergap malam-malam.

Berawal dari obrolan dengan Broto pada siang hari. Broto mengatakan kalau kangen, sebagai lelaki sekali-kali aku harus datang ke rumah Dinda, jangan dia yang datang ke tempatku terus. Jadi, sorenya aku sudah berhasil meminjam motor Pak Irwan, lengkap dengan eS-Te-eN-Ka-nya. Biar bisa ke rumah Dinda dengan cepat. Semua terlihat beres dan terasa akan berjalan dengan sempurna.

Selepas maghrib, aku pergi menuju ke rumah Dinda dengan diiringi doa sebisanya, intinya biar bisa dipertemukan dalam keadaan yang menyenangkan. Begitu saja. Aku mengarahkan laju motor ke arah selatan. Setelah sampai di jalan raya, aku belok kiri untuk menuju Ringroad Timur Jogjakarta, lewat lampu merah perempatan Blok O. Kemudian belok kanan sepanjang Ringroad Timur yang lumayan ramai kendaraan waktu itu. Melintasi lampu merah perempatan Jalan Wonosari, terus saja sampai ada perempatan lagi. Itu perempatan yang kalau aku belok ke kiri akan sampai di Ngipik, dan kalau aku belok ke kanan akan sampai di Kota Gede. Jadi aku lurus saja terus sampai ketemu yang namanya Jalan Kemasan, itu sebelum Mototech dan SPBU Singosaren. Aku belok kiri melewati rumah-rumah penduduk.

Kemudian aku sampai di daerah yang bernama Glondong. Mendapati pertigaan, aku belok kanan sedikit, lalu belok kiri. Untuk menuju Desa Wirokerten. Melewati SMA Negeri 2 Banguntapan, di seberangnya ada Balai Desa Wirokerten, dan Lapangan Desa Wirokerten. Setelah melewati lapangan ada pertigaan lagi, aku memilih belok kiri, karena kalau ke kanan aku tidak tahu itu jalan ke mana. Sepanjang jalan itu samping kiri dan kanannya sawah, pohon, dan gelap. Aku terus melaju sampai akhirnya masuk ke pemukiman warga yang ditandai dengan adanya gapura besar berwarna hijau dengan tulisan berwarna putih, "Sentra Industri Kecil Emping Melinjo, Kepuh Kulon, Wirokerten." 

Aku terus saja melajukan motor. Lurus sampai nanti mentok di tikungan, belok kiri. Ada rumah dengan desain lawas, warna temboknya putih sedangkan pintu dan jendelanya berwarna biru, halamannya luas, dan banyak ditumbuhi pohon pisang, itu rumah tempat Dinda tinggal. Aku pun mengendarai motor untuk masuk ke halaman, kemudian aku berhenti, dan turun dari motor. Sepi.

"Assalamu'alaykuum.." ujarku mengucapkan salam.

"Wa'alaykumsalaam," jawab seseorang dari dalam rumah, dan terbukalah pintu. Muncul seorang lelaki, mungkin itu ayahnya Dinda. Kemudian aku mengajaknya bersalaman. "Cari siapa?"

"Mbak Dinda.." jawabku.

"Mbak Dinda, sepertinya belum pulang mas.." kata si Bapak.

"Ke mana ya, pak?" aku bertanya lagi.

"Ngasih les anak sekolah.. apa mau ditunggu?" tawar si Bapak.

"Oo.. yasudah, begini saja, pak.. saya tunggu sebentar, kalau sampai waktu isya' belum pulang, saya yang pulang.." tuturku.

"Oh, ya, silakan.. duduk dulu sini," si Bapak mempersilakan aku untuk duduk di kursi kayu yang ada di teras. "Saya sambil kerja ya, mas.." Kemudian si Bapak masuk lagi ke dalam rumah untuk melanjutkan pekerjaannya.

"Iya, pak.."

Detik berganti menit. Aku duduk di kursi sambil diam. Lalu aku mengeluarkan secarik kertas dari dalam tasku. Dilanjutkan dengan aku mengeluarkan bolpen juga. Aku menuliskan pesan singkat untuk Dinda, dengan bahasa Mars. Biar Dinda saja yang tahu. Ini yang aku tulis:

"uaz

Assalamu'alaykuum..
¿keggu uekifewip ndwel
ueguap uelnq feyil new
eweujnd uelnq kosaq

"epuip oley

Bumi, 1 September 2020 Masehi"

Aku berdiam diri lagi. Menanti Dinda yang tak kunjung pulang. Ditemani suara jangkrik yang mengerik di halaman rumah Dinda. Kadang suara motor juga ada. Suara hewan lain juga ada. Sampai akhirnya suara toa di tiang listrik depan rumah Dinda berbunyi sangat keras. Itu suara adzan dari masjid Al Fadhla. Masjidnya di sebelah utara, tapi ternyata pengeras suaranya ditempatkan di titik-titik tertentu.

Karena sudah masuk waktu Isya'. Aku pun memutuskan untuk pulang saja. Seperti kataku di awal kedatangan tadi. Aku melipat kertas berwarna hijau yang sudah aku tulis dengan pesan untuk Dinda.

"Pak, saya mau pulang saja, sudah masuk waktu isya' ini.." ujarku pamit pada si Bapak.

"Oh, iya, Mas.." jawab si Bapak.

"Saya titip ini pak, buat mbak Dinda, tolong nanti disampaikan ya.." kataku sambil memberikan kertas itu kepada ayahnya Dinda. Lalu aku bersalaman dengannya. Dilanjutkan dengan aku pergi naik motor. Bingung mau kemana.

Aku berpikir, kira-kira dimana Dinda sekarang? Yang aku tahu, jadwal les nya kalau hari Selasa itu jam empat sore ada di Sewon. Aku berniat untuk menyusul ke sana, tapi masa iya sampai jam segini belum selesai? Akhirnya aku memutuskan untuk menyusuri jalan yang biasa dilewati Dinda saja. Siapa tahu ketemu di jalan. Jadi aku pulang lewat jalan yang lain, tidak seperti waktu berangkat dengan harapan bisa bertemu Dinda. 

Yang terjadi adalah, aku tidak menemukan sosok Dinda naik motor dengan helm kura-kura-nya sampai masuk perempatan jalan Imogiri Timur. Ada pikiran untuk lurus menuju jalan Imogiri Barat lewat jalan tembusan di kampung-kampung. Tapi aku pikir, buat apa? Yasudah aku belok saja ke kanan,ke arah pulang, menuju lampu merah perempatan Terminal Giwangan. Sudah itu aku telusuri jalanan Ringroad Selatan dengan hati gundah gulana. Sepanjang jalan terus mencari apakah ada Dinda di seberang jalan? Aku benar-benar seperti orang gila.

Aku sempat ingin pergi ke angkringan saja untuk melupakan pikiran tentang Dinda. Kebetulan temanku ada yang buka usaha angkringan di daerah Papringan. Tapi hatiku tidak mau di ajak kesana. Akhirnya aku malah pergi ke Indomaret. Beli mie instant tiga bungkus. Aku beli itu pun karena tidak tahu apa sebenarnya yang ingin aku beli. Karena sudah terlanjur masuk. Yasudah beli saja yang murah dan bermanfaat ketika lapar nanti. Benar-benar kacau pikiran dan hatiku saat itu.

Aku pulang ke tempatku dengan hampa. Gagal bertemu Dinda malam ini. Bingung mau apa lagi. Akhirnya, setelah meletakkan mie instant yang sudah kubeli tadi, aku memutuskan untuk ambil wudhu, kemudian sholat isya'. Dengan do'a pada saat-saat terakhir sholat begini : Ya Allah, aku mohon pertemukanlah aku dengan Dinda, datangkanlah Dinda malam ini ya Allah.. Aamiin.

Dalam penantian yang tak pasti, aku hanya tiduran saja di atas kasur di dalam kamar. Sembari membaca-baca berita di internet. Musik juga aku setel dengan kencang. Biar tidak terasa sepi sekali. Hingga tak terasa jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku mulai merasa ngantuk.

Dalam keadaan hampir memejamkan mata. Sayup-sayup terdengar suara motor berhenti. Kemudian terdengar suara perempuan berteriak-teriak.

"Oom Zeeeen!.." begitu bunyinya.

"Iyaaaa.." jawabku.

"Oom Zeeeeen!.." teriaknya lagi.

"Iyaaa, tungguu sebentaaar.." aku berjalan setengah berlari sampai sandal jepit yang sebelah kiri terlepas dari kaki. Aku pakai lagi setelah tadi mundur untuk mengambilnya. Aku kaget setelah melihat bahwa yang datang adalah Dinda.

"Haaaaaiiiii.." sapanya dengan gaya yang khas.

"Eh, Dek," jawabku. "Aku tadi ke rumahmu, ketemu Bapak," kataku sambil membukakan pintu gerbang untuk Dinda.

"Serius?" tanya Dinda.

"Iya, aku titip surat buat kamu, ke bapak.. isinya..." 

"Stop! Jangan dibilangin sekarang, nanti nggak surprais, hehehe.." potong Dinda sebelum aku selesai bicara.

"Yaudah, masuk dulu sini.." perintahku.

"Nggak ah, mau pulang aja.. hahaha.." kata Dinda sambil menuntun motornya.

"Eeee, jangan dong.. Kan udah sampai sini, baru aja ketemu.. masa mau langsung pulang?" Sergahku.

"Hihihi, kan tadi kamu udah ke rumahku.."

"Tapi kan belum ketemu kamu, Dek.."

"Nih, sekarang udah ketemu, aku pulang yaa.." Dinda berkata begitu tapi menuntun motornya untuk masuk ke dalam. Suka bercanda dia mah.

"Hmmmm.. katanya mau pulang, kok malah masuk?" ledekku sambil menutup pintu gerbang.

"Hahahaha.." Dinda tertawa riang.

"Gimana sertifikasinya kemarin, lancar?" tanyaku sambil memegang pundaknya.

"Belum, baru Sabtu besok.." jawabnya sambil melepas helm dari kepalanya dan menaruhnya di spion motor.

"Ealaaaah, aku kira sudah Sabtu kemarin, makanya aku..." aku tidak meneruskan kalimatku.

"Kenapa? Kok nggak diterusin?" tanya Dinda penasaran sambil meraih tanganku untuk salim.

"Nggak apa-apa.." jawabku sambil membiarkan tanganku di cium Dinda. Aku kecup keningnya. "Yuk, duduk dulu.."

Aku mengajaknya duduk di sofa di dalam ruangan karena di luar dingin. Angin sedang bertiup yang dinginnya melebihi rindu. Kami duduk bersebelahan. Dinda masih menggendong tasnya. Kemudian minum air dari botol minumnya yang selalu dibawa ke mana pun dia pergi. Setelah Dinda minum, gantian aku yang minum. Lalu aku peluk Dinda.

"Aku rindu.." bisikku di telinganya.

"Sebentar, kacamataku mengganggu," ujarnya.

"Yaudah, dilepas dulu, Dek," usulku. Kemudian Dinda melepas kacamatanya.

"Nih, sudah," dia berkata sambil menyerahkan kacamatanya padaku agar aku meletakkannya di atas meja.

"Ulangi ya adegannya.." pintaku sambil memeluk Dinda. "I miss you.." bisikku lagi.

"Aku enggak.." balas Dinda. Tapi aku yakin dia pasti bohong.

"Kalau nggak rindu, ngapain malam-malam begini datang kesini?" ujarku sambil tetap berpelukan.

"Hehehe.." Dinda cuma tersenyum. Aku lepaskan pelukan.

"Udah makan?" 

"Udah tadi, di kantor SCI.."

"Oo, kamu habis dari SCI?" tanyaku.

"Iya.. habis menyelesaikan semua urusan hari ini, biar besok udah bebas dan santai.." jawab Dinda.

"Baguslah kalau begitu, eh, tadi aku sempat kepikiran mau nyusul ke SCI juga setelah nggak ketemu kamu di rumah, tapi nggak jadi, takutnya kamu pas nggak ada di kantornya.."

"Emang tahu kantor SCI dimana?"

"Tahu, di Tarudan, dekat rumah temanku.. ada pos rondanya kan di depan kantor?" 

"Iya, bener.. hehe."

"Aku kan pernah lewat situ, nyari kamu beberapa hari lalu.."

"Ngapain nyari aku? Kangen yaaa? Hayoooo.." Dinda bertanya sambil mencubit mesra perutku. Tapi semesra-mesranya cubitan Dinda tetap saja sakit rasanya.

"Eh, hehe, iya.." aku tersipu.

"Tadi siang tuh, niatnya aku mau ke sini, mau ngajak kamu buat ikut ke tempat aku ngasih les sama ikut ke kantor SCI, tapi nggak jadi.. soalnya aku ingat harus ke bengkel dulu servis motor, biar nggak dikomentari ibu lagi.. motornya besok subuh mau dipakai ibu ke pasar.. eh, malah di bengkelnya kelamaan, nggak jadi kesini, deh.." jelas Dinda panjang lebar.

"Oo.." 

"Kamu tahu nggak? Hari Minggu kemarin juga, aku niatnya mau ke sini pagi-pagi naik sepeda.." tutur Dinda.

"Mau ngajakin beli sarapan ya?" aku memotong.

"Bukan, emang mau sepedaan aja, tapi, pas lihat jam setengah enam pagi dan langit masih agak gelap, aku tidur lagi.. eh, pas bangun udah jam delapan, hahaha.." lanjut Dinda.

"Jam berapapun kamu kesini, pintu akan tetap aku buka Dek.."

"Iya, tadinya mau kesini, tapi tiba-tiba ada temanku datang.. yaah, gagal lagi deh.." tutup Dinda.

"Yaudah, kapan-kapan lagi aja ya.. sepedaan sambil beli sarapan berdua.. boncengan lagi, seperti waktu itu.." ajakku.

"Iya, Mas.."

"Aku mulai ngantuk Dek," kataku sambil menyandarkan kepalaku ke bahu Dinda.

"Yaudah aku pulang ya, biar kamu bisa tidur.."

"Nggak jadi ngantuk kalau ada kamu, hehehe.." kataku mencegah Dinda untuk pulang.

"Jam sepuluh lewat lima belas nanti aku pulang.." ujarnya.

"Jam sebelas," pintaku.

"Nggak bisa, pokoknya sepuluh lima belas," tegas Dinda.

"Setengah sebelas deh, ya.. ya?" aku menawar.

"Sepuluh lewat lima belas, titik." 

"Yaudah deh, sepuluh lewat lima belas.." aku nyerah.

"Dua puluh menit dari sekarang."

Setelah berkata begitu Dinda menyandarkan kepalanya di dadaku. Detik demi detik waktu terus berjalan. Kepala Dinda sekarang sudah ada di pahaku. Selama waktu berdetik itu tubuh dan tanganku tak luput dari cubitan dan gigitan. Sampai Dinda lupa untuk pulang, jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas.

"Nggak jadi pulang Dek?" tanyaku.

"Mager.. entah kenapa kalau di sini tuh bawaannya nggak pingin pulang, betah di sini.." ujar Dinda manja sambil menggeliat manja.

"Yaudah, nggak usah pulang.."

"Bisa digrebek tetangga nanti.. di bom sama ibu juga.. Hahaha"

Sekarang posisi Dinda sudah duduk bersila di atas sofa. Aku yang sudah ngantuk langsung merebahkan kepalaku di atas paha Dinda. Gantian. Dinda pun memainkan rambutku yang baru saja aku cukur sore tadi.

"Mas, kamu potong rambut ya?" tanya Dinda sambil terus memainkan rambutku.

"Iya, soalnya mau ke rumah kamu, harus tampil beda.. dulu kan aku ke tempatmu waktu rambutku masih gondrong dan bleaching-an.."

"Hahahaha.. Ibu udah lihat berarti?"

"Tadi tuh nggak ada ibu, adanya cuma bapakmu.. Sena juga nggak ada," jelasku.

"Ibu kemana ya?" pertanyaan retoris Dinda.

"Ya nggak tahu aku."

"Potonganmu kalau ketahuan ibu bisa dikomentari lho.."

"Ini kan bagus, model rambut kayak Elvys Presley.. tadi waktu ditanya tukang cukurnya mau dipotong model gimana, aku tunjukin aja fotonya Elvys.. dan aku juga mengarahkan tukang cukurnya biar pas.. jadilah begini.." ceritaku.

"Ra wangun," kata Dinda dalam bahasa Jawa yang artinya "tidak bagus." tapi pasti dia bercanda.

Dinda mendekap kedua pipiku dengan kedua tangannya. Lalu perlahan wajahnya mulai turun menuju ke wajahku yang terbaring di pangkuannya. Yang terjadi adalah Dinda menggosok-gosokkan hidungnya dengan hidungku. Ah, rasanya seperti anak kucing saja aku dibuatnya. Lalu aku bangkit dari rebahanku. Duduk dan merangkul Dinda. 

"Dek, besok ke sini lagi ya, lihat bulan purnama, lampunya dimatikan seperti dulu," pintaku.

"Nggak mau, besok aku mau beli benang, dan dilanjutkan dengan merajut, asyiik.." ujar Dinda.

"Yaudah, aku ikut beli benang ya.."

"Aku mau beli benangnya sama Ina, murid les ku.."

"Oo.. pulangnya mampir sini lah.." rengekku.

"Nggak mau, weeek.."

"Yaudah deh, kamu memang nggak bisa dipaksa, pokoknya sesuai sama suasana hatimu aja, kalau lagi nggak mau ya berarti nggak mau, kalau lagi mau ya kamu pasti tiba-tiba datang kesini.."

"Iya, hahaha.."

Tak terasa, waktu hampir jam sebelas malam. Dinda berdiri dari duduknya. Katanya sudah ingin pulang. Aku pun berdiri di depannya. Aku masih belum ingin berpisah dari Dinda. Aku memeluk Dinda. Dinda membalas pelukanku dengan erat. Kami berpelukan dalam keheningan malam. Diam tanpa bicara. Mungkin selama lima menit. Sampai kemudian aku membuka percakapan.

"Dek, aku masih ingin bersamamu," bisikku lirih.

"Besok-besok lagi masih bisa bertemu," balasnya.

"Tapi susah, kamu nggak pegang hape," bisikku lagi.

"Kan kita pakai telepati.. kita masih bisa terhubung kok, tenang saja.." ujar Dinda.

"Iya, Dek.. Tuhan punya malaikat yang tugasnya menyampaikan pesan dari hati ke hati.." aku membisikkan ini pada Dinda tepat di telinganya.

"Hahahaha.. kok rasanya aneh ya.. aku nggak biasa di giniin.. hahahaha.." Suasana romantis jadi buyar karena Dinda tiba-tiba tertawa dan melepaskan pelukan.

"Hmmmm.."

"Udah ah, Adek mau pulang," katanya.

"Iya, kacamatamu jangan lupa.." aku mengingatkan Dinda.

"Ini sudah, yang belum ketemu malah kunci motorku," jawab Dinda.

"Itu di atas kursi," tunjukku.

"Oh iya.." kata Dinda seraya mencomot benda itu.

Kami berdua keluar. Sudah sepi. Langit tertutup mendung sehingga bulan pun tidak menampakkan wujud dan sinarnya. Dinda sudah naik di atas motornya, lengkap dengan tas, helm, masker, dan kacamatanya. Sementara aku membuka pintu gerbang. Sebelum keluar menuju jalan, Dinda berhenti untuk salim kepadaku. Seperti biasa, aku pun memberi kecupan di keningnya.

"Besok ke sini lagi ya, Dek.." pintaku.

"Nggak mau.. Aku pulang dulu ya.. Dadaaaaa.. potongan ra wangun.. hahaha.." ujar Dinda sambil melajukan motornya.

"Hati-hati, Dek.." balasku.

Malamnya kembali menjadi sepi. Tak tahu berapa lama lagi harus berpisah. Menunggu hingga Dinda datang lagi. Menanti walau tak pasti. Tapi, seperti yang Dinda bilang, masih bisa terhubung dengan telepati. Saling menyebutkan nama dalam setiap doa. Serahkan semua kepada Yang Maha Kuasa.

BERSAMBUNG

PURNAMA TERSAPU HUJAN





Minggu, 30 Agustus 2020

SEPEDA DINDA


SEPEDA DINDA

Sorenya sedang cerah. Angin bertiup agak kencang di daerah sekitarku. Banyak orang bermain layang-layang di pesawahan dekat tempatku berada. Aku sedang duduk santai di teras sambil memainkan gitar. Lagunya The Rock yang berjudul Munajat Cinta. Aku sudah mandi.

Aku baru saja akan menggenjreng lagu kedua ketika tiba-tiba kulihat ada cewek naik sepeda, berbadan kurus dan berkacamata, berhenti di depan gerbang. Dia melambaikan tangan padaku.

"Haaaaiiii.." sapanya sambil tersenyum lebar. Aku segera berjalan menuju pintu gerbang.

"Eh, Dinda?" tanyaku kaget.

"Kenapa?" dia balik bertanya.

"Kamu naik sepeda dari rumah?" tanyaku sambil membuka pintu gerbang.

"Iya.. tadi tuh aku di jalan ngebut, pokoknya kalau jam lima belum sampai di sini, aku puter balik.. Eh, ternyata sampai sini pas banget jam lima kurang semenit.. Hahaha.." jelasnya diiringi nafas yang ngos-ngosan.

"Sini masuk, istirahat dulu.. bawa minum sendiri kan seperti biasa?" 

"Ya iyalah, nggak boleh lupa bawa minum.." jawabnya.

"Duduk di sana yuk," ajakku kepada Dinda untuk duduk di bangku kayu.

"Tahu nggak? Aku tuh tadi perginya diam-diam.. biar nggak dilihat Sena.. hehehe," ujarnya sambil berjalan menuju bangku.

"Emang kalau lihat kamu pergi Sena mau ikut?" aku bertanya.

"Nggak, tapi sepedanya itu nggak boleh dipakai aku, katanya itu sepedanya mommy Sena, bukan sepedanya buyek Didi, hahaha.." Dinda menjelaskan.

"Oo gitu.."

"Iya, padahal kan itu sepedaku, hadiah ulang tahun waktu usiaku sepuluh tahun.. jadi sudah kupakai sejak sekolah es-de, es-em-pe, es-em-a.."

"Kuliah juga pakai sepeda itu?"

"Iya, kuliah juga pakai sepeda itu.."

"Wow.."

"Nanti sebelum maghrib aku pulang ya, Mas?" Dinda memberitahukan.

"Cepet banget, habis maghrib aja Dek.. kamu pasti masih capek kan, gowes tujuh kilometer sambil ngebut.."

"Udah biasa.. kan dulu waktu kuliah malah lebih jauh dari ini.. dari rumah sampai ke kampus satu jam perjalanan.." bela Dinda.

"Hihihi.. oh iya ding, dari rumah kamu sampai UGM kan lumayan juga ya?" komentarku.

"Kandani og (sudah kubilang kan?)."

"Oh, yaudah ngobrol-ngobrol dulu sebelum pulang.. nanti aku ikut sampai Giwangan ya.."

"Ngapain ke Giwangan?"

"Bayar bawang ke tempat Broto, itu temanku yang biasa antar belanjaan ke sini, kemarin bawang merahnya lupa belum tak bayar, hehehe.." 

"Modus aja.. Ya kan?" Dinda menggoda.

"Nggak, beneran ini.."

"Alaaa.. iya juga nggak apa-apa kok, Mas, biar bisa boncengan naik sepeda bareng, biar kayak di film-film itu.. Hahaha.."

"Yaudah, iya.. hehe.."

"Hmmm.. Eh, aku udah cerita kalau mau ikut sertifikasi belum?" tutur Dinda.

"Udah, yang kamu gagal itu kan?" timpalku.

"Bukan.. bukan yang itu.." sergah Dinda.

"Oh, berarti belum, gimana?" lanjutku.

"Aku nanti Sabtu ikut sertifikasi, tempatnya di Solo.." Dinda menjelaskan.

"Butuh ditemani?" tawarku.

"Nggak usah, berangkatnya dari sini bareng-bareng kok, ada sepuluh atau sebelas orang gitu, nanti hari Jumat berangkat," lanjut Dinda.

"Semoga berhasil ya, Dek.." doaku.

"Aamiin," diamini Dinda.

"Eh, kamu tahu nggak?"

"Apa?"

"Tadi siang aku sempat berpikiran untuk pergi ke Klenggotan, nyusul kamu ke rumah Lembayung," ujarku.

"Ngapain?"

"Cuma pingin ketemu aja, tapi nggak jadi, panas banget," jelasku.

"Hahaha.."

"Terus sempat kepikiran juga begini, kalau hari ini kamu nggak datang kesini, aku yang akan datang ke rumahmu.." tambahku lagi.

"Edaaan, segitu rindunya kah?"

"Soalnya, kan biasanya tiap hari Rabu kamu datang kesini setelah selesai ngasih les Lembayung.. dan aku menunggu kamu sejak jam setengah empat sore.."

"Aku ngangenin ya? Hahaha.." Dinda tertawa puas.

"Iya, sini sun dulu.."

"Nggak mau, weeek!"

"Yaudah, foto aja, berdua.."

"Oke, tapi ada syaratnya," ujar Dinda.

"Apa?" tanyaku.

"Carikan tangkai daun walisongo yang jumlah daunnya sembilan.." Dinda berkata sambil menunjuk ke pohon Walisongo yang ada di sampingnya.

"Gampang banget, Dek.." aku berkata sambil bergerak menuju ke pohon Walisongo dan kemudian memetik satu tangkai yang berisi sembilan daun, "nih, langsung dapat, hehehe.."

"Mana? hitung dulu," Dinda belum percaya.

"Ini.. satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan.." kataku semangat.

"Oh tidaaak! Ya ampuun, ternyata benar.. Hahaha.. aku salah ngasih tantangan.." Dinda tertawa.

"Ayo, sini foto naik sepeda berdua.. Week," ajakku. Dinda menuruti. Tapi yang terfoto hanya manusianya saja, sepedanya nggak kelihatan.

"Akhirnya, aku terekspos juga.."

"Hehehe."

"Mas, jadi ke Giwangan nggak?" Dinda bertanya padaku.

"Jadi.. bentar, aku taruh gitar di kamar dulu," jawabku sambil membawa masuk gitar. Aku naik ke kamarku dan meletakkan gitar, mengambil hape, tas, topi, dan ganti celana.

"Tadi pagi tuh aku di suruh sarapan sama ibu, tapi aku kabur, hehehe.." terdengar Dinda berbicara dari bawah.

"Kamu, tuh, setiap disuruh makan kok malah nggak mau to Dek, malah kabur, nanti pingsan lho," kataku.

"Males.."

"Dasar, eM-eM-eS," kataku pada Dinda setelah aku sampai di dekatnya.

"Apa itu eM-eM-eS?" tanya Dinda.

"Manusia Malas Sarapan.." jawabku sambil mengacak rambut Dinda.

"Awwww.." 

"Yaudah, yuk berangkat!" ajakku setelah menyalakan lampu bangunan karena, akan aku tinggal.

"Yuuk."

Dinda menuntun sepeda keluar menuju jalanan. Aku dibelakangnya, masih mengunci pintu gerbang. Banyak juga pesepeda yang lewat di jalanan depan tempatku. Beberapa detik kemudian aku sudah siap naik sepeda Dinda. Aku duduk di depan sebagai sopirnya. Dinda duduk di belakang.

Sorenya menjadi asyik ketika kami sudah melaju bersama sepeda yang aku kayuh dengan santai. Melewati Hotel Grand Dafam, lewat depan Jogja Expo Center, lewat depan kantor Satpol Pe-Pe juga, diantara banyaknya motor dan mobil.

"Kayaknya ban belakang agak kempes deh," ujar Dinda.

"Iya kah?" tanyaku, "tapi tadi waktu di cek masih banyak anginnya.."

"Tadi kan belum dinaiki," jawab Dinda.

"Yaudah nanti kita cari tukang tambal ban, biar ditambah anginnya." Usulku.

"Kukira mau kamu tiup pakai mulut, Mas, hehe.." canda Dinda.

"Ogah, wek!" 

"Eh, itu di depan ada tukang tambal ban, waah.. nggak jadi lihat kamu niup ban, deh, hahaha.." Dinda menunjukkan. Kami lalu berhenti sejenak untuk mengisi angin. Itu lokasinya sebelum perempatan lampu merah Gedong Kuning. 

"Pak, tambah angin, Pak.." kataku pada bapak tukang tambal ban.

"Depan atau belakang?" dia bertanya.

"Dua-duanya Pak," jawabku.

"Yang belakang sudah lumayan full ini.."

"Tapi kalau dinaiki berdua agak kempes Pak, kata nona manis ini.." kataku sambil menunjuk ke Dinda. Dindanya senyum-senyum.

"Iya.." kata si bapak. Nggak ada satu menit semua ban sudah terisi penuh.

"Berapa, Pak?" aku menanyakan biayanya.

"Dua ribu.." jawab si Bapak.

"Ini, Pak, terimakasih ya.." kataku sambil menyerahkan satu lembar uang dua ribuan.

"Lanjut lagi kita Dek.. kamu gantian depan ya.." tawarku pada Dinda.

"Nggak mau.." tolak Dinda.

"Yaudah, bilang satu.. dua.. tiga.. Gitu ya sebelum sepedanya aku gowes.."

"Nggak mau juga.. hehe," Dinda berujar manja.

Sepeda kembali melaju ke arah selatan. Melewati lampu merah perempatan Gedong Kuning. Dinda menyuruhku untuk terus menyeberang walaupun lampunya masih merah.

"Jalan terus aja, Mas," suruh Dinda.

"Tapi, kan, lampunya masih merah itu, Dek," timpalku.

"Nggak apa-apa, kita kan naik sepeda.."

"Sepeda juga kan kendaraan.."

"Ihhh.. nurut peraturan banget sih?" Dinda kesal.

"Yaudah, deh.. kita jalan terus nih.." aku luluh juga. Tapi tetap waspada dan pelan-pelan nyeberangnya.

"Ngapain lewat pinggiran, Mas?" tanya Dinda padaku yang membawa sepedanya terlalu ke pinggiran jalan.

"Biar aman.. udah lah, kamu nurut sama sopirnya aja.. hehehe.."

"Oke deh.."

Setelah melewati perempatan Gedong Kuning, kami terus melaju ke arah selatan. Sempat melewati Kantor Kelurahan Banguntapan juga, yang membuat aku bertanya.

"Dinda, kamu tahu di mana letak Kantor Kecamatan Banguntapan?" aku bertanya pada Dinda.

"Tahu.." jawabnya singkat.

"Di daerah mana?" Aku bertanya lagi.

"Di Baturetno, daerah Ngipik.." jawab Dinda.

"Oo.. Kok nggak di daerah Banguntapannya ya?"

"Ya, aku nggak tahu kalau itu.."

"Yaudah, deh, nggak usah dipikirkan.." kataku sambil menggowes sepeda agak cepat, sampai melewati ibu-ibu yang juga naik sepeda di depan kami. Sepeda kami agak keluar dari jalur sepeda. 

"Kula rumiyin nggih, Bu.." kalimat bahasa Jawa yang artinya, saya duluan ya Bu. Basa-basi biar kelihatan sopan.

"Mas, nanti di lampu merah perempatan PLN jalan terus aja kayak tadi ya.." pinta Dinda.

"Siap grak! Kebetulan pas ijo tuh.." ujarku.

"Wah, iya.. ayo.. ayo semangat gowesnya.." ujar Dinda heboh.

"Dek.." aku memanggil Dinda.

"Ya, ada apa?" jawabnya.

"Perasaan dulu kamu pernah bilang, kalau naik motor sama ibu, kamu selalu taat peraturan, walaupun ibu mu hanya meyuruh untuk berhenti di ruang tunggu sepeda?" 

"Itu kan kalau naik motor, beda dengan sepeda, hehe.."

"Oo.. begitu.."

"Iya.."

Perjalanan masih berlanjut pembaca. Terus bergerak ke selatan. Melewati Yogyatourium punya Dagadu. Melewati percetakan buku Erlangga. Oh, melewati Gedung Kehutanan juga. Melewati banyak deh pokoknya. Sampai kemudian tiba di lampu merah pertigaan Kota Gede.

Aku bawa sepeda itu melaju lurus bersama Dinda yang masih setia duduk di belakangku. Sudah mulai senja kala itu. Memasuki gerbang Kota Gede yang terkenal dengan kerajinan peraknya.

"Dek, sepedamu ini walaupun udah enam belas tahun masih enak juga ya dipakai.." aku membuka percakapan lagi.

"Iya doong.. siapa dulu dong yang merawatnya.. Bapakku.. hehehe.." jawab Dinda.

"Iya, ini kelihatan kayak masih baru lho.. bodinya, rodanya, bahkan stelan giginya juga masih enak.." tambahku.

"Siapa dulu dong.. bapakku.. hehehe.." 

"Kukira kamu yang merawat, ternyata.. bukan.. hihihi," timpalku. Obrolan tentang sepeda Dinda pun terus berlanjut sepanjang jalan di area Kota Gede. 

"Dulu tuh kalau kuliah, aku parkir sepedanya bukan di tempat parkir sepeda umum, tapi di tempat parkir sepeda yang khusus punya UGM, yang kayak sepeda di Malioboro itu.." cerita Dinda.

"Kenapa dek, kok gitu?" tanyaku.

"Soalnya kalau aku lupa bawa kunci, kadang sepedanya suka di pakai sembarangan sama mahasiswa lain yang ngerti kalau itu sepedaku.. jadi, tanpa izin langsung dibawa aja gitu.." jelas Dinda.

"Hihihi, emang yang kuliah disitu yang naik sepeda cuma kamu?" aku bertanya lagi.

"Bisa dipastikan begitu.. hahaha.. Aku sampai pernah dipinjami kunci sama Pak Satpam yang jaga tempat parkirnya.." lanjut Dinda.

"Sudah terkenal berarti sepedamu itu, hahaha.."

"Kadang kalau aku males pulang naik sepeda juga ku tinggal di kampus kok, keren kan? Hahaha.." 

"Terus, pulangnya naik apa?" tanyaku.

"Kadang nebeng teman, kadang naik Trans Jogja sampai terminal.." jawabnya diikuti teriakan yang membuat aku kaget, "Oiiiii MAAS!!!"

"Ada apa, Dek?" tanyaku.

"Itu, aku kenal tukang cilok itu, suaminya temanku.. hehe.." kata Dinda sambil menunjuk seorang tukang cilok yang sedang mangkal di area trotoar Kota Gede, yang barusan kami lewati.

"Oh, iya ya, dulu kan kamu sempat kerja di sekitar sini ya?"

"Iya bener.." jawabnya, yang kemudian diikuti suara yang lantang lagi dari Dinda, "Pak Bahriiiiiiiii!!"

Entah orangnya yang mana aku tak tahu. Yang dipanggil juga mungkin nggak tahu kalau itu suara Dinda. Kami terus melaju hingga sampai di Pasar Kota Gede. Aku tetap membuat sepeda berjalan lurus ke arah selatan.

"Ada yang kamu kenal lagi nggak, Dek di sekitar sini?" tanyaku bercanda.

"Ada, itu.. yang punya warung di tikungan sana.. aku dulu biasa beli plastik disitu.." Dinda berkata sambil menunjuk ke depan.

"Oke deh, nanti kita sapa ya.." ajakku.

"Iya, kalau ada orangnya.."

Setelah hampir sampai di depan warung yang Dinda tunjuk, aku memelankan laju sepeda hingga hampir berhenti. Tapi disuruh jalan lagi oleh Dinda.

"Nggak ada ibu-ibu yang aku kenal, jalan lagi aja, Mas.. hihihi.." ujar Dinda sambil cekikikan.

"Siap Kapten Adinda!" Aku pun mengayuh sepeda itu lagi.

Sudah hampir maghrib ketika kami melewati area Masjid Gede Mataram, Kota Gede. Tetapi langit masih biru. Perjalanan naik sepeda kami seperti Tour de Kota Gede. Melintasi tempat-temat ikonik seperti Cokelat Monggo, Balai Budaya Singosaren, Rumah Hantu, dan Pabrik BH. Yang terakhir itu lokasinya dekat Ringroad Selatan.

Sepeda melaju diatas aspal Ringroad Selatan. Langit telah senja dan sedang ingin orens. Aku sudah mulai ingin jus. Kami menyeberang Ringroad Selatan berpacu melawan sepeda motor, mobil, truk, dan bus. Aku arahkan sepeda menuju arah perempatan Terminal Giwangan. Diiringi obrolan juga.

"Dek, tadi kenapa kita nyebrangnya taat aturan banget ya? Padahal kan kalau kita jalan kaki, terus sepedanya aku angkat itu lebih cepat sampai di seberang.." aku membuka obrolan dengan Dinda.

"Saking semangatnya paling, mentang-mentang lagi bareng aku, hahaha.. aku mah, sebagai penumpang ikut apa kehendak sopir aja.." timpal Dinda.

"Hehehe.. Eh, langitnya bagus, aku mau teriak ah.." kataku ketika melihat langit di ujung barat yang mulai berwarna orens, dan kami melintas diatas jembatan.

"Eh, iya, aku juga udah lama nggak teriak-teriak, hahaha.."

"Buyek Didiiiii!!" Aku berteriak menirukan Sena, keponakan Dinda.

"Hooooiiiiii!!" itu Dinda menjawab dengan teriakan yang kencang.

"Dindaaaaaaaaa!!!" itu aku teriak lagi memanggil Dinda. 

"Hooiii Kakandaaaaa!! Hahahaha.." Dinda tertawa terbahak-bahak. Kami dilihat oleh orang-orang yang sama-sama lewat di jalan tersebut. 

"Udah ah, Dek, dilihatin orang-orang.. dikiranya kita gila.." ujarku.

"Kan emang gitu.. Hahaha," sambung Dinda, "tapi ngomong-ngomong, pantatku kok agak sakit ya.."

"Kan tempat dudukmu itu besi, perjalanan jauh otomatis bikin sakit lah.." jawabku.

"Tadi nggak kepikiran bawa kain buat melapisi ini sih ya.."

"Mana sempat kepikiran kain.. udah ngebet pingin boncengan berdua, haha.."

"Tapi, aku jadi pingin teriak-teriak lagi deh, jadi ingin ke hutan, ke cangkringan, tempat aku dulu KKN.. disana tuh ada hutan bambu yang bagus.." oceh Dinda.

"Yaudah, kapan-kapan kita kesana.." tawarku.

"Iya, mengenang lima tahun yang lalu."

Tak terasa sepeda sudah sampai di depan Markas Brimob Gondowulung. Itu artinya, aku sudah dekat dengan rumah Broto karena, rumahnya ada di sebelah selatan markas Brimob. Sepeda terus aku kayuh, Dinda masih setia ikut aku, hingga kami memasuki pelataran rumah Broto yang lumayan luas.

"Bu Raniii.. Pak Broto mana?" tanyaku sambil menghentikan laju sepeda.

"Haaiiii, itu serius kalian bersepeda dari Janti?" Tanya Rani, istrinya Broto.

"Iya.." jawabku sambil ngos-ngosan dan membuka botol minum punya Dinda yang masih ada airnya.

"Mbaknya dari rumah ke tempat mas Zen, terus diajakin kesini?" Rani bertanya lagi.

"Hehehe iya.. terus katanya dia mau bayar belanjaan di sini, terus nanti mau antar aku pulang," jawab Dinda.

"Yaudah, sini masuk dulu, pulangnya nanti aja habis maghrib," usul Rani. Broto baru keluar dari kamar.

Aku dan Dinda pun beristirahat sejenak di rumah Broto sebelum lanjut lagi bersepeda ke rumah Dinda, untuk mengantar dia pulang. Sejenak itu ternyata lebih dari satu jam karena, keasyikan ngobrol dan katanya Dinda masih capek. Aku sih nurut aja.

Akhirnya setelah isya' kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan lagi menuju rumah Dinda, di daerah Wirokerten. Tetapi kali ini kami naik sepeda sendiri-sendiri. Biar aku pulangnya nggak jalan kaki. Tadinya mau dipinjami motor oleh Broto, tapi Dinda menolak. Katanya, biar aku juga merasakan capeknya bersepeda dari rumah Dinda sampai ke tempatku. Jadilah kami berdua bersepeda lagi menuju rumah Dinda yang ternyata masuk ke kampung-kampung dan jalanannya tidak rata serta kurang penerangan. Kami berpisah di tikungan dekat rumah Dinda.

"Udah ya Dek, aku lanjut pulang.." ucapku.

"Iya, Mas.. Hati-hati," balas Dinda.

Aku kayuh sepeda ternyata capek juga. Tetapi walaupun capek, hari itu juga menyenangkan. Bisa berdua dengan Dinda tidak hanya duduk di sofa. Setidaknya bisa menikmati suasana sore hari di Jogja dengan bersepeda santai. Menggunakan sepeda Dinda.

TAMAT


Selasa, 25 Agustus 2020

SUDAH MALAM, DINDA

SUDAH MALAM, DINDA

Aku sedang berbaring di atas kasurku yang tipis khas anak rantau, sambil nonton film pendek yang sedang viral di youtube dan media sosial seluruh Indonesia. Aku penasaran saja bagaimana ending-nya. Tapi, baru saja dua menit aku menonton sudah ada gangguan. Ada orang yang menggedor-gedor pintu gerbang malam-malam begini. "Teng! Teng! Teng!" Itu suara gembok yang beradu dengan besi pagar.
"Om Zeeen!!.." kudengar suara cewek yang cempreng memanggil namaku.
"Yaa, siapa?!" tanyaku sambil mengintip dari dalam kamarku di lantai atas.
"Buyek Didiiii!!.." jawab cewek itu masih dengan suara cemprengnya. Nama aslinya Dinda, tapi kalau dirumah keponakannya memanggil dia dengan sebutan Buyek Didi.
"Oh, tunggu sebentar!" Aku pun bergegas turun ke bawah untuk membuka pintu gerbang. Beberapa detik kemudian aku sudah berhasil membukanya.
"Sudah tidur ya?" tanya Dinda kepadaku.
"Belum, tadi lagi nonton Bu Tejo, hehe.." jawabku.
"Hahaha.. Bu Tejo yang lagi viral itu," Dinda menyambung sambil menuntun motornya masuk dan parkir di halaman sementara aku menutup pintu gerbang lagi.
"Ada perlu apa malam-malam datang kesini, Din?" tanyaku heran.
"Ada yang mau aku bicarakan, penting," jawabnya dengan mimik wajah serius.
"Yaudah, mau duduk di bangku luar itu atau mau duduk di dalam?" tawarku.
"Emmm mana ya?" Dinda berpikir.
"Yaudah di dalam aja, di luar dingin, sini masuk," aku berkata seraya menggandeng tangan Dinda untuk masuk ke ruang tamu. Kami duduk di sofa ukuran 150 x 50 cm yang berwarna krem.
"Aku mau minta maaf soal kejadian seminggu yang lalu.." Dinda berkata begitu sambil memeluk tubuhku. Aku kaget.
"Nggak apa-apa, Din.. lupakan saja.." jawabku sambil mengusap rambut Dinda.
"Aku tuh sampai nggak bisa fokus kerja dan lain-lain gara-gara kepikiran itu.. sampai hampir stress.. nggak produktif.. rasanya males ngapa-ngapain.. pokoknya kacau hari-hari kemarin itu.." ujar Dinda sambil melepas pelukan.
"Kalau begitu, kita sama.. Aku juga setelah pertemuan terakhir kita, jadi males ngapa-ngapain.. nggak tidur dua hari.. males makan, males mandi, bahkan kerja pun nggak semangat.. sempat berpikiran untuk pergi menemuimu juga malah.."
"Iya kah? Aku kira cuma aku yang merasakan betapa hebatnya serangan rindu ini.. ternyata kamu juga.." Dinda menyandarkan kepalanya di pundakku.
"Hei, lihat ini.." kataku sambil menunjuk ke hidungku, "kemarin muncul jerawat rindu yang warnanya merah merona, pasti gara-gara merindukanmu.."
"Hahaha.. sini tanganmu," Dinda memegang jariku dan menuntunnya untuk menyentuh pipinya, "rasakan ini, jerawat yang tumbuh gara-gara memikirkanmu juga, masih ada kan?"
"Hehe, iya.."
"Kamu tahu?"
"Nggak.. aduh!" Tiba-tiba sebuah cubitan terasa di perutku.
"Aku belum selesai ngomong.." sergah Dinda.
"Yaudah, lanjutin dek.." kataku lirih.
"Kemarin-kemarin tuh sebenarnya aku lewat jalan depan sini terus, ingin mampir tapi masih ragu, gengsi juga ding.. masa iya, aku nyamperin kamu duluan.."
"Tapi, sekarang berani, malam-malam pula.. Hehehe.. wadaw!" Kali ini sebuah cubitan mendarat di dadaku.
"Mau gimana lagi? Daripada aku gila memendam rindu ini sendirian.. bodo amat dengan gengsi.. Hahaha.."
"Kangen banget ya?" tanyaku.
"Ho-oH" jawabnya sambil mengangguk.
"Tadi ijin orang rumah nggak?"
"Iya, aku bilangnya mau main.."
"Hampir jam sepuluh ini," aku mengingatkan.
"Biarin, mau tidur disini aja.. hehe," ujar Dinda polos.
"Oke deh, nanti tidur di sofa ini.."
"Nggak jadi ding, bisa diamuk ibu ntar kalau nggak pulang.."
"Kan pulang dek, tapi besok subuh.. hehe.."
"Huuuu.. bisa-bisa dicoret dari Kartu Keluarga, hahaha.." Dinda tertawa lalu mengubah posisi duduknya.
"Aku antar deh sampai rumah.. biar dimarahi berdua.." Aku asal bicara.
"What? bisa dibunuh berdua malahan," ujar Dinda.
"Yaudah, nanti satu jam lagi pulang ya.." saranku.
"Iya, mas.." kata Dinda sambil menyandarkan tubuhnya pada tubuhku. Posisi duduknya aku ada dibelakang Dinda yang terlihat santai sekali sembari menyelonjorkan kaki.
"Aku lapar.." bisikku lirih ditelinga Dinda.
"Aku enggak, wek.. eh, ada suara perut keroncongan, hahaha.." itu Dinda mendengar perutku yang berbunyi.
"Dari tadi siang belum makan karena, tadi rencananya mau ke kafe dekat sini, nonton temanku yang tampil baca puisi sambil makan gitu, tapi nggak jadi," tuturku.
"Kenapa nggak jadi?" Dinda bertanya.
"Terlalu ramai pengunjungnya, males, padahal tadi udah sampai disana, eh, putar balik.." jelasku.
"Kasihan.."
"Makan yuk?" ajakku.
"Nggak mau, aku udah makan tadi sebelum kesini.." Dinda tidak setuju.
"Yang makan aku aja, kamu nonton aku makan, hehe.."
"Ogah!" Kata Dinda seraya mencubit lenganku.
"Aduh duh duh.. ampun dek.." jeritku karena cubitan Dinda yang lumayan lama dan sakit.
"Aku ngantuk.." kata Dinda manja.
"Yaudah, bobok sini.." balasku sambil mengubah posisi. Sekarang kepala Dinda sudah ada di atas pahaku.
"Mau bantalan pakai perut, mas.. biar empuk, hehehe.." rengek Dinda.
"Siap grak!" Aku nurut aja seraya memindahkan kepala Dinda ke atas perutku.
"Hihihi.. lucu, gerak-gerak.."
"Katanya ngantuk, malah cengengesan terus.." Aku berkata sambil mengelus-elus rambut Dinda dengan lembut.
"Ada nyamuk ini.. suaranya ganggu banget di kuping," Dinda protes.
"Biarin aja, mungkin nyamuknya lagi pingin curhat.. hehe.."
"Hiiih" satu cubitan mendarat di pahaku.
Hingga akhirnya Dinda tertidur dengan nyaman di sofa berbantalkan perutku. Aku masih terus mengelus-elus rambutnya yang tidak terlalu panjang. Menjelang pukul sebelas, aku membangunkannya.
"Dek.. bangun, dek.. sudah hampir jam sebelas, katanya mau pulang?" Bisikku pada Dinda.
"Masih ngantuk.."
"Yaudah, bobok lagi, hihihi.."
"Nggak ah, mau pulang.."
"Aku anter ya?" tawarku.
"Nanti pulangnya kamu naik apa?"
"Ojek, ada nggak?"
"Di kampungku nggak ada ojek jam segini.."
"Yaudah, kamu pulang sendiri aja.. tapi nanti kalau sudah nggak ngantuk lagi.. Oke?"
"Siap kapten," jawab Dinda.
"Cuci muka dulu sana biar seger," perintahku.
"Nggak mau.. dingin.."
"Nih bocah maunya apa sih?"
"Hehe.. maunya tidur lagi.."
"Tidurnya lanjut nanti dirumah ya.. sekarang sudah malam.. kamu pulang dulu.." pintaku.
"Iya, mas, iya.."
"Kacamata dipakai, biar nggak nyusruk, hihihi.."
"Masih ngantuk, tidur disini aja ya?, nyamar jadi Sleeping Beauty, hehe.." candanya.
"Iya, deh, silakan.. nanti aku cium biar bangun.." balasku.
"Eh, nggak ding, mau pulang aja, wek!"
Dinda pun kemudian naik ke atas motornya. Bersiap untuk pergi. Tapi sebelum itu dia ngasih kode untuk dikecup keningnya dulu. Setelah itu dia pamit dengan salaman dan mencium tanganku.
"Selamat ulang tahun ya, Mas.. Cinderella pulang dulu.." ujar Dinda.
"Iya, terima kasih.. hati-hati.." timpalku.
Dinda bergerak meluncur bersama motornya menuju arah selatan. Aku menutup pintu gerbang dan menguncinya. Kesepian kembali melanda. Tapi setidaknya tadi sudah tuntas rasa rindu yang terpendam, yang membuat semuanya terasa menyesakkan. Akhirnya aku bisa makan dengan enak dan tidur dengan nyenyak.

TAMAT

Minggu, 31 Mei 2020

DI STASIUN KERETA ITU

    Di Stasiun Kereta itu

Anak ku berlari sambil memegangi es krim yang baru saja ku belikan untuknya di sebuah gerai retail di dalam area Stasiun Balapan, Solo. Aku berjalan agak cepat dibelakangnya dengan maksud agar tidak terlalu jauh dengannya di keramaian. Anak ku berusia lima tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan aku sendiri adalah seorang ibu rumah tangga separuh baya dan fokus mengurus anak. Aku dan anak ku berada di stasiun malam ini karena harus menjemput suamiku yang sedang dalam perjalanan pulang dari Jogja naik kereta Prameks terakhir. Aku ajak anak ku karena dirumah tidak ada siapa-siapa. Aku tidak berani kalau harus meninggalkannya sendirian di rumah.

"Bruk!!" disusul suara tangisan anak ku yang ternyata itu akibat dari dia sukses menabrak seorang lelaki yang sedang berjalan dilorong stasiun kereta itu. Es krim nya jatuh ke lantai. Ada juga yang menempel di celana lelaki tersebut dan juga di baju anak ku. Aku berlari ke arahnya dan langsung menggendongnya. Kemudian aku bawa anak ku duduk di bangku panjang yang tersedia di lorong stasiun. Mengambil tisu basah dari dalam tas dan membersihkan noda es krim yang ada di baju anak ku. Lelaki itu juga menyusul duduk di bangku panjang yang sama denganku. Dia berusaha membersihkan es krim yang menempel di celananya dengan tangan kosong.

"Ini mas, pakai tisu basah.." tawarku kepadanya setelah selesai membersihkan anak ku.

"Oh, iya mbak.." dia berkata sambil mencabut selembar tisu basah yang aku tawarkan.

"Maaf ya, mas.. gara-gara anak saya celana mas jadi kotor," ujarku meminta maaf.

"Ah, nggak apa-apa mbak, masih bisa dibersihkan kok.." katanya sambil tersenyum.

"Adek.. lain kali kalau lari-larian ditempat yang ramai, lihat ke depan ya.. biar nggak nabrak.." aku berkata pada anak ku.

"Iya, Ma.." jawabnya dengan wajah yang masih sedikit mewek.

"Udah, jangan nangis lagi.. nanti Mama belikan es krim lagi.. oke sayang?" itu aku masih berkata pada anak ku. Dia cuma mengangguk, tanda setuju.

"Emmm, ini Mbak, tisu nya, terima kasih.." kata lelaki itu.

"Oh, iya Mas, taruh situ aja.." jawabku.

"Ngomong-ngomong, Mbak ini tujuannya kemana?" dia bertanya padaku.

"Eh, nggak kemana-mana, saya cuma mau jemput suami saya.. sedang dalam perjalanan dari Jogja.." jelasku.

"Ooh gitu.."

"Iya, Mas.. kalau Mas sendiri, mau kemana?" tanyaku padanya.

"Aku mau ke Pekalongan, Mbak.. tapi naik kereta yang jadwalnya besok pagi jam lima subuh," jawabnya.

"Lho.. kok jam segini sudah datang ke stasiun?" tanyaku penasaran. Anak ku sudah mulai bermain-main lagi di area lorong.

"Hehe.. jadi gini, tadi itu aku dari Jogja, jam tujuh kurang dua puluh menit sudah sampai sini.. terus aku cari makan dulu di luar stasiun.. baru kesini lagi.. rencananya mau numpang tidur di stasiun, hehe.." jelasnya panjang lebar.

"Memangnya nggak ada kereta yang dari Jogja langsung ke Pekalongan?" tanyaku lagi.

"Ada sih.. Joglosemarkerto, tapi kalau dari Jogja langsung ke Pekalongan itu lebih mahal dan perjalanannya lebih lama.. enakan dari Solo, lebih murah dan lebih cepat.." dia menjelaskan lagi.

"Oh gitu.. kok nggak tidur di penginapan aja, Mas?"

"Biar irit aja.. hehe, di stasiun kan gratis.."

"Oh iya, bener.. bener.. hahaha," aku membenarkan alasannya.

"Anaknya umur berapa, Mbak?" dia bertanya berusaha mengganti topik pembicaraan.

"Lima tahun, Mas," jawabku singkat. "Oh iya, tadi Mas mau ke mana, Pekalongan ya?" aku lanjutkan dengan bertanya padanya.

"Iya, Mbak.. kenapa Mbak?" 

"Oh itu.. saya dulu waktu es-em-pe juga pernah sekolah di Pekalongan lho.." ujarku.

"Iya, kah?"

"Iya.. di es-em-pe negeri satu Sragi, tapi cuma setahun sih, pas kelas dua aja.. kelas tiga nya aku pindah ke Sragen lagi.." ceritaku.

"Oo.. aslinya Sragen?" dia bertanya sambil manggut-manggut.

"Iya, Mas.. dulu sekolah di Sragi itu karena ikut Bapak.. kebetulan Bapak ku dulu itu staff di Pabrik Gula Sragi, kami menempati rumah dinas yang disediakan oleh perusahaan.." jelasku panjang lebar.

Anak ku mendekat padaku dan minta dipangku. Sepertinya dia mulai lelah dan ngantuk. Aku memangkunya sambil menina-bobokannya sembari sesekali melihat henpon untuk memeriksa apakah ada pesan dari suamiku. Kulihat lelaki yang disampingku itu sedang minum air mineral dari botolnya. Lalu dia memandang ke arahku dan tersenyum. Aku pun membalas senyumnya sekedar saja. Sementara anak ku sudah mulai memejamkan mata dan tertidur. Aku pun segera memindahkannya dari pangkuanku ke bangku panjang yang masih kosong disebelahku. Jaketnya aku jadikan bantal untuk membuatnya kepalanya merasa nyaman. Karena bangku panjang itu terbuat dari besi yang berlubang-lubang.

"Anaknya lucu ya, Mbak.. hehe," tiba-tiba dia membuka suara.

"Iya, Mas.. tapi bukan pelawak, hehe.." jawabku dengan sedikit membuat lelucon.

"Ah, Mbak bisa aja.. namanya siapa Mbak?" dia bertanya.

"Ayu.." jawabku singkat menyebut namaku.

"Ayu? masa anak cowok namanya Ayu?" dia bertanya heran.

"Oh, saya kira Mas tanya nama saya, hehe.. maaf.. maaf, hahaha.."

"Bukaaan.. tapi, nama anak Mbak itu, haha.." dia ikut tertawa.

"Anak saya ini namanya Zayn.." jawabku menyebut nama anak ku.

"Waah.. ngefans sama personel One Direction ya?.. siapa itu.. eee.. yang namanya Zayn Malik ya?" tebaknya.

"Nggak juga sih, Mas.. walaupun iya namanya mirip.. tapi sebenarnya nama itu mengingatkan saya pada seseorang yang dulu waktu es-em-pe di Sragi pernah satu sekolahan tapi beda kelas.. aku kelas dua Be, dia kelas dua A.. tetanggaan.." jelasku.

"Oo.. mantan pacar ya?" dia bertanya.

"Bukan.." aku menjawab sambil mengipasi anak ku yang masih terlelap.

"Lalu kenapa sampai memberikan nama yang mirip kepada nama anak Mbak?.. kalau bukan orang yang spesial, pasti nggak mungkin dong.. hehe," ujarnya panjang.

"Spesial.. pakai telor dua.. hahaha.." tambahku.

"Emangnya martabak?.. hahaha.."

"Ssttt.. jangan keras-keras ketawanya, nanti anak saya bangun.." sergahku.

"Siap, grak!" jawabnya sambil menaruh telapak tangan di pelipisnya seperti orang yang sedang hormat. Aku tersenyum kecil.

"Jadi.. dia itu naksir saya, tapi nggak berani mendekati saya.. kenalan secara langsung pun nggak berani.. Hahaha.." ceritaku lagi.

"Kok, Mbak bisa tahu kalau dia naksir sama Mbak?" dia bertanya penasaran.

"Itu.. saya tahu dari teman-teman sekelas saya yang juga teman dia.. jadi, kalau dia cerita tentang saya, pasti sampai ke telinga saya juga.. hehehe.." lanjutku lagi.

"Hehehe.."

"Yang saya tahu, dia setiap pagi sebelum bel masuk berbunyi, pasti selalu menunggu saya lewat di depan kelasnya.. dan saya selalu pura-pura tidak melihat dirinya yang sedang memperhatikan saya dari jendela kelasnya.. hahaha.. lucu ya.." aku masih terus bercerita.

"Iya, Mbak.. namanya cinta monyet.. kata orang tua jaman dulu.. Hehehe.." dia menimpali.

"Kata teman-teman saya juga, dia itu bikin tulisan.. eh, itu semacam buku cerita yang ditulis tangan.. ceritanya tentang saya gitu.." aku mencoba kembali mengingat masa es-em-pe.

"Hmmmm.. kreatif juga dia ya, Mbak?" 

"Iya, hahaha.. jadi, di dalam buku nya itu saya dan dia itu dituliskan sebagai sepasang kekasih remaja yang sudah es-em-a, hehe.." jelasku.

"Terus.. terus.. apa lagi, Mbak?" dia bertanya dengan antusias.

"Oh ini, saya pernah dikasih pinjam buku cerita itu dan membacanya, ada puisi yang menurut saya cukup unik, aku sampai menyalinnya di buku diary ku.. hahaha.."

"Unik gimana Mbak?" dia terus bertanya.

"Ya pokoknya unik.. lucu gitu kata-katanya.. kalimatnya.. saya sudah nggak ingat lagi, buku nya pun sudah tak tahu ada dimana.. hehe.." aku masih terus bercerita. 

"Rasanya gimana, Mbak.. ada orang yang begitu perhatian sama Mbak, dan menuliskan itu dalam sebuah cerita dan puisi, lalu Mbak tahu karena membaca tulisan-tulisan dia.."

"Rasanya aneh, geli, seneng.. campur jadi satu.. hahaha.." kataku. Tiba-tiba anak ku menggeliat dan agak sedikit membuka mata. Aku langsung bergegas untuk menenangkannya lagi.

Mungkin sepuluh menit lagi kereta yang ditumpangi suamiku sudah akan sampai di Stasiun Balapan. Aku masih mencoba menidurkan anak ku lagi. Sementara aku lihat lelaki yang daritadi ngobrol dengan aku itu beranjak dari duduknya dan berjalan pergi menuju gerai retail yang sama dengan tempat dimana aku membelikan es krim anak ku. Entah dia mau membeli apa. Aku tidak perlu tahu dan tidak mau tahu.

Beberapa menit kemudian, dia keluar dari gerai retail tersebut dengan membawa sebungkus cokelat batangan yang merk nya terkenal itu. Kemudian dia duduk lagi ditempat dia duduk semula. Sementara aku duduk sambil memperhatikannya. Dia mengeluarkan notes kecil dan sebuah pulpen dari dalam tas nya. Tampaknya dia menulis sesuatu. Tiba-tiba dia melihat ke arahku. Aku langsung memalingkan pandangan untuk pura-pura tidak memperhatikannya. 

Suara pengumuman bahwa sebentar lagi kereta Prameks tujuan akhir Stasiun Solo Balapan segera tiba terdengar melalui loud speaker-loud speaker yang terpasang dibeberapa sudut stasiun. Aku mulai bersiap-siap diri untuk menyambut suamiku. Anak ku masih tetap tertidur di bangku panjang di lorong stasiun kereta itu.

"Ayu.." kata lelaki itu sedikit berbisik.

"Iya?" jawabku.

"Selamat ulang tahun ya.. Ayu Gani Ramadhan.." katanya sambil menyodorkan sebungkus cokelat batangan dan selembar kertas yang ada tulisan tangannya.

"Haaah?" Aku melongo. Kenapa dia bisa tahu namaku dan tanggal ulang tahunku. Siapa dia sebenarnya. "Kok?.. kok, Mas bisa tahu nama lengkap saya dan tanggal ulang tahun saya?" Aku masih shock dan terkejut dan sambil bergetar tanganku menerima hadiah darinya.

"Hei.. jangan bengong dong.." ujarnya.

"Jawab dulu, kok bisa tahu nama lengkap saya dan tanggal lahir saya?" aku masih penasaran.

"Kenalkan.. aku Zaen, yang kamu ceritakan tadi.." dia berkata sambil mengulurkan tangan kepadaku. Aku pun menyambutnya.

"Beneran?.. Kamu Zaen yang pernah suka sama saya waktu es-em-pe?" aku masih belum percaya.

"Iya.. beneran.. itu aku.. dan sekarang aku sudah berani berkenalan denganmu.." ujarnya.

"Eh, hehehe.." aku jadi merasa malu dan ingin menyembunyikan muka ini ke dalam tas.

"Hari ini tanggal dua puluh sembilan April, adalah hari ulang tahunmu, semoga segalanya baik bagimu.. tetap sehat.. terus bahagia dan banyak uangnya.." katanya.

"Aamiin.. terima kasih ya untuk doa dan hadiahnya.. saya nggak nyangka bisa bertemu kamu disini.." aku berkata sambil memasukkan cokelat dan kertas itu ke dalam tas. 

"Selalu ada kejutan dalam kehidupan ini Yu.. dan mungkin itu sudah kehendak dari Tuhan.." dia berujar.

"Iya.. sekali lagi terima kasih.." kataku kepadanya. Zaen hanya diam.

"Ma.." itu suara suamiku.

"Eh, Papa.. sudah sampai rupanya.." kataku pada suamiku sambil menyalaminya dan mencium tangannya. Lalu dia mengecup keningku.

"Iya, baru aja sampai.. si Zayn tidur ya Ma?" tanya suamiku.

"Iya tuh, kecapekan main, terus tidur.." jawabku.

Suamiku langsung menggendong anak ku dan memberinya kecupan sayang. Sementara aku membereskan tempat yang tadi dipakai tidur oleh anak ku. Kulihat Zaen masih duduk ditempatnya dan memperhatikan aku. Aku tersenyum kepadanya. Dia pun membalas senyumku. Kemudian aku segera menyusul suamiku yang sudah berjalan lebih dulu. Tidak lupa aku lambaikan tangan kepada Zaen. Sebagai tanda say goodbye. Di Stasiun kereta itu.


***
Ini adalah puisi yang dituliskan Zaen pada waktu di stasiun, dan sama dengan yang pernah aku salin dari bukunya.

AGAR-AGAR MANIS

Tahukah kamu apa itu agar-agar?
Ya, itu adalah kamu..
Ayu GAni Ramadhan..
Ayu GAni Ramadhan
Yang manis..

Aku ingin kamu sehabis olahraga
Biar segar lagi..
Aku ingin melihatmu bersepeda
Biar apa? Aku tak mengerti..

Tahukah kamu siapa penemu engsel jendela?
Aku ingin berterima kasih padanya..
Karena dia aku jadi bisa memperhatikanmu setiap pagi buta..
dari balik jendela kelas yang aku buka..

Untukmu, Agar-Agar Manis
Dari aku, Jerry Zaen

(Ini sama dengan yang kamu salin ke buku diary mu).




Sabtu, 30 Mei 2020

D

DARWANTO

15:1 Hai itu Darwanto sedang mengebor tanah untuk dibuat sumur.

15:2 Yee Yee Yee

15:3 Sumur yang memancarkan mata air dari bumi yang di bor.

15:4 Yee Yee Yee

15:5 Daerah Andalas, dekat Rumah Makan Siang Malam di Jalur Lintas Timur.

15:6 Yee Yee Yee

15:7 Darwanto mencoba untuk menghibur diri sendiri. Ya menghibur.

15:8 Yee Yee Yee

15:9 Dengan tersenyum dan bilang

15:10 Yee Yee Yee


*Yee Yee Yee : tidak ada artinya

Darwanto adalah nama seorang manusia yang tinggal ditempatkan oleh Tuhan untuk berada di wilayah Lampung Tengah.

Jumat, 01 Mei 2020

PECEL BINGUNG

PECEL BINGUNG

Benar. Aku sedang duduk di atas trotoar yang terdapat di samping luar gerbang masuk area Taman Budaya Yogyakarta. Biar apa? Biar kalian tahu kalau aku sedang kesepian dan butuh teman untuk diajak duduk berdua. Itu saja. Dan aku sedang menunggu Pinky (bukan nama samaran) yang malam itu sudah aku suruh untuk datang menemui aku di pusat kota Jogja. Pinky mau. Harus mau. Karena aku sudah menyuruh tukang ojeg online untuk menjemputnya dan memboncengnya untuk dibawa kepadaku. Menyebabkan aku menjadi seperti bos penculik yang menyuruh anak buahnya untuk menculik seseorang. Lalu yang diculik itu jatuh cinta pada penculiknya. Seperti yang disebut, apa itu namanya, alaaah.. Stockholm Syndrome. 

TBY. Itu adalah singkatan dari Taman Budaya Yogyakarta jika kamu belum tahu. Malam itu banyak sekali orang yang datang kesana. Karena ada pertunjukkan Kethoprak dengan judul HANTU EMOH KORUPSI yang dimainkan oleh Dagelan Mataram. Gratis. Makanya banyak yang mau nonton. Ya, jika kamu hidup dan tinggal di Jogja. Kamu akan sering mendapati tontonan-tontonan kesenian dengan percuma. Percuma yang ku maksud itu adalah kosa kata bahasa Malaysia kalau dalam bahasa Indonesia artinya Gratis. Kalau dalam bahasa Polandia sih aku nggak tahu. Tidak masalah, karena tidak ada orang Polandia yang baca tulisan ini. Biarin aja.

Itu Pinky sudah datang. Dibonceng abang ojeg yang seragamnya hijau. Membuat aku harus berdiri dan mengeluarkan sejumlah uang sebagai bayaran yang harus diberikan kepada abang tukang ojek yang sudah dengan senang hati mengantarkan dia kepadaku. Dia, yang kumaksud adalah Pinky. Mengenakan kerudung berwarna biru dongker, kaos berwarna apa ya? Aku lupa. Yang dilapis dengan kemeja berwarna putih yang sengaja tidak dikancingkan. Celana jins biru model cutbrai yang ujung bawahnya sudah digunting-gunting biar dibilang keren oleh teman-temannya yang mahasiswa dan mahasiswi. Dan sandal bulu-bulu berwarna pink, biar ada hubungannya dengan namanya, Pinky. Oh itu dia juga memakai tas slempang kecil yang berfungsi untuk menyimpan handphone-nya sekaligus sebagai aksesoris, atau hanya dipakai untuk pegangan tangan agar dia tidak bingung mau pegang apa ketika sedang berjalan, duduk, berdiri, dan ngomong. Coba amati cewek-cewek. Jika kalian sempat. Perhatikan, mereka akan mati gaya ketika tangannya tidak menemukan sesuatu untuk dipegang.

Oh! Itu kami berdua sudah mulai bercakap-cakap. Di depan TBY (Toko Buku Yasmin) Disaksikan Pak Satpam TBY (Tugiyo Bambang Yudhoyono) yang sedang menjaga area TBY (Taman Budaya Yogyakarta). TBY semua. 

"Ada apa?" Tanya Pinky.
"Ada aku di sini.." jawabku.
"Nggak, maksud ku, kenapa tiba-tiba minta aku menemui kamu?" Sambungnya.
"Pingin ketemu aja.."
"Oalah, iya.."
"Mau nonton ketoprak nggak?" Tawarku.
"Emang ada?" Dia malah balik tanya.
"Ada, itu rame banget yang mau nonton.."
"Nggak usah ah.."
"Ok deh.." aku berusaha untuk menjadi manusia yang normal ketika tidak bilang,"ketoprak kan enaknya di makan."
"Sekarang mau kemana?" Pinky bertanya padaku. Karena memang cuma aku yang sedang duduk di sampingnya.
"Nggak tahu mau kemana.." jawabku.
"Lah gimana sih?"
"Yaudah, ke Nol Ka-eM aja yuk.." ajakku. For your information yang sering disingkat FYI. Nol Ka-eM adalah sebutan untuk sebuah wilayah di pusat kota Jogja yang sering dijadikan tempat nongkrong orang-orang yang kebetulan tinggal di Jogja. Adalah ujung selatan dari Jalan Malioboro yang kesohor itu. Ada bangunan Monumen Serangan Umum Satu Maret dan Benteng Vredeburg di sisi Timur Jalan. Kemudian ada Gedung Agung Kepresidenan di sebelah Barat jalan. Banyak bangku dan tempat duduk yang dengan sengaja disediakan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta untuk orang-orang yang datang ke sana. Terimakasih.
"Yuk lah.." Pinky setuju.

Kami berjalan ke arah Selatan. Diatas jalanan yang terbuat dari conblock, sepanjang jalan Sri Wedhani. Melewati pasar buku yang dikenal dengan sebutan shopping, melewati masjid, melewati penjual mie ayam, melewati penjual bakwan kawi, melewati penjual wedhang ronde, melewati tukang parkir, melewati kelelawar yang sedang terbang, melewati mobil yang sedang diparkir, melewati motor yang sedang dikendarai dan juga diparkir, melewati tukang becak hingga sampai di ujung jalan. Kemudian kami harus belok kanan. Menuju ke arah Barat. Melewati driver ojek online yang sedang berkerumun sambil ngobrol. Melewati halte bus Trans Jogja yang berwarna hijau dan kuning. Melewati Taman Pintar. Melewati penjual bakso yang di dekat gerbang Taman Pintar. Melewati mesin-mesin ATM yang ada di dekat gerbang Taman Pintar. Melewati penjual batu akik, melewati penjual poster, melewati penjual pigura, melewati penjual aksesoris, melewati penjual bakpia asongan, melewati penjual kaos, melewati pojokan Benteng Vredeburg, melewati tong sampah, melewati orang pacaran, melewati petugas Dinas Perhubungan. Banyak lagi pokoknya, yang kalau ditulis semua bikin aku jadi capek.

Aku berjalan dengan Pinky dengan sedikit obrolan. Aku pun lupa dengan apa yang diomongkan. Karena saat itu fokus ku bukan untuk ngobrol atau diskusi atau debat atau komunikasi verbal yang lain. Tapi murni bahwa aku hanya ingin bertemu dan ditemani untuk berjalan kemudian duduk, menikmati malam yang bertanggal 29 Januari dan sedang Rabu. Cerah dengan sedikit angin. Kami pun duduk di bangku yang dikhususkan untuk duduk berdua. Banyak tersedia disana. Tapi kadang kalau sedang ramai wisatawan, kamu harus rela antre untuk dapat duduk disana. Tapi sebenarnya bangku itu bisa untuk duduk berempat, berlima, berenam, bertujuh, berdelapan dan seterusnya kalau kalian mau duduk bertumpuk sampai ke atas. Tapi kukira kalian pasti tidak mau melakukannya. Karena selain susah juga kamu pasti malu.

Ya, kami berdua hanya duduk saja. Benar-benar dengan sedikit obrolan. Malah lebih sering saling diam. Dan membuat orang-orang yang lewat akan punya pertanyaan dalam kepalanya masing-masing.
Itu lagi marahan kali ya?
Mereka berdua pacaran nggak ya?
Pacaran kok nggak ngobrol?
Suami istri bukan ya?
Kasihan itu istrinya, dapat lelaki jelek
Eh ada yang pacaran disana
Gantian dong tempat duduknya
Kira-kira kalau ditawari minuman mau nggak ya?
Kayaknya mereka cuma temenan deh
Itu kakak adek kok nggak mirip?
Eh lihat yang cewek sendalnya lucu
Eh ada cowok tuh tapi pacar orang lain
Mereka pasti bukan orang sini
Aku bisa merebutnya
Biarkan saja. Mereka bebas untuk berfikir dan bertanya-tanya. Sampai akhirnya aku berbicara pada Pinky.
"Pulangnya aku antar ya Pink.."
"Iya.. eh, tapi, emang kamu bawa motor?"
"Enggak.."
"Lah, terus nganternya pakai apa?"
"Mobil dong.."
"Serius?"
"Itu.. Trans Jogja.. Haha.."
"Hahahaha.."
"Enggak, nanti ambil motor orang.. Hahaha.."
"Hahaha.. nyolong dong?"
"Yuk, ke RAMAI Mall dulu.. ambil motor.." ajakku.
"Beneran nih?"
"Udah ayuk ikut aja.."
"Oke deeh.."
Berjalanlah kami berdua ke arah Utara. Kali ini tidak akan aku sebutkan melewati apa saja karena bisa menyebabkan tulisan ini menjadi sampai beribu-ribu halaman jika dituliskan semua. Padahal cuma cerita pendek. Tapi bagus juga sih kalau misalnya terjadi betulan. Ada cerpen dengan halaman terbanyak di dunia. 

"Kamu tunggu di sini dulu Pink.." aku meminta Pinky untuk menunggu di dekat ATM yang ada di luar mall. Dekat dengan tukang becak yang sedang mangkal. Itu aku berkata setelah kami sampai di RAMAI Mall.
"Oke siap."
Aku masuk ke dalam. Menemui Andi, temanku yang punya usaha Rental Mini Car di dalam Mall. Sebentar. Kemudian keluar menuju tempat parkir di samping mall. Mengambil motor milik Andi beserta helmnya yang berwarna merah dengan gambar logo klub sepakbola Real Madrid. Menyalakannya. Melewati penjaga pintu parkir sambil bilang, "Mengko balik ndene neh.." itu aku berbicara dengan bahasa Jawa yang artinya: Nanti kesini lagi.. Sebagai tanda biar tidak usah bayar. Maksudnya bayarnya nanti setelah jam kerja Andi selesai. Kebetulan aku juga kenal tukang parkirnya.

Aku menemui Pinky yang masih setia menunggu. Ya, pada hakikatnya, cewek itu memang suka menunggu. Menunggu di tembak. Menunggu di lamar. Menunggu di ajak. Menunggu di lain sebagainya.
"Ayo Pink, naik.."
"Motor siapa ini?" Pinky bertanya.
"Motor Andi.."
"Oh.. Hehe.. Aku kira nyolong beneran.."
"Enggak lah.. Dosa kalo nyolong mah.. nanti masuk neraka.."
"Hahaha.." entah kenapa Pinky tertawa, padahal nggak ada yang lucu. Atau Pinky sengaja biar aku merasa berhasil melucu. Jadi dia tertawa hanya untuk menghormati usahaku saja. Mudah-mudahan iya.
"Karena helmnya cuma satu, kita lewat jalur aman saja.."
"Oke deeh.."
Kupacu motor Andi yang bunyinya lumayan bikin budeg telinga. Bergerak ke arah Timur. Menyeberangi Jalan Malioboro yang ramai untuk masuk ke Gerbang Kampung Ketandan yang khas daerah Pecinan. Itu letaknya di sebelah Utara RAMAYANA Ketandan (di Malioboro ada dua RAMAYANA, yang satu letaknya di Sosromenduran). Aku, Pinky, motor Andi dan Malaikat Raqib dan Atid melaju sepanjang jalan Kampung Ketandan, diperempatan yang ada patung Dewa Anjing itu kami lurus saja ke arah timur. Sampai ke Hotel Melia Purosani kami belok kiri. Benar-benar harus belok kiri kalau tidak mau menabrak pagar besi milik Hotel Melia Purosani. Hingga kami berada di jalan Suryatmajan untuk kemudian belok kanan melewati perempatan yang ada lampu merah, kuning, dan hijaunya. Harus menunggu beberapa detik untuk bisa melanjutkan perjalanan. Lurus menuju ke arah Timur melewati jembatan kali Code cabang Juminahan. Ya, sekarang kami ada di Jalan Juminahan untuk terus maju mendapati perempatan yang ada lampu merah, kuning, dan hijaunya lagi. Tapi ketika itu lampu sedang hijau dan kami lurus saja hingga berada di Jalan Bausasran. Jangan berhenti, karena perjalanan masih panjang. Angin membelai perjalanan kami. Ya ampun. Ada perempatan lagi. Ada lampu merah, kuning, dan hijaunya lagi. Berhenti sebentar kalau kamu tidak ingin ditabrak kendaraan lain. Jalan lagi ketika lampu sudah menyala hijau. Untuk melaju lurus terus melewati Jalan Gayam. Aku juga kenal tukang parkir yang ada di jalan Gayam, namanya Ari Wibowo. Nggak penting ya. Oke. Lanjut lagi. Ah itu Stadion Mandala Krida ada disamping kiri kami, berarti kami ada di Jalan Kenari dan ketika bertemu perempatan kami memilih belok kanan untuk melewati Jalan Cendana. Lihat itu di sebelah kiri kami ada GOR AMONGRAGA. Kami terus melaju di atas motor Andi yang tanpa lampu. Adegan berbahaya jangan ditiru. Untungnya Jalanan di kota itu banyak lampunya sehingga masih bisa lihat kondisi jalan. Akhirnya sampai di pertigaan. Kami harus belok kiri tidak usah menunggu lampu hijau. Karena ada tulisan BELOK KIRI TERUS WAE artinya Belok Kiri Jalan Terus. Menyebabkan kami ada di Jalan Kusumanegara. Kami melaju di atas motor dengan sedikit obrolan. Karena sudah kubilang dari awal. Aku hanya ingin bertemu dan ditemani. Tak terasa sudah melewati pertigaan yang ada lampu merah, kuning, dan hijaunya di daerah Glagah Sari. Tapi kali ini rambu-rambunya bertuliskan LURUS JALAN TERUS. Kami menurut saja karena tujuan kami memang untuk lurus.
"Pinky.. tolong.." itu aku yang bicara.
"Tolong apa?" Pinky bertanya.
"Lambaikan tangan kananmu.. Kita mau nyebrang ke kanan.." ternyata selain tanpa lampu utama, motor Andi juga tidak dilengkapi lampu sein dan klakson.
"Oke.. Siap grak!" Pinky melambaikan tangannya persis kenek bus antar kota antar propinsi memberi kode kemana motor kami akan bergerak.
Itu adalah pertigaan tanpa lampu. Di depan Swalayan Pamela Satu (Pamela ada banyak, disebut dengan memberi tambahan angka di belakangnya). Kami bergerak dibawah langit malam kota Jogja dan diatas aspal Jalan Prof. Dr. Soepomo yang nanti jika lurus terus akan bertemu dengan Kampus Tiga UTY (Universitas Teknologi Yogyakarta) dan Kampus Tiga UAD (Universitas Ahmad Dahlan). Tapi kami berhenti di pinggir jalan. Untuk apa? Ya, kami mau makan dulu. 

"Makan dulu ya Pink.." kataku.
"Iya.." jawab Pinky.
"Dimana?" Tanyaku.
"Di situ aja, yang nggak terlalu rame.. Nggak usah ngantre.."
"Baiklah"
Itu adalah sebuah warung makan yang berupa tenda di trotoar jalan. Ada tulisannya AYAM GORENG, BEBEK GORENG, LELE GORENG, BURUNG DARA GORENG, NILA GORENG. Namanya aku lupa. Nggak penting juga nama penjualnya siapa. Yang penting itu tadi, bertemu dan ditemani. Dan yang jelas aku malam itu memakan nasi dan ayam goreng dan diakhiri dengan minum air jeruk hangat. Sedangkan Pinky makan nasi dan lele goreng dan diakhiri dengan minum air teh hangat. Kami makan dengan tidak saling bicara karena. Pertama aku ingat sebuah lagu anak-anak yang liriknya, "makan jangan bersuara". Mungkin termasuk jangan ngobrol juga. Kukira. Kedua, aku pernah melihat warung makan bernama PLATO (di dekat Kampus UIN SUNAN KALIJAGA) semboyannya begini, "Makan dulu, baru mikir". Mungkin termasuk bicara juga. Kukira. Dan aku takut ketika sedang makan sambil berbicara kemungkinan lidahku bisa tergigit. Mungkin. Kukira. Sudah itu aku bayar apa-apa yang aku dan Pinky makan tadi. Lalu mengambil motor yang diparkir di samping warung. Ada rombongan keluarga yang sedang makan di atas tikar yang digelar di atas trotoar. Itu biasa disebut lesehan. Melihat kami. Kami yang dimaksud adalah Aku, Pinky, dan Motor Andi. Karena mereka tidak bisa melihat Malaikat Raqib dan Atid yang ikut dipundak kami. Seperti hal nya aku juga tidak bisa melihat ada Raqib dan Atid yang ada di pundak mereka. Mungkin mereka sedang berfikir.
Kasihan itu ceweknya cuma diajak makan di pinggir jalan
Super sekali cewek itu mau diajak hidup susah, naik motor butut, nggak pakai helm, makan seadanya, cowoknya nggak ganteng lagi
Cowok itu pakai pelet apa ya?
Itu pasti yang bayar makanannya tadi cowoknya
Ah. Kenapa aku jadi terlalu banyak prasangka? Ayo kita lanjutkan misi mengantarkan Pinky pulang ke kost sebelum jam sepuluh malam. Jalan menuju kost Pinky tidaklah mudah, banyak sekali berbelok-belok sampai aku bingung nanti pulangnya lewat mana. Yang jelas itu masih daerah Warungboto. Dan itu kost khusus wanita. Aku nggak boleh nginep disana. Kecuali kalau mau nyamar jadi waria. Tapi aku nggak mau.

Terimakasih Pinky sudah mau menemani malam itu. Terimakasih Tuhan sudah menciptakan Bumi yang punya siang dan malam dan manusianya juga. Terimakasih Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk tata kota yang tetap dijaga meskipun itu sumbangan dari penjajah pada jaman dahulu. Terimakasih Andi untuk motornya. Aku rasa, kadang memang perlu untuk bisa menjadi bahagia hanya dengan duduk berdua tanpa melakukan apa-apa. Mungkin ada yang bilang itu namanya nyaman. Kukira. Atau hanya sekedar pelampiasan ketika seseorang merasa kesepian dan menghindar dari kebosanan. Entahlah. Yang jelas aku senang malam itu.


Jogjakarta, Akhir April 2020 Masehi, ditulis sambil tiduran