Kamis, 31 Maret 2016

POJOK MLOKOLEGI dan KAJENOZ

Adalah agen resmi penjualan kaos-kaos yang didesain oleh Zen dan pembeli sesuai dengan pesanan. Bahan kaosnya terbuat dari katun yang boleh dicuci dan dijemur.
Bagi yang ingin memesan bisa menghubungi Kaje dinomer-nomer berikut:
-0852 2511 3185 telkomsel
-0856 4250 9791 Indosat
-0819 1414 4586 XL
Atau di akun fb: Zen Armstrong GreenTea
Pin BBM 5B0F8F9B

Sedangkan bagi yang tidak mau pesan, bisa menghubungi teman masing-masing barangkali mereka mau pesan. Terima kasih.

Ada Promo menarik untuk penggemar OK JEK NET TV.
Setiap pemesanan satu kaos OK JEK DRIVER akan mendapatkan STICKER ID CARD OK JEK atas nama sendiri.
Caranya:
Isi formulir
Nama Lengkap:
Tanggal Lahir:
Nama Panggilan:
Foto 4x6 selembar.

Nantikan juga kuis tentang ZEN : TETANGGA OF THE YEAR 2014 berhadiah kaos unik dari pengarang cerita tersebut. Caranya ikuti ceritanya dari awal sampai akhir dengan mengunjungi WATTPAD, dan follow penulisnya, beri TANDA BINTANG dan komen bila perlu. Dan menjawab pertanyaan yang nantinya diberikan.
Atau bisa juga lewat blog kajenoz.blogspot.com

Ayo kunjungi dan Belanja di POJOK MLOKOLEGI dan KAJENOZ (Online Shop).

Masih banyak lagi kuis berhadiah kaosnya setiap bulan.

(sambungan dari STICKER AMBIGRAM) LAGU UNTUKMU

Setelah acara buka puasa bersama itu, aku dan Zen lebih sering berkomunikasi. Yang namanya berkirim pesan lewat SMS dalam sehari bisa mencapai 50 pesan. Bahkan bisa lebih. Telepon juga, kadang sampai tiga kali sehari, udah kayak minum obat aja, hehe. Itu biasanya terjadi sehabis sholat subuh dan setelah sholat tarawih.

Aku akan menceritakan kejadian-kejadiannya, mencoba mengurutkan sesuai waktu terjadinya. Karena ini merupakan bagian dari sejarah.

Aku kadang seperti bingung sendiri sampai sekarang. Kenapa aku dulu bisa sangat mementingkan Zen daripada pacarku sendiri. Padahal aku sudah pernah bilang bahwa Zen tidaklah ganteng dan keren penampilannya. Aku juga sempat tidak menggubrisnya serta bersikap cuek terhadapnya. Ini bukan rasa cinta. Tapi entah apa. Mungkin kalau kalian jadi diriku pada saat itu,kalian juga akan mengalami perasaan seperti yang aku rasakan. Rasa dimana ada seoranp cowok yang sikapnya lebih manis dibanding pacar sendiri. Dan rasa itu tidak tersedia di dalam roti yang dijual dengan harga seribuan di warung.

Seperti malam itu, ketika aku sedang ditelepon pacarku tetapi kemudian ada telepon masuk juga dari Zen. Cuma miskol. Mungkin dia tahu aku sedang menerima telepon dari orang lain. Jadi dia mengalah. Aku langsung SMS ke dia.

"Ada apa?"

"Cuma ingin ngobrol, boleh?" begitu balasnya.

Aku sudahi telepon dengan pacarku. Lalu aku menelepon Zen. Langsung diangkat. Aku yakin pasti saat itu dia girang banget ditelepon oleh diriku.

"Halo.." sapaku.

"Halo.." dia membalas sapaanku.

"Lagi apa om?"

"Lagi tiduran, dan ditelepon sama kamu.."

"Dimana?"

"Diatas pohon, bersama raja semut, hehe.." jawabnya bercanda.

"Ih, om Zen.. Serius, dimana?" tanyaku.

"Dikamar.. eh, kamu tahu lagunya Muse nggak?" dia bertanya padaku.

"Ngerti.." jawabku singkat.

"Suka nggak?"

"Suka.. tapi aku ngertinya yang lagu itu aja, apa itu judulnya yang.. yang.."

"Starlight?" dia menyela.

"Bukan.."

"Histeria?"

"Bukan.. lagunya itu melow banget, pokoknya kalau disetel malam-malam dingin itu cocok banget.. judulnya aku nggak tahu, susah ngucapnya." jelasku.

"Oh, itu Unintended kayaknya.." kata Zen.

"Mungkin.. coba nyanyinya gimana?"

"Sebentar.. aku ambil gitar dulu, dengar sampai lagunya selesai ya.." pintanya.

"Iya.."

Malam itu, tanggal 24 Juli tahun 2014, dia menyanyikan lagu Unintended untukku. Aku suka. Walaupun suaranya pas-pasan, hihihi. Buat yang mau tahu lirik lagunya seperti apa, aku berbaik hati menuliskannya.

UNINTENDED


You could be my unintended
Choice to live my life extended
You could be the one I always love..


You could be the one who listens
To my deepest inquesition
You could be the one I always love..


I'll be there as soon as I can
But I'm busy mending broken
Pieces of the life I had before..


You could be the one who challenge
All my dreams and all my balance
She could never be as good as you..


You could be my unintended
Choice to live my life extended
You should be the one I always love..


Dan pada saat Zen menyanyikan itu untukku. Akupun sebenarnya ikut bernyanyi dengan suara pelan dikamarku.


Selanjutnya kami ngobrol santai sambil sesekali nyanyi-nyanyi bareng ditelepon. Biasanya aku dulu yang mulai bernyanyi, lalu Zen mengikuti. Lagu apa saja yang aku ingat, aku nyanyikan. Kadang aku sengaja menyelipkan lagu yang menggambarkan perasaanku kepada Zen. Karena aku tidak mungkin mengatakannya jika harus sengaja mengatakannya. Jadi dengan lagu aku bisa bebas mengungkapkan perasaanku.


"Kamu cita-citanya, ingin jadi apa?" tiba-tiba Zen bertanya setelah tadi aku bernyanyi lagu Titanium.


"Apa om? Maaf, tadi nggak dengar." kataku agar Zen mengulangi pertanyaannya.


"Kamu cita-citanya, ingin jadi apa bulek?" ulangnya.


"Jadi dokter," jawabku mantap.


"Bagus.. Nanti setelah lulus SMA lanjut ke Universitas mana?"


"UGM, Fakultas Kedokteran," jawabku dengan semangat.


"Semoga bisa masuk kesana ya.."


"Iya, aamiin.."


"Waah, nanti aku panggil kau bu dokter ya?"


"Hehehe." aku hanya tersenyum.


"Belajar yang rajin ya, Bulek.."


"Iya, Oom.."


"Tapi, hati-hati juga di dunia perkuliahan.. jaga diri baik-baik.." katanya.


"Memangnya kenapa Om?" tanyaku penasaran.


"Cewek secantik kamu, pasti bakal jadi incaran banyak cowok dikampus.. dan aku takutnya, mereka hanya ingin merusak dirimu.. sudah banyak contohnya kan? Aku tak ingin kau diganggu orang-orang seperti itu.."


"Iya om, terima kasih sudah mengingatkan," kataku.


Zen banyak bercerita tentang kehidupan mahasiswa dan kampus padaku. Yang membuat aku jadi tambah wawasan, tambah mengerti, dan membuka pemikiran. Aku rasa, dia adalah sosok yang aku inginkan. Dia bisa berperan sebagai teman sekaligus kakak bagiku. Iya, aku anak pertama, jadi aku tidak pernah mengerti rasanya punya kakak yang bisa melindungi dan menyayangiku. Dan juga bisa ada untukku setiap aku membutuhkannya. Seperti Superhero di film-film.


"Oom, aku ngantuk, aku bobok duluan ya.." kataku lirih.


"Iya bulek dokter.. hehe.."


"Ah, apaan sih om.." aku tersipu.


"Eh, jangan ingat aku ya.." Zen berkata.


"Kok gitu?" tanyaku heran.


"Biar aku saja yang mengingatmu, dan mengucapkan selamat tidur untukmu.." kalimatnya itu membuat aku terpana dan tersanjung. Tidak seperti pacarku yang mintanya selalu diingat dan ketemu dimimpi. Zen malah tidak ingin diingat tetapi dia sendiri yang akan mengingat diriku. Dan kalian harus tahu, aku melanggar ucapan Zen. Iya, aku malah mengingatnya serta mengucapkan selamat tidur untuknya.


"Selamat tidur juga Oom Zen.."


***


Paginya masih gelap dan dingin. Aku dan nenekku habis sholat subuh di mushola Al Amin. Sesampai dikamarku dan mengecek hape-ku, ternyata ada pesan masuk. Kalian pasti sudah tahu siapa pengirimnya.


"Jalan-jalan yuk!"


"Kemana?" tanyaku membalas pesan dari Zen.


"Keliling Daerah Istimewa Mlokolegi aja tuan Putri.. Melihat negerimu dan kehidupan rakyatmu, aku yang jadi pengawal, hehe.."


"Apaan sih?" aku jadi malu. Dia memang suka berimajinasi yang aneh-aneh, kayak anak kecil.


"Kamu kan saat ini cewek tercantik di Daerah Istimewa Mlokolegi, jadi semua orang harus tahu bahwa kamu juga tidak sombong untuk menyapa rakyat-rakyatmu disini.. mau nggak?"


"Dingin.. hehe, kapan-kapan aja ya.. lagian aku malu kalau jalan sama cowok yang bukan keluargaku, nanti dikira pacaran.." alasanku menolak adalah takut ada yang melihatku kemudian melapor pada ibuku.


"Ah, baiklah.. kapan-kapan," Zen mengiyakan.


"Aku juga kalau mau keluar harus minta izin ke nenekku.. nggak apa-apa kan?"

"Oke.." jawabnya singkat.

"Sebenarnya aku ingin menyanyikan lagu untukmu, tapi nanti aja ya kalau telepon.."

"Lagu apa?" Zen bertanya.

"Ada deh.. Hahaha"

"Ah kau.."

"Om sudah dulu ya, assalamu'alaikum.." aku mengakhiri SMSan itu karena pacarku menelepon.

***

Matahari mulai menampakkan sinarnya. Menyinari bumi dan jutaan bulir-bulir embun dipucuk dedaunan serta rerumputan Daerah Istimewa Mlokolegi. Aku sedang menyapu lantai karena disuruh. Capek juga walau sudah terbiasa. Sayup-sayup aku mendengar handphone-ku berbunyi. Mungkin ada yang menelepon. Iya benar, ada yang menelepon. Dan itu adalah mahluk yang tampaknya suka sekali menggangguku dan membuang waktuku. Tetapi aku suka diganggu olehnya. Zen.

"Halo.." aku berbicara.

"Halo.." suara Zen disana.

"Ada apa?"

"Ada aku disini.. hehe.. sedang apa sekarang?" dia bertanya.

"Tadi sedang menyapu, tapi sekarang sedang berbicara denganmu.." jawabku.

"Apakah aku mengganggu?"

"Nggak," jawabku singkat.

"Oh iya, tadi katanya mau nyanyi buat aku.. lagu apa?" dia menagih janjiku.

"Hehe, itu.. emmm, lagunya Padi.."

"Yang judulnya apa?"

"Itu, Harmoni.." jawabku.

"Oh iya, aku tahu.."

"Dengar ya," pintaku.

"Silakan menyanyi, aku mendengar.." katanya.

Asli aku menyanyikan lagu itu dari awal sampai akhir. Kadang Zen juga ikut bernyanyi pas masuk bagian reff.nya. Lagunya bagus, berisi tentang kehidupan sebagai manusia didunia.
Aku juga berbaik hati menuliskan liriknya untuk kalian baca.


Harmoni


Aku mengenal dikau
Tak cukup lama
Separuh usiaku


Namun begitu banyak
Pelajaran
Yang aku terima


Kau membuatku mengerti hidup ini
Kita terlahir bagai selembar kertas putih..
Tinggal kulukis dengan tinta pesan damai
Dan terwujud harmoni..


Segala kebaikan
Takkan terhapus
Oleh kepahitan


Kulapangkan resah jiwa
Karena kuyakin
Kan berujung indah..


"Sudah om.." kataku.


"Suaramu bagus," Zen memuji.


"Terima kasih, tapi menurutku biasa aja kok," aku merendah.


"Beneran, bagus.. lain kali nyanyi bareng yuk, mau?"


"Nggak ah, malu, hehe.."


"Tadi, lagu itu kau nyanyikan untukku?"


"Hu-um," aku menjawab sambil tak sadar mengangguk, padahal dia nggak akan melihat. Ekspresiku saat itu adalah menggigit bibir bawah dan memegangi sapu.


"Terima kasih.. sudah mau menyanyikan.."


"Sama-sama om, sudah mau mendengarkan.."


"Eh, jangan lupa sarapan ya.."


"Iya, eh nggak ding, ini kan masih puasa om.. Hahaha"


"Oh iya, lupa, hehe.."


"Ah om Zen udah tua, pelupa, hahaha.."


"Heheh.. Baiklah.. Aku mau beraktifitas dulu ya.. Udahan ah.." katanya.


"Iya om, terima kasih sudah menelepon," kataku.


"Terima kasih juga sudah mau diganggu.."


"Hahaha.." aku tertawa.


"Boleh assalamu'alaikum nggak nih?"


"Ya, assalamu'alaikum.." kataku.


"Wa'alaikumsalaam.." balasnya.


Telepon aku tutup. Aku melanjutkan aktifitasku. Bulan puasa hampir selesai. Seperti sudah dijadikan tradisi, jika harus bersih-bersih rumah untuk menyambut lebaran Idul Fitri. Kali ini aku semakin semangat melakukan aktifitasku. Sambil bernyanyi dan sesekali menari bagai penari balet. Nenekku hanya tersenyum melihat tingkah cucunya yang paling cantik ini tiba-tiba jejingkrakan kayak orang kesurupan. Untung mak Kutis tidak lewat dan melihatku. Tapi aku yakin dia pasti mendengar suaraku yang sedang bernyanyi. Hari itu aku benar-benar semangat. Karena dia. Zen.


(sambungan dari SEMAKIN MENDEKAT) STICKER AMBIGRAM

Memasuki minggu akhir bulan puasa, pemuda Mlokolegi yang tergabung dalam organisasi I.Ra.K (Ikatan Remaja Kemplokolegi) berencana mengadakan acara buka puasa bersama. Awalnya itu hanya ide iseng saja dari aku dan Risma karena merasa daerah kami ini sepi tanpa kegiatan pemudanya. Ternyata saat aku bilang tentang ide ini ke oom Zen, langsung mengiyakan dan akan menghubungi pemuda lain untuk ikut berpartisipasi. Aku masih ingat obrolanku dengannya lewat SMS yang membahas soal buka puasa bersama.

"Selamat malam.. boleh aku mengganggu?"

"Malam juga, om."

"Eh, nggak tarawih ya?"

"Iya, perutnya sakit.. om Zen nggak tarawih juga?"

"Nggak, lagi kerja, sakit kenapa?"

"Kekenyangan, hehe.. tadi habis makan mie ayam, dibeliin mbah Narti," jawabku.

"Di Castam ya?" dia bertanya.

Oh iya, Castam adalah nama orang, penjual mie ayam yang paling terkenal di wilayah Sragi dan sekitarnya. Orang Mlokolegi. Kedainya ada di sebelah selatan SMA Negeri 1 Sragi. Namanya Mie Ayam Tenda Biru, karena dulunya sebelum punya kedai berbentuk bangunan, warungnya hanya menggunakan tenda terpal berwarna biru dipinggir jalan, tepatnya didepan rumah Ibu Hajjah Tulipah.

"Bukan, tadi ada tukang mie ayam keliling lewat sini."

"Oo.. yaudah kamu istirahat aja.."

"Iya, om, makasih.. tapi ngomong-ngomong kamu lagi kerja apa?" tanyaku penasaran dan memang sebenarnya aku masih ingin ngobrol dengan dia, soalnya dirumah sepi. Pacarku juga mungkin sedang tarawih jadi nggak ada SMS ataupun telepon dari dia.

"Kerja freelance bikin desain.."

"Desain apa?"

"Logo dan kaos.."

"Itu dijual ya?"

"Iya.."

"Dapat duit?"

"Iya.."

"Berapa?"

"Tergantung kesepakatan, harganya beda-beda karena desainnya juga beda-beda.."

"Oh, aku mengganggu ya? Maaf ya.."

"Nggak kok, kamu tidak mengganggu, aku malah senang ditemani kamu SMS-an.."

"Hehe :-)," aku tersenyum. Pakai emoticon senyum.

"Eh, aku bikin sticker ambigram buat kamu.."

"Apa itu om?" tanyaku nggak ngerti.

"Itu, ambigram adalah kata yang bisa dibaca bolak-balik tetap sama, termasuk seni typography.." dia menjelaskan.

"Masih nggak ngerti, hehe.." aku akui aku bukanlah orang yang mengerti hal-hal seperti itu, aku hanya fokus pada pelajaran disekolah.

"Nanti kalau sudah lihat bentuknya pasti paham.."

"Iya deh.."

"Aku bikin namamu.."

"Iya.."

Kalian sadar nggak? Perhatikan tulisan SMSku, tanpa sadar aku sudah mengikuti gaya tulisan Zen yang memakai titik-titik diakhir kata atau kalimat. Ternyata intensitas hubungan bisa mempengaruhi kebiasaan secara psikis. Inilah mengapa orang yang berpasangan pasti memiliki chemistry diantara keduanya. Walaupun aku dan Zen tidak memiliki hubungan khusus.

"Eh, bulek, aku dengar dari Risma kalau kamu ingin mengadakan buka puasa bersama, bener nggak?" Zen bertanya.

"Emang Risma bilang gimana?"

"Dia bilang, eh mas Zen, kae Depol jare pingin ono buka bersama, gitu.."

"Oh.. iya aku ingin ada kegiatan itu, biar nggak sepi kampung ini.."

"Iya bener juga, aku juga merasa begitu, kegiatan pemuda harus dihidupkan lagi.."

"Bener om.."

"Oke, nanti aku bilang ke teman-teman yang lain.."

***

Besok sorenya Zen mengirim pesan kepadaku.

"Jadi, akan ada buka puasa bersama.."

"Kapan?" tanyaku membalas SMS yang dikirimnya belasan menit terlewat. Aku tadi sedang mandi.

"Hari Jumat, tanggal 25 Juli 2014.." jawabnya.

"Tempatnya dimana?"

"Rencananya di Keboen Bamboe Comal, aku sudah bicarakan sama Danang dan Ari.."

"Oh, iurannya berapa, Om?"

"25 ribu.."

"Ok.."

"Sudah mandi?" dia bertanya.

"Udah.."

"Pinter.."

"Aku mau pergi dulu om, mau nganter nenekku," aku pamit.

"Kemana?"

"Ke Sragi beli lauk buat buka puasa nanti..," jelasku.

"Iya, hati-hati.."

"Iya, makasih..

***

Malam harinya, cuaca bagus, ada sedikit angin berhembus. Selepas maghrib, Mbah Waisah dan Mbah Narti duduk selonjoran diteras rumah sambil ngobrol. Aku juga ikut duduk disitu. Tapi aku tidak ikut ngobrol. Aku hanya mendengarkan mereka sambil mainan hape-ku.

Kemudian mak Kutis yang rumahnya tepat dibelakang rumah nenekku itu datang dan ikut ngobrol disitu. Mak Kutis ini orangnya asyik. Kadang aku minta ditemani dia kalau mau pergi membeli sesuatu yang berhubungan dengan anak muda, bahkan kadang aku juga curhat sama dia. Setelah mak Kutis datang, ada lagi yang nyusul, yaitu Mbah Talkiyah, rumahnya disebelah barat rumah Mak Kutis, bisa dikatakan tepat disamping kirinya. Lalu Bulek Harti juga ikut duduk disitu. Komplit deh ibu-ibu pada ngerumpi. Aku hanya mendengarkan dan kadang ikut tertawa mendengar obrolan mereka yang kadang lucu. Tiba-tiba ada SMS masuk dari Zen.

"Aku mau ke rumahmu, sekarang.."

"Jangan om, rumahku ramai.."

"Nggak apa-apa, aku sudah jalan.."

"Mau apa?"

"Mau ngasih kamu sticker.."

"Kapan-kapan aja, banyak orang disini, aku malu.." jelasku kepadanya agar dia membatalkan acara kunjungannya karena aku takut dan malu kalau ada seorang cowok datang dan memberiku sesuatu. Nanti dikira aku pacaran.

Tidak lama kemudian dari arah Timur atau arah depan rumah nenekku, terlihat Zen naik sepeda. Dia memakai sarung motif kotak-kotak besar warna cokelat dan baju motif kotak-kotak kecil berwarna ungu. Berdua. Tapi aku tidak tahu siapa yang diboncengnya. Saat tepat didepan rumah, hatiku sudah dag dig dug ser, berdetak kencang. Bagaimana kalau dia nekat berhenti dan benar-benar bertamu? Tak tahu harus berbuat apa. Tapi tiba-tiba secara mendadak Zen membelokkan sepedanya ke arah samping rumah menuju jalan ke rumah mak Kutis. Entah kenapa. Semenit kemudian dia dan temannya itu lewat lagi, pergi menjauh. Mungkin pulang. Dalam hatiku berkata,"Kenapa pergi lagi? Aneh."

"Kok rame ya?" dia SMS.

"Kan tadi aku udah bilang.." belaku.

"Hehe, iya, kirain cuma ada sedikit.. Aku malu.."

"Aku juga malu kalau kamu jadi bertamu.. udah deg-degan tau.."

"Hahaha.."

"Tadi sama siapa?" tanyaku.

"Cekrek.."

"Siapa Cekrek?" aku tidak tahu kalau ada nama pemuda Mlokolegi yang seperti itu.

"Eh, itu Ari anaknya Pak Slamet ketua RW, tadi aku paksa dia untuk menemaniku, padahal dia tadi mau mandi.."

"Hehehe.. Kok dia mau?"

"Aku bilangnya mau nganterin undangan buka puasa bersama buat kamu.." jelasnya.

"Hehehe.. dasar.." aku senyum.

"Yaudah stickernya nanti aja kapan-kapan ya.."

"Iya om, hehe.."

***

Malam berikutnya ada pemberitahuan dari Zen kalau ternyata acara buka puasa bersama jadwalnya berubah.

"Jadwal buka puasa bersama berubah." katanya.

"Kok bisa?" tanyaku.

"Iya, soalnya kalau hari Jumat itu terlalu mepet sama hari Lebaran.. karyawan Keboen Bamboe pada mudik.."

"Oh, terus?"

"Katanya sih bisa aja kalau mau pakai tanggal itu, tapi mereka cuma menyiapkan hidangan tanpa ada pelayanan, tadi aku sudah bicara dengan pemiliknya sama Danang sekaligus ngasih DP.." jelasnya.

"Terus jadinya diganti hari apa?"

"Jadinya hari Rabu.."

"Nggak Kamis aja Om?"

"Nggak bisa, Danang ada bukber sama alumni SMP.."

"Oh, yaudah, tapi aku sudah terlanjur bilang sama nenekku kalau buka puasa bersama hari Jumat.." aku berkata.

"Bingungnya kenapa?" tanya Zen.

"Kalau tiba-tiba aku pergi pas hari Rabu dan bilang mau buka puasa bersama, nenekku nggak percaya, dikira aku bohong.. Nenekku itu sangat protektif ke aku.." aku menjelaskan.

"Yaudah nanti aku bikin undangannya khusus buat kamu.. biar nenekmu percaya.."

"Iya om, terima kasih.. Aku mau bobok dulu ya.."

"Iya, jangan lupa.."

"Lupa apa?"

"Aku mengucapkan selamat tidur dari sini, kamu nggak akan dengar.."

"Iya.."

Dalam hati aku menjawab,"aku juga mengucapkan selamat tidur dari sini.."

***

Besoknya, pagi sekitar pukul sepuluh. Zen datang kerumahku bersama Danang. Saat itu aku sedang di dapur, membantu nenekku bikin kue. Maklum mau lebaran. Aku diberitahu kalau ada tamu untukku, yang memanggil Bulek Harti. Lalu aku berjalan menuju ruang tamu. Aku duduk. Aku merapikan rambutku, mengikatnya ke belakang membentuk gulungan rambut diatas kepala. Disitu ada Bulek Harti dan suaminya juga.

"Ada apa?" tanyaku setelah posisi dudukku nyaman. Posisiku tepat menghadap Zen.

"Ini, undangan buka puasa bersama, jadwalnya berubah," Danang yang bicara.

"Oh iya," jawabku datar karena aku sudah diberitahu oleh Zen soal perubahan jadwal ini. Dan sebenarnya undangan ini juga hanya sebagai formalitas agar nenekku tahu akan adanya perubahan jadwal ini. Biar tidak curiga.

"Yasudah, begitu saja, kami pamit dulu," Danang lagi yang berbicara.

"Terima kasih ya.." aku yang bicara.

Kemudian mereka berdua beranjak dari tempat duduk untuk pergi keluar. Aku juga berdiri mengantar sampai di pintu.

"Assalamu'alaikum.." Zen yang mengucap salam sambil memakai sandalnya.

"Wa'alaikumsalaam.." Aku yang membalas salamnya sambil memegang kertas undangan.

Aku masuk. Melanjutkan pekerjaan membantu nenek bikin kue lagi. Baru sebentar sudah ada pesan masuk dari Zen.

"Rambutmu dicat ya?" tanya Zen.

"Nggak.. Kenapa?" aku bingung.

"Oh, tadi sepintas aku lihat ada warna merah diantara rambut hitam milikmu, pas kena cahaya matahari.."

"Bukan, nggak disemir.. Ini alami.." balasku.

"Merahnya bagus, bukan merah pirang karena sering kepanasan, tapi kayak rambut jagung gitu, hehe.."

"Iya, ini alami.."

"Kayak orang bule ya Bulek?" Zen menggodaku.

"Iya dong.. Bule Hid, hehe.. Aku mau lanjut bantu nenek bikin kue lagi ya.. Kamu minta?"

"Iya, mana?"

"Belum mateng.. Hihihi.."

***

Daerah Istimewa Mlokolegi. Selasa malam. Hidupku rasanya penuh dengan SMS dari Zen. Mentang-mentang SMS gratis. Sesama operator. Padahal orangnya nggak ganteng-ganteng amat, keren juga enggak. Masih kalah keren dibanding penampilan pacarku. Gantengan juga pacarku. Tapi kenapa setiap dapat SMS dari Zen, aku merasakan suasana hati yang berbeda? Dan malam itu aku juga sedang SMS-an dengannya.

"Nanti pas acara bukber, kita boncengan ya.." ajak Zen.

"Emmmm gimana ya?" aku pura-pura berpikir.

"Aku nggak ada motor, dibawa kerja adikku.." kata Zen

"Aku malu.."

"Malu kenapa? Kan ada aku, nanti ngumpet dipundakku aja.. Hehe.." rayunya.

"Malah tambah malu aku, nanti mukaku merah kayak kepiting rebus, hahaha.."

"Kok bisa?"

"Bisa, saking malunya, hehe.."

"Kan kita tetangga, nggak apa-apa dong.."

"Nanti aku tanya sama Risma dulu.." ujarku.

"Kenapa tanya sama Risma?"

"Soalnya Risma juga mau boncengan denganku juga.."

"Baiklah, kalau kamu mau boncengan sama Risma, nanti aku cari boncengan lain.. boleh aku meramal?"

"Apa?" aku penasaran.

"Suatu hari nanti, kamu berboncengan denganku.." Zen meramal.

"Kamu yakin Om?" aku sangsi.

"Lihat saja nanti, Hid.."

"Hehe.."

"Nanti kalau mau tidur, jangan lupa ya?"

"Lupa apa?" tanyaku.

"Ingatan, hehehe.."

"Ah kamu, iya lah.. Kalau lupa ingatan nanti gila namanya, hahaha.."

"Udah ah, aku mau lanjut kerja.."

"Iya.."

***

Daerah Istimewa Mlokolegi, hari Rabu, tanggal 23 Juli 2014, pukul empat sore dibulan puasa. Jalanan tampak lebih ramai dari biasanya. Ya, kali ini banyak pemuda-pemudi yang siap untuk berangkat menuju ke tempat acara buka puasa bersama diadakan. Keboen Bamboe Comal. Aku jadinya boncengan dengan Risma naik motorku. Tapi aku tidak berkumpul dijalan, aku dan Risma ngumpul dirumah Rohma. Dibelakang Mushola Al Amin. Muncul Zen naik sepeda gunung warna merah dan kuning, pakai celana jins hitam panjang, kaos hitam, dan jaket jins yang disampirkan dipundaknya. Menghampiri kami bertiga. Lalu, dengan posisi masih diatas sepeda dan berhenti, dia bilang.

"Ini, sticker ambigram buat kamu.. bisa dibaca bolak-balik.."

Aku hanya diam, pura-pura nggak dengar, menunduk. Sumpah aku malu.

"Ini, ambil, buat kamu.." kata Zen lagi.

"Kae Phol tampani," Risma yang bicara pakai bahasa Mlokolegi yang artinya,"Itu Phol terima."

Aku masih diam. Malu campur bingung. Akhirnya aku suruh Risma aja yang nerima dan ambil sticker itu. Kebetulan Zen juga nggak masalah yang nerima siapa, asal nanti dikasih ke aku. Dia cuma bilang:

"Yaudah, ini stickernya ada di Risma, nanti diambil ya.. Jangan lupa ditempel.." Zen berkata lalu pergi menggowes sepedanya.

"Oh iya, sebentar lagi berangkat!" teriak Zen dari depan Mushola Al Amin.

Setelah Zen pergi, aku terima sticker itu dari Risma. Aku masukkan ke dalam tas. Lalu aku kirim SMS untuk Zen.

"Terima kasih ya.." tulisku.

"Iya, sama-sama.." dia membalas.

Lalu seluruh peserta buka puasa bersama berangkat. Aku berboncengan dengan Risma, sedangkan Zen, aku lihat dia masih belum berangkat, belum dapat boncengan kayaknya. Kasihan juga sebenarnya, dalam hati aku berkata," Maaf, Om, tapi bodo amat, kamu bukan pacarku."

Waktu sudah hampir maghrib saat semua peserta sampai di Keboen Bamboe. Ramai sekali disana. Tempat parkir penuh. Perut sudah keroncongan. Kami langsung menuju ke tempat yang sudah di pesan, pojok kanan belakang dekat dengan Mushola untuk pengunjung dan karyawan. Ada mainan prosotan dan ayunan juga disitu. Eh, ada jungkat-jungkit juga. Suasananya dibuat seperti suasana pedesaan, pondok makannya didesain seperti saung, ada sawahnya, dan banyak pohon bambu hiasnya. Tapi sayang, sawahnya kering, jadi kurang asyik kalau ada yang kecebur disawah. Tidak kotor oleh lumpur. Hehehe.

Makanan belum tersaji. Padahal sebentar lagi bedug maghrib. Yang pusing panitia. Aku lihat Zen, Danang, Tiyan, dan Barudin sibuk mondar-mandir, tak tahu kenapa. Aku sih asyik aja ngobrol sama teman-teman. Waktu itu ada Risma, Cicik, Rohma, Wahyu, Ayu (keponakan Zen), dan Mbak Nita (Ibunya Ayu sekaligus kakaknya Zen yang juga menjabat Kepala Dusun Kemplokolegi).

Akhirnya bedug maghrib sudah dipukul. Duk duk duk begitu bunyinya. Orang-orang dari kelompok lain sudah balapan ambil minum dan makanan. Ditempat kami baru muncul beberapa hidangan saja. Salah kami juga datangnya telat.

Panitia memutuskan untuk mendahulukan peserta cewek untuk makan dan minum dulu, sementara yang belum kebagian boleh minum seadanya. Alhamdulillah. Walaupun yang peserta cowok sebagian ada yang belum dapat jatahnya. Aku lihat mereka memilih untuk sholat maghrib dulu daripada bengong.

Setelah para cowok sholat maghrib, lalu giliran ceweknya yang sholat. Habis itu acara ngobrolnya dilanjut lagi. Sebagian ada yang main ayunan, ada yang main prosotan, ada yang main jungkat-jungkit, ada juga yang naik kuda-kudaan. Lalu yang lain aku lihat nongkrong dijembatan yang melintasi sawah buatan disana. Aku juga SMS-an dengan Zen. Walaupun dekat jarak kami.

"Sudah makan om?"

"Belum, cuma minum tadi, sama nyicipi jajan punya Obes, hehe.."

"Belum kebagian ya?" aku menebak.

"Iya, nggak apa-apa, yang penting peserta udah semua."

"Iya, tapi nanti dapat juga kan?"

"Iya dong, tenang aja.."

"Ini aku mau makan dulu, udah datang nih makanannya.."

"Alhamdulillah.."

Malam yang sedang bagus itu tiba-tiba berubah jadi dingin dan gelap sekali. Bintang yang tadinya banyak jadi hilang tertutup mendung. Hujan turun dengan deras tiba-tiba. Yang lagi pada mainan langsung berlarian menuju saung tempat makan tadi. Terpaksa jam pulang ditunda sampai hujan reda atau minimal tinggal gerimis kecil. Aku masih duduk dipojokkan saung sambil BBM-an dengan pacarku. Sementara aku lihat Zen yang berdiri diantara peserta sambil berbicara entah tentang apa. Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas karena jarak antara aku dan dia lumayan jauh, dan ada suara hujan juga. Tapi samar-samar aku dengar tentang pengumuman.

Kira-kira pukul setengah delapan hujan mulai reda. Tinggal rintik-rintik gerimis yang masih ada menari di atas bumi. Tapi angin bertiup agak dingin. Semua peserta mulai berjalan meninggalkan saung menuju tempat parkir motor. Aku juga. Berjalan sendiri. Tiba-tiba Zen datang dari arah belakangku dan menjajari jalanku.

"Dingin ya?" dia bertanya.

"Iya, tapi masih bisa ditahan kok," jawabku berbohong karena memang aslinya aku kedinginan. Aku hanya memakai baju kaos lengan panjang, celana pensil, dan hijab.

"Yasudah, aku juga dingin, dan tidak ingin sakit, aku tetap pakai jaketku ya.. Kamu kalau kedinginan, biar Risma aja yang didepan.."

"Iya nggak apa-apa.."

"Atau kita boncengan saja?"

"Nanti Risma mau ditaruh dimana?"

"Naiknya bertiga, hehe.."

"Nggak ah, ini udah terang juga, wek!"

"Kamu tahu, kenapa tadi hujan?"

"Tahu dong, aku kan anak IPA.. Karena uap air yang terkandung dalam awan sudah terlalu banyak, jadi dengan sendirinya uap air itu jatuh ke bumi dalam bentuk tetes-tetes air yang disebut hujan, hehe.."

"Bener, tapi yang aku tanyakan adalah, kenapa tadi harus ada hujan? Soal waktu"

"Emmm kenapa ya?.. Nggak tahu deh.." aku memang malas berpikir tentang hal itu.

"Tuhan pasti sengaja menurunkan hujan tadi agar kita bisa berkumpul lebih lama, bukan hanya datang, makan, minum, lalu pulang.. Nggak ada esensinya jika acara perkumpulan hanya begitu saja.."

"Iya aja deh, yang ngomong mahasiswa, hehe," kataku.

"Hehe, jangan gitu ah.. Eh, nanti naik motornya hati-hati ya.. Licin jalannya.. Dingin juga."

"Iya Oom.. Terus kalau tahu dingin, kenapa nggak mau minjemin aku jaket?"

"Karena kalau aku sakit, nggak ada yang menjaga kamu nanti.." jawabannya bikin aku terharu.

"Terus kalau aku yang sakit?" tanyaku.

"Ada pacarmu yang siap menjengukmu.. dan aku dirumah saja.."

"Kok gitu?" tanyaku agak kesal.

"Mendoakanmu biar cepat sembuh.."

"Dasar, udah ah.."

Sampai dirumah, aku lepas hijabku. Aku ganti baju yang tadi dengan baju tidur. Lalu aku ambil tas yang tadi aku bawa pergi ke acara buka puasa bersama. Aku cari sticker pemberian dari Zen. Ada. Aku perhatikan bentuknya dan tulisannya yang katanya bisa dibaca bolak-balik. Lama aku berpikir tentang tulisan apa ini. Ternyata itu adalah tulisan namaku, Devi yang telah dimodifikasi agar bisa dibaca bolak-balik atau istilah kerennya ambigram. Setelah itu aku pasang sticker itu dikaca helmku, disebelah kanan. Sambil tersenyum dan memikirkan betapa kreatifnya Zen. Aku kagum. Dan berterima kasih, itu adalah pemberian pertama dari seorang cowok yang tidak ada nilai jualnya namun menunjukkan kualitas orangnya. Benda itu juga adalah barang pertama yang diberikan Zen kepadaku.

Bersambung lagi ya...

(sambungan dari DIA TETANGGAKU) SEMAKIN MENDEKAT

Malam berikutnya. Setelah sholat maghrib dan berbuka puasa. Ada yang menelepon, nomor baru, tapi pas aku angkat langsung dimatikan. Ternyata cuma missedcall. Dasar fakir miskol. Tapi karena penasaran, aku kirim pesan ke nomor tadi.

"Maaf, ini siapa?" begitu tulisku.

"Ini aku.." jawabnya.

"Kalau kata Risma, yang model SMS-nya dikasih titik-titik itu Zen, bener nggak?" aku menebak.

"Emang Risma bilang begitu?"

"Iya, katanya begini, pokoknya kalau ada SMS masuk ke nomermu dan dibelakang ada titik-titiknya, itu berarti Zen,"

"Kapan?"

"Dulu, waktu kamu bilang ke Risma minta nomerku."

"Hehe.. kamu pintar.."

"Harus dong, nomer kamu baru?"

"Iya, baru beli tadi.. biar operatornya sama dengan punyamu.."

"Biar irit ya? Hehe.."

"Boleh aku menelepon?"

"Eh, jangan sekarang ya, sebentar lagi Isya', tanggung," kataku.

"Baiklah.."

Dari sini aku mulai dekat dengan Zen walaupun hanya komunikasi menggunakan handphone. Dia termasuk yang beruntung bisa dapat nomorku karena tidak sembarang orang bisa punya nomorku. Aku tidak mau ada orang iseng atau pengganggu yang bisa punya nomorku. Biar orang berkata aku sombong, yang penting aku merasa tidak sombong karena ini hanya bagian dari caraku menikmati hidup dengan tenang. Dan aku percaya kalau Zen itu orang baik. Jadi tak masalah kalau dia boleh punya nomorku.

Dia sangat perhatian. Sering mengingatkan aku makan, mengingatkan aku minum, kadang juga mengucapkan selamat tidur. Malah yang aku rasa, dia lebih perhatian dari pacarku sendiri. Tapi pernah juga dia menyuruhku untuk jangan makan.

"Hai, selamat siang.." dia SMS begitu.

"Iya, siang.." balasku.

"Kamu, jangan makan ya.."

"Hah?" aku bingung.

"Iya, pokoknya kamu jangan makan.."

"Emang kenapa?" tanyaku.

"Ini kan bulan puasa, jadi kamu jangan makan siang-siang, nanti batal puasanya.."

"Ah itu, ya ampun, kirain kenapa, hahaha, ya iyalah.."

Dia juga kalau mengucapkan selamat tidur beda dengan orang lain yang pernah mengucapkan selamat tidur padaku.
Biasanya orang lain akan mengatakan;

"Selamat tidur, semoga mimpi indah."

Kalau pacarku sendiri malah sempat-sempatnya menuliskan lirik lagu punya Superman Is Dead yang berjudul Saint of My Life, begini:

"Goodnight my little angel, goodnight my little ones, spread your wings and fly away into your dream, semoga mimpi indah"

Nah, kalau Zen cuma begini ucapannya:

"Percayalah.. Aku mengucapkan selamat tidur dari sini.. Semoga kamu dengar.."

Memang aneh dia. Mana mungkin aku dengar? Sedangkan jarak tempat aku tidur dan dia tinggal kan lumayan jauh, ada kira-kira seratus meter. Kecuali kalau dia mengucapkannya pakai pengeras suara yang ada di mushola Al Amin, aku yakin bukan cuma aku yang mendengar tapi seluruh warga Mlokolegi dengar. Tapi aku tidak berharap itu, kasihan dia nanti dimarah orang banyak.
Diam-diam aku kadang membalas pesannya itu dalam hatiku. "aku juga mengucapkan selamat tidur dari sini.."

Banyak sekali hal-hal yang dia ceritakan selama berkomunikasi denganku. Mulai dari hal-hal ringan seperti kegiatan sehari-harinya yang seru sampai tentang pengetahuan umum yang tidak aku mengerti sebelumnya. Pokoknya selalu ada saja cara dia untuk bisa ngobrol denganku, seperti tak pernah kehabisan bahan obrolan. Terus terang ini menjadikan aku senang dan ingin selalu mendengar cerita-ceritanya. Karena dia tak melulu ngomong soal cinta. Obrolannya variatif. Seperti dia adalah orang yang dikirimkan Tuhan kepadaku. Sebagai penghiburku dan perpustakaan hidupku.

Anehnya rasa itu terjadi saat kami menjalin hubungan lewat telepon saja. Iya, saat saling berpapasan dijalan, aku tak pernah berani menatap matanya secara langsung, aku hanya berani meliriknya. Dan aku seperti patung yang diam tak bisa bicara. Nervous.
Begitupun dirinya, hanya memandangku dan memberi sedikit senyum yang jelek. Tak pernah menyapa diriku. Meng-klakson pun tidak. Kemudian hari, dia menjelaskan alasannya padaku lewat SMS.

"Maaf tadi aku tidak sempat mengklaksonmu, karena pulsa klaksonku habis, ada sih bonus tapi cuma bisa dipakai buat klakson sesama Revo.."

Dalam hati aku tertawa. Dasar orang aneh, dia berkata begitu karena motorku Beat. Tapi aku jawab juga,"Iya, nggak apa-apa.."

Dan juga alasannya kenapa dia tidak pernah menyapa aku adalah karena dia malu dan tak tahu harus bilang apa. Katanya, aku ini cantik sekali dan membuat dia tak bisa berkata-kata walaupun hanya hai.

Ketika aku tanya dia,"Kenapa tidak bisa untuk bilang hai padaku? Padahal dengan yang lain kamu bisa."

Jawabnya begini,"Aku memang tidak bisa menyapamu, melihatmu seperti melihat Medusa, mahluk cantik legenda Yunani yang membuat siapapun yang melihatnya menjadi patung, begitulah aku ketika melihatmu, tak bisa apa-apa, bisaku hanya menyayangimu.."

Sebagai cewek, hatiku langsung dag dig dug ser.. walau agak lebay. Tapi saat itu posisiku sudah punya pacar. Jadi, aku tak mungkin mencintai orang lain.

***

Aku memanggilnya dengan sebutan Oom. Ada ceritanya. Malam itu dia meneleponku.

"Halo.." sapanya.

"Iya, halo," aku balas menyapa.

"Apa kabar?"

"Baik, kamu?"

"Aku juga selalu baik.. Sedang apa sekarang?"

"Biasa, lagi boboan aja dikamar."

"Ooo.. Boleh aku bertanya?"

"Apa?"

"Kok jadi kamu yang tanya? Hehe.."

"Iya, maksudnya boleh, mau tanya apa?"

"Kapan hari ulang tahunmu?"

"Buat apa?"

"Biar bisa kasih hadiah.."

"Nggak ah, nggak penting, lagian udah lewat juga."

"Udah lewat? Biar aku tebak bulannya.."

"Coba aja kalau bisa, hehe."

"Sebentar.. Namamu Devi Nurhidayanti, susah juga, nggak ada sangkutannya sama bulan kelahiranmu.."

"Wek.. bisa nggak?"

"Biar aku cari cara lain, hmm gini, kamu tinggalnya di pojok Mlokolegi, daerah itu adalah daerah yang dekat dengan sawah dan sungai, kira-kira hewan apa yang tinggalnya disawah dan disungai?"

"Kok jadi hewan sih? Nggak nyambung deh."

"Sabar dulu, tenang.. yang tinggal didaerah seperti itu ya palingan ular sawah, katak, kura-kura, sama kepiting.."

"Terus apa hubungannya sama bulan kelahiranku?"

"Hehe, penasaran ya? Biar aku jelaskan, diantara keempat hewan tersebut, yang masuk dalam jajaran zodiak atau rasi bintang hanya kepiting, sebagai lambang zodiak cancer.."

"Terus?"

"Kamu tahu kan kalau orang yang punya zodiak cancer itu orang yang lahirnya bulan Juni, bener nggak?"

"Nggak tahu, wek.."

"Kamu lahir Bulan Juni kan?"

"Ehmm.. iya, kamu bisa aja." aku tersipu.

"Tahun berapa?"

"Ih, kepo deh, hahaha."

"Boleh aku menebak lagi?"

"Terserah.."

"Ok.. aku ingat, dulu waktu aku jadi panitia pemungutan suara untuk Presiden, aku ditugaskan untuk memberikan undangan nyoblos atas nama kamu, dan itu berarti usiamu sudah tujuh belas tahun karena syarat untuk bisa mencoblos adalah warga negara indonesia yang sudah berusia minimal tujuh belas tahun bagi yang belum menikah.. Jadi kalau sekarang ditahun dua ribu empat belas ini usiamu tujuh belas tahun berarti kamu lahir pada tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh tujuh masehi.. Bener lagi?"

"Iyain aja deh, haha."

"Beda sembilan tahun denganku.." kata Zen.

"Apa?!" aku terkejut.

"Iya, aku sudah hampir dua puluh enam tahun.. nanti Agustus usiaku dua puluh enam.."

"Hahahaha, udah tua rupanya, kayak oom-oom.."

"Wa lah, masih muda kok.. kan belum punya anak.."

"Udah tua, kalau gitu aku manggilnya Oom aja deh, Oom Zen, hahaha.."

"Nggak apa-apa, nanti aku panggil kamu Bulek.. Bulek Hid, hehe.."

"Kok gitu?"

"Ya iyalah.. Oom kan pasangannya Bulek, wee.. Kamu mau kan jadi buleknya Obes?"

"Nggak.. nggak.. aku cocoknya jadi mbaknya Obes, aku kan masih kecil, hehe.."

"Kecil apanya?"

"Rambutnya, wek! Hahaha.."

Dari situlah aku mulai terbiasa memanggilnya Oom. Tapi akhirnya dia juga nekat memanggilku Bulek (artinya Tante dalam bahasa Indonesia). Kesel juga sih kadang kalau dipanggil gitu. Aku kan masih siswi SMA, masa dipanggil Bulek? Iya, aku beda sama anak-anak jaman sekarang yang masih pacaran manggilnya udah mami-papi, papa-mama, ayah-bunda, dan lain-lain. Aku sama pacarku aja nggak ada panggilan khusus kok. Tapi ini, kenapa dengan Zen yang bukan siapa-siapa, hanya tetanggaku, nggak pacaran. Malah punya panggilan Oom dan Bulek? Ah, biarlah, aku hanya tersenyum kalau ingat itu. Lucu juga sih..

Dia juga sempat-sempatnya bikin sendal jepit yang ada namanya Om Zen cakep dan Bulek Devi jelek. Ngeselin kan? Padahal udah jelas dia yang jelek dan aku itu cantik. Hehehe.

Terus pas aku tanya,"Kok pakai nama Devi bukan Hid?"

Jawabnya,"Biar semua orang tahu, kalau pakai nama Hid nanti yang tahu cuma aku.. Nggak asyik, Hahaha"

"Ngeselin ih, malu tahu nanti aku dikira pacaran sama Oom Zen.. bisa dimarahi ibu, ih.."

"Hahaha.."

Itulah dia. Yang suka seenaknya sendiri. Tapi dia itu baik, sering ngasih aku cokelat dan hadiah. Suka ngasih aja. Nggak ada maksud tertentu dan nggak ada acara apa-apa. Kadang dititipkan mak Kutis atau dia datang sendiri tanpa bilang dulu. Dia juga kadang membantu aku mengerjakan tugas sekolah. Hehehe.



ini gambar sendal jepitnya.

INI AKU

Hai. Aku Devi. Nama lengkapku Devi Nur Hidayanti. Suku Jawa. Dan aku habis minum air putih dari kulkas. Aku dilahirkan oleh ibuku, namanya Rumiyati, disebuah wilayah kecil yang bernama Kemplokolegi (selanjutnya disebut Mlokolegi), yang masuk dalam wilayah Desa Bulakpelem, Kecamatan Sragi, Kabupaten Pekalongan (sekarang Kabupaten Kajen). Ibu melahirkan aku dibantu seorang bidan desa, namanya Kamini atau biasa dipanggil Bu Mimin. Tepuk tangan dulu buat bu bidan, karena sudah menolong orang melahirkan. Dari cerita itulah akhirnya Aku memilih untuk melanjutkan sekolah di sebuah akademi kebidanan di kota Kendal setelah lulus SMA. Biar jadi bidan. Biar bisa menolong orang melahirkan.

Aku punya masa kecil di Mlokolegi. Tapi kemudian aku pindah ke Bulakpelem karena orang tuaku membuat rumah disana, tepatnya dipinggir jalan raya antara Sragi dan Kesesi. Rumah itu ada ditengah antara rumah Pak Mantri Warsito dan Pak Rismoyo, guru olahragaku waktu SD. Ya, aku dulu sekolah di SD N 05 Sragi. Walaupun namanya SD N 05, tapi sebenarnya itu adalah es-de dengan peringkat terbaik di Kecamatan Sragi. Oh, iya, aku tinggal dirumah itu sampai aku lulus SMP. Sekarang rumah itu sudah dijual, setelah dibiarkan kosong sekian lama. Kata orang-orang disekitar situ, rumahnya berhantu. Bisa buat uji nyali. Aku sih tidak takut. Kecuali kalau disuruh tidur disitu sendirian pas malam jumat kliwon.

Masa-masa SMA, aku kembali ke Mlokolegi, tinggal dirumah nenekku karena orang tuaku pergi merantau ke Jakarta. Nenekku bernama Waisah. Kami tinggal disebuah rumah sederhana yang punya tiga kamar tidur, satu kamar mandi plus WC, ruang tamu, ruang nonton tivi, dapur, dan halaman yang lumayan luas yang kalau siang terang, kalau malam jadi gelap, dan kalau buat tidur tidak nyaman. Coba aja.
Disebelah kanan ada kebun pisang, yang dulunya ada rumah milik Mbah Kalsum, penjual pecel legendaris di Mlokolegi. Kemudian dibagian belakang rumah ada pekarangan untuk memelihara ayam yang pemandangannya tembus ke pesawahan yang indah kalau pas ada matahari terbenam. Rumah nenekku ini berdempetan dengan rumah Mbah Narti, adiknya. Dan dirumah nenekku, aku tidur dikamar nomer tiga. Barangkali kamu mau ngobrol lewat jendela.

Oh iya, kalian tidak perlu tahu tanggal lahirku karena aku khawatir nanti pas ulang tahunku ada kiriman hadiah banyak dari orang-orang tak dikenal. Kasihan nanti nenekku bingung. Yang perlu kalian ingat adalah namaku dan wajahku (yang diatas itu foto asli wajahku), siapa tahu ketemu dijalan.
Banyak orang memanggilku Devi. Tapi dirumah biasanya nenek memanggilku Depi. Lalu teman-teman yang suka iseng menyebutku Dephol. Dan aku ingat, ada seseorang yang memanggilku dengan panggilan yang belum pernah diucapkan orang lain. Dia memanggilku Hid, yang diambil dari nama belakangku, Hidayanti. Orang itu bernama Zen. Yang pernah ada untukku, selalu berusaha menyenangkan aku, meski tanpa ada hubungan apa-apa.

Saat ini aku sedang berada didalam kamar yang nyaman di Mlokolegi. Kamarku. Aku melihat-lihat kembali surat-surat dari Zen yang tulisannya berbeda-beda, kadang rapi dan kadang seperti cakar ayam. Kertasnya juga bukan kertas yang indah-indah, tapi kertas ala kadarnya, malah ada yang berbentuk kertas sobekan. Aku jadi senyum-senyum sendiri.
Ada juga barang-barang pemberian darinya yang juga hanya barang sederhana tapi berasa istimewa bagiku. Nanti akan aku ceritakan pada kalian.

Aku senang tinggal di Mlokolegi. Tempat yang mungkin pernah menjadi daerah paling menawan menurutku. Dan juga romantis. Karena aku benar-benar pernah merasa menjadi wanita paling istimewa disini. Ditempat yang biasa disebut Daerah Istimewa Mlokolegi oleh Zen.
Diwilayah inilah kisah antara aku dan Zen terjadi. Bagiku Mlokolegi bukan hanya urusan wilayah saja, tapi juga menyangkut urusan perasaan. Kalian harus tahu bagaimana rasanya jadi aku saat itu. Nanti kalian akan tahu setelah aku ceritakan.

Dikamarku ini, aku sedang duduk diatas kasur empuk yang kalau buat tidur rasanya nyaman. Mencoba menuliskan kisahku dilaptop, agar kalian bisa membaca dan menjadi saksi . Biar Zen juga bisa membacanya dan tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya saat ada dia dalam hidupku. Ditemani lagu Unintended dari Muse, aku mulai saja dari sini. Simaklah.

Tetapi sebelum aku mulai cerita tentang Zen. Aku akan bicara soal Mlokolegi yang menurutku adalah daerah paling romantis se-Indonesia. Mungkin menurut kalian, aku berlebihan. Tapi biar saja karena kalian tidak pernah merasakan menjadi aku, dan aku tak perduli. Iya, walaupun tak seindah Bali, tak seramai Jakarta, tak sesejuk Bandung, dan tidak seklasik Jogja, tapi Mlokolegi itu romantis dan aku bangga menjadi bagian dari Mlokolegi.

Di Mlokolegi ada bangunan peninggalan Belanda yang sayang sekali sekarang sudah roboh dan hanya meninggalkan jejak fondasi dan pipa air dalam tanahnya saja yang tersisa. Masyarakat setempat menyebutnya Gedong Bodol yang artinya Gedung Rusak, atau biasa disingkat Nggedong. Lokasinya dekat dengan jalan raya Sragi-Kesesi. Didepan Gedong Bodol ada jembatan swadaya masyarakat Mlokolegi. Kemudian disekitar situ juga ada jembatan legendaris yaitu Broug Putih yang katanya banyak kejadian mistis terjadi disitu jika sudah lewat tengah malam. Makanya disitu kalau malam sepi. Tapi kalau pas bulan puasa disitu ramai, banyak orang jalan-jalan dan ada yang main petasan. Ah itu masa lalu. Nah, diseberang jalan menghadap Gedong Bodol, yaitu sebelah Timur ada tempat cukur atau potong rambut yang juga legendaris. Nama tukang cukur yang menghuni tempat itu adalah Bapak Rusmadi, tapi orang-orang menyebutnya Rus Buntung karena kakinya putus satu. Kejadiannya dulu, waktu dia kecil, suka narik tebu yang diangkut kereta menuju pabrik gula Sragi. Nah, waktu mau mengambil tebu itu dia kepeleset dan salah satu kakinya yaitu kaki yang kirinya terlindas rangkaian kereta pengangkut tebu itu. Kasihan ya..
Oh iya, dibelakang tempat cukur Rus Buntung itu ada rumah Bu Mimin, bidan yang diawal tadi sudah membantu ibuku melahirkan aku. Lalu dibelakang rumah Bu Mimin, melewati persawahan ada pemakaman umum Desa Bulakpelem yang biasa disebut Sarean Wedhen. Tapi kalau kata Zen, itu adalah Lembah Keabadian tempat dimana orang yang dikubur disitu sudah tak akan pulang lagi kerumah. Akan abadi disitu.

Di Mlokolegi juga ada Masjid Desa Bulakpelem yaitu Masjid Darussalam yang kalau hari Jumat pasti ada orang sholat jumat disitu. Orang-orang seluruh desa Bulakpelem juga Sholat Idul Fitri dan Idul Adha disitu. Jadinya ramai.
Tidak hanya masjid, Mlokolegi juga punya mushola tempat aku biasa tarawih kalau bulan puasa. Mushola Al Amin. Disitulah kadang aku melihat Zen yang juga kebetulan sholat. Mushola itu terletak diantara rumah Pak Jarwoyo dan Pak Tasjani almarhum. Lalu dibelakang mushola ada rumah Rohma. Dia temanku, dan dulu bapaknya Rohma adalah imam di mushola tersebut, namanya Pak Abdul Wahab tapi masyarakat lebih akrab dengan panggilan Pak Sidul, beliau sudah almarhum sekarang.
Didepan mushola ada tumbuh pohon mangga yang daunnya cukup rimbun, yang kalau berbuah bisa banyak sekali dan kalau sedang tidak berbuah ya tidak ada buahnya. Anak-anak kecil kadang suka bermain dibawahnya atau bahkan memanjat naik ke atas pohon. Aku sih enggak. Karena rumahku jauh dari mushola.
Aku dengar, dari bermain ataupun sholat dimushola ini, ada yang jadi ketemu jodohnya. Hehehe.

Sebenarnya masih banyak lagi tempat-tempat asyik di Mlokolegi yang ingin aku ceritakan pada kalian. Tetapi takutnya nanti malah tidak fokus ke tokoh-tokohnya. Mungkin nanti sambil berjalan, aku akan ceritakan juga tempat-tempat kejadian sejarah yang menyangkut kisahku dan Zen. Iya, itu adalah bagian dari peristiwa sejarah. Walaupun mungkin tidak penting bagi kalian, tapi ini penting bagiku.

Bersambung...

(sambungan dari INI AKU) DIA TETANGGAKU

Mlokolegi, pertengahan bulan Juli dibulan puasa tahun dua ribu empat belas masehi. Sesudah buka puasa seperti biasa, aku duduk menonton acara televisi bersama nenekku. Tetapi tanganku sibuk bermain handphone. Banyak pesan masuk di Blackberry punyaku. Jadi aku membalas pesan-pesan itu seperti aku punya dendam.
Tiba-tiba ada pesan masuk lagi, tapi bukan lewat blackberry messenger melainkan lewat nomer handphone. Tanpa nama, hanya ada nomor dan pesan.

''Hai, selamat malam..'' begitu tulisannya. Lalu aku balas,''Maaf ini siapa?''

Tidak lama kemudian ada balasan lagi,''Ini aku, Zen..''

"Oh, dapat nomerku dari siapa?" tanyaku.

"Dari Risma.." jawabnya singkat.

"Oh iya aku ingat, kemarin kata Risma kamu minta nomerku," aku membenarkan.

"Iya, terima kasih sudah membolehkan.."

"Sama-sama," balasku.

Asli. Aku sebenarnya masih agak kurang paham dengan yang namanya Zen. Yang aku tahu adalah adiknya yaitu Azis atau biasa dipanggil Geson oleh teman-teman dikampung. Aku memang jarang, bahkan belum pernah melihat yang namanya Zen, soalnya dulu aku tidak tinggal disini dan aku dengar juga dia itu kuliah di Tegal. Jadi wajar kalau aku belum mengenalinya. Tiba-tiba ada pesan masuk lagi.

"Sudah buka puasa belum?"

"Sudah, kamu?" aku jawab sekaligus bertanya.

"Aku juga sudah.. Sedang apa sekarang?"

"Sedang nonton tivi," jawabku.

"Nanti tarawih nggak?" dia bertanya lagi.

"Tarawih dong," jawabku singkat.

"Pinter.. Aku juga tarawih ah, biar ketemu kamu.. Eh, kalau tarawih di masjid, pulangnya bisa dapat sendal bagus lho.."

"Hahaha, kok bisa?"

"Bisalah.. Kalau mau nukerin ke orang yang sendalnya bagus, tapi jangan bilang sama orangnya, hehe.."

"Itu namanya maling, hahaha," aku tertawa. Dan dipandangi nenekku karena yang dilihatnya aku tertawa sendiri seperti orang gila melihat handphone.

"Eh sudah dulu ya.. Sudah mau masuk waktu Isya.."

"Iya, aku juga mau siap-siap," balasku sambil mempersiapkan mukena.

"Tarawih dimana kamu?" dia kirim pesan lagi, padahal tadi dia yang bilang untuk sudah dulu. Dasar cowok.

"Di mushola biasa, depan rumah Rohma," balasku.

"Baiklah.. Aku ramal nanti kita ketemu dimushola Al Amin.."

Perasaanku masih biasa saja ketika itu walaupun sedikit penasaran. Lagipula tujuanku ke mushola Al Amin adalah murni karena niat ibadah kepada Allah, bukan niat karena mau melihat yang namanya Zen ataupun memenuhi ramalannya.
Aku berangkat ke mushola berjalan kaki bersama nenekku dan juga tetanggaku yang biasa kusebut Mak Kutis, tapi tubuhnya gendut, padahal kutis itu kata nenekku artinya kecil. Kalau tidak percaya, main kesini, lihat sendiri.
Suara adzan sudah berkumandang menyeru umat muslim untuk segera menunaikan ibadah sholat wajib. Sementara perasaanku masih biasa.
Aku mengambil wudlu kemudian menempati lokasi favoritku di mushola Al Amin yaitu dibagian luar, dekat dengan jendela besar yang tembus pandang ke tempat sholat jamaah lelaki. Tentunya ada alasan tertentu yang tidak bisa aku jelaskan pada kalian.

Adegan sholat aku lewati saja. Takut disangka riya'. Hehe.

Sehabis sholat tarawih aku pulang. Jalan kaki lagi. Sesampai dirumah aku mendapati ada pesan masuk di handphone ku, dari Zen.

"Devi Kasih Purnamasari.."

"Siapa itu?" tanyaku.

"Bukankah itu nama lengkapmu?"

"Bukan," jawabku singkat.

"Lalu, siapa nama lengkapmu?"

"Devi Nurhidayanti," jawabku jujur.

"Oh, aku tahunya orang-orang memanggilmu Devi.."

"Iya."

"Boleh aku memanggilmu dengan sebutan lain?"

"Terserah kamu," aku menjawab.

"Aku jadi ingat dengan tukang rias pengantin tempat dulu aku bekerja, namanya Hajah Ratna Hidayati, panggilannya mbak Hid, dia sering juara tata rias tingkat nasional dan sudah menerbitkan beberapa buku tentang tata rias.." Zen menulis banyak sekali. Bikin aku pusing membacanya.

"Emang kamu bisa rias pengantin?" tanyaku.

"Aku bukan jadi penata rias, tapi aku jadi kru dekorasinya, di SUCCESS WEDDING ORGANIZER, punya suami mbak Hid.."

"Oo.. dimana?"

"Pemalang.. Boleh aku memanggilmu dengan nama Hid?"

"Ehm, boleh.. aku dengar kata orang, kamu masih kuliah ya?" tanyaku basa-basi.

"Iya.."

"Jurusan apa?"

"Pendidikan Bahasa Inggris.."

"Semester berapa?"

"Semester banyak, hehe, masih skripsi.."

"Oo.."

"Kamu nggak belajar?" tanya Zen.

"Nggak, sekolah masih libur," jelasku.

"Sekarang sedang apa?"

"Boboan aja dikamar sambil dengerin musik," jawabku.

"Kamu suka lagu apa?"

"Yang penting enak didenger, ya aku suka.. Kalau kamu?"

"Kalau alasannya yang penting enak didengar, maka seharusnya aku suka mendengar suaramu.. tapi kenyataannya aku suka mendengar Green Day, tahu nggak?"

"Hehehe.. emmmm, tahu tapi cuma satu lagu yang judulnya apa itu ya? Pokoknya lagunya itu pertama slow tapi nanti ditengah jadi agak ngerock."

"Wake me up when September ends?"

"Coba gimana nyanyinya? Soalnya aku nggak tahu judulnya tapi tahu lagunya, hehe.."

"Lewat SMS mana bisa nyanyi?"

"Oh iya ya.."

"Kamu sekolah dimana?" Zen bertanya.

Tapi pertanyaan itu tidak sempat aku jawab karena tiba-tiba pacarku menelepon. Dan tindakan yang dilakukan seorang cewek ketika pacarnya menelepon adalah segera melupakan apapun yang sedang dikerjakannya. Iya, alasannya adalah rasa senang. Aku yakin kalian pun demikian.

Pacarku kalau menelepon suka lama, sampai kadang lupa waktu. Apalagi ini sedang musim libur sekolah. Tidak ada kewajiban untuk bangun pagi agar tidak telat berangkat ke sekolah. Pasti menelepon sampai larut malam. Tidak apa-apa. Aku senang bisa ngobrol dengannya, soalnya walaupun kami satu sekolah tapi kami jarang ketemu, karena menurutku sekolah itu tempatnya belajar bukan tempatnya berpacaran. Jadi kami hanya sering ngobrol lewat telepon. Aku suka berterima kasih kepada telepon karena sudah membantu melancarkan komunikasiku dengan pacar, hehe.

Pacarku menelepon hingga tiga jam. Itu juga berhentinya karena baterai handphone-ku hampir habis, dan aku juga ngantuk. Aku juga ingat bahwa saat itu sedang bulan puasa, dimana orang-orang harus bangun pada sepertiga malam terakhir untuk makan sahur. Jadi aku harus tidur agar pas dibangunkan pas makan sahur tidak mengantuk.

Setelah aku tidak lagi ditelepon oleh pacarku, ternyata ada pesan masuk dari Zen.

"Selamat beristirahat.."

Tidak kubalas. Malas. Tapi kenapa aku jadi kepikiran padanya? Padahal aku belum pernah mengenalnya walaupun dia tetangga sekampungku. Dia tetanggaku yang aku tahu lewat smAh, sudahlah, aku mau tidur saja, ngantuk.

Bersambung lagi...

Minggu, 27 Maret 2016

DUKUN DONUTS

DUKUN DONUTS adalah plesetan dari DUNKIN DONUTS. Jualan donat, tempatnya dekat Mall Malioboro.

Ada Donat Cokelat
Ada Donat Warna Cokelat
Ada Donat Manis
Ada Donat Manis Asem Asin
Ada Donat dan kawan-kawan

Terima Lesehan.

Jumat, 25 Maret 2016

Lagi inget kemah waktu SMA nih

Waktu itu kejadiannya di Wonotunggal, Batang. Ya, SMA Sragi mengadakan kegiatan Pramuka Kemah Bakti Ambalan untuk semua murid baru. Katanya wajib. Makanya pada ikut semua. Siang itu. Panas sekaleeee. Maklum ditengah lapangan. Waktu itu semua rombongan baru selesai upacara pembukaan dan diperbolehkan untuk ke tenda masing-masing sangga (istilah gampangnya regu). Semua pada sibuk mengurus barang bawaan masing-masing. Ada yang bawa tas ransel gede, tas ransel sedang, tas ransel kecil, dan miniatur tas ransel yang isinya lengkap, ada radio, televisi, genset, sama kompor, serta peralatan dapur. Dalam cerita ini, yang jadi tokoh utama adalah Dedi Sutikwo. Sebut saja Dedi. Asli dari Panjang, Kota Pekalongan. Entah kenapa dia bisa nyasar sekolah sampai ke Sragi, padahal di kota banyak sekolahan. Kemungkinannya ada dua, yaitu SMA SRAGI terkenal bagus, atau Nilai ujian Dedi nggak memungkinkan untuk sekolah di kota. Nah, di Sragi ini dia tinggal di Sijeruk dengan simbahnya. Dedi ini kalo ngomong logatnya lucu ditelinga teman-temannya, serta ngomongnya cepat, mungkin bisa tiga kata perdetik kecepatannya. Jadi terkadang teman-temannya agak kesulitan menafsirkan perkataannya. Perlu diulang-ulang. Waktu KBA, panitia mengadakan kegiatan lomba selain ada acara api unggun, mencari jejak, dan jurig malam. Diantaranya ada lomba masak, lomba kebersihan lingkungan tenda, lomba adzan, lomba qiro'ah, dan lainnya lupa. Setiap sangga harus mengirimkan wakilnya untuk lomba yang bersifat individu. Berdasarkan kesepakatan yang dibuat oleh sangga V, yakni sangga tempat Dedi bergabung yang berisi Davit sebagai ketua sangga, lalu Zen sebagai wakilnya, ada Gian (Kuncung) sebagai ketua dan wakil cadangan, ada Rizqi (Mandor), Ucha (Canus), Giono (Achong), Taufiq (Topik), Kiki (Tiger), Bowo, dan Marwan (Kebo). Akhirnya Dedi dikirim untuk lomba adzan besok. Setelah rapat tentang hal tersebut. Para pramuka sangga V pun berbincang-bincang. ''Eh, kiro-kiro nek kemah es-em-a koyo iki, ono sing ditiliki ma'ene pora?'' Giono memulai obrolan. Artinya (eh, kira-kira kalau kemah es-em-a kayak gini, ada yang dikunjungi ibunya nggak?) ''Paling Davit, kae kan anak mami, hahaha.'' timpal Rizqi yang artinya (palingan Davit, dia kan anak mami.) ''Nek cah wedhok mesti ono nek cah wedhok, yakin aku ora ngomong ndobol, nek cah wedhok mesti ono.'' Dedi berkata dengan ciri khas logatnya, dan berarti (kalau anak perempuan pasti ada, aku yakin). ''Koyo iki bae, sing nang tenda iki, regune dhewe, nek ngko bengi ono sing ditiliki ma'ene, berati anak mami, oke?'' Giono mengusulkan, artinya (begini saja, kalau nanti malam ada anggota regu kita yang dikunjungi ibunya, berarti dia kita panggil anak mami, oke?) ''Oke!!!!!!!'' semua setuju. *** Waktu berlalu, siang pun menuju sore. Belum ada kegiatan yang benar-benar menguras tenaga. Yang ada hanya panas yang menguras keringat. Pada saat adzan ashar, semua peserta yang muslim dan tidak dalam keadaan menstruasi diwajibkan ikut sholat berjamaah ditengah lapangan. Pada saat itu, ada dua anak dari sangga V yang keluar wilayah perkemahan karena mau membeli jajan disekitar perkampungan warga. Mereka kebetulan sedang didekat masjid. Mereka adalah Marwan dan Zen. Mendengar sudah masuk waktu sholat ashar. Mereka bingung antara kembali ke lapangan atau ke masjid terdekat. Akhirnya mereka menuju masjid terdekat saja untuk sholat ashar disitu. ''Wan, koyone dhewe mau kudune melu sholat jamaah nang lapangan?'' tanya Zen seusai sholat. Artinya (Wan, harusnya kan kita ikut sholat dilapangan?) ''Wis ora kaiki, sholat kui luwih cepet luwih apik." jawab Marwan yang artinya (udah nggak apa-apa, sholat itu lebih cepat lebih baik). "Ngko nek ditakoni, kok mau ora melu sholat jamaah nang lapangan, jawabe prye?" tanya Zen, artinya (ntar kalo ditanya, tadi kok nggak ikut sholat jamaah dilapangan, jawabnya gimana?" "Gampang, wis sholat nang masjid." timpal Marwan yang artinya (Gampang, jawab aja udah sholat tadi di masjid). "oh, ok.." Mereka berdua berjalan menuju ke lokasi perkemahan lagi. Ternyata dilapangan masih persiapan sholat ashar. Belum dimulai. Zen dan Marwan pun dengan pe-de-nya melangkah dan berniat untuk tidak mengikuti kegiatan itu. Mereka menuju tenda. Lalu dari belakang ada suara yang memanggil. ''Dik! Dik! Mau kemana? Kok nggak ikut sholat berjamaah?" tanya kakak bantara yang bernama Dirno. Dia panitia. ''Tadi sudah sholat kak.'' jawab Marwan. ''Ah, nggak percaya," kata Dirno. ''Iya, tadi sudah sholat di masjid sana, apa bedanya sih?" Zen berkilah. ''Peraturannya, harus ikut sholat jamaah disini, dilapangan, ayo!" Dirno menyuruh. ''Masa harus sholat lagi?" keluh Marwan. "Daripada dapat hukuman dan push-up?" "Ya sudah, kami ikut sholat, daripada disuruh push-up." akhirnya Marwan dan Zen menyerah. ''Wan, sholat ping pindo ora kaiki? " tanya Zen. Artinya (Wan, nggak apa-apa nih sholat dua kali?) "Ora kaiki, bati pahalane dobel, hahaha." jawab Marwan. Artinya (nggak apa-apa, biar dapat pahala dobel). "Sholate etok-etok bae po Wan? Karo ngganggu bocah liyane.. Hehe," usul Zen. (sholatnya pura-pura aja Wan, sambil gangguin yang lain). "hahaha" Akhirnya Marwan dan Zen jadilah sholat ashar dua kali dalam sehari. Ini yang bego yang nyuruh sholat lagi apa yang mau disuruh sholat lagi. Kalau macam begini beneran dapat pahala dobel apa malah dosa? *** Sorenya sebentar lagi berganti petang. Kegiatan pada waktu itu adalah mandi. Mandinya ke sungai. Tapi itu buat yang cowok. Yang cewek mandinya numpang dirumah warga atau disaluran irigasi yang sudah dibuatkan bilik khusus mandi oleh panitia. Curang. Jadi nggak bisa ngintip cewek mandi. Rombongan sangga V mandinya lama, sampai hampir maghrib baru selesai. Padahal nanti ada acara sholat maghrib berjamaah di lapangan. Zen dan Marwan nggak mau sholat duluan. Takut kejadian tadi terulang lagi. Tapi sekarang mereka malah hampir tidak ikut sholat maghrib berjamaah karena mandinya kelamaan. Main perang-perangan dulu. Sehabis maghrib, semua peserta KBA makan malam ditenda masing-masing. Makanannya juga hasil masakan koki masing-masing. Jadi rasanya pun masing-masing. Ada yang rasanya terlalu asin, ada yang hambar, ada yang rasanya pahit, mungkin koki-nya masak sendal jepit. "Wah! Sendal jepitku ilang!" teriak salah satu peserta. Mungkin dia yang sendalnya dimasak. "Wa lah.. Nggonku segone geseng.." salah satu peserta mengeluh nasinya gosong. Aneh-aneh saja rupanya orang kemah itu. Capek juga tapi. Ya, ada suka ada duka gitu lah. Dari kejauhan terdengar suara dari loud speaker. "Kepada Adik Sugiono, kelas sepuluh lima.. Harap menuju sumber suara.. Ditunggu orang tuanya disekretariat! Terima kasih.." seorang panitia menyiarkan. Dan rupanya, anggota sangga V yang sedang menikmati makan malam didalam tenda dan mendengar siaran tersebut serta yang tadi siang membahas anak mami langsung kompakan teriak ke arah Giono,"Anak Mami! Anak Mami! Anak Mami!!!!" Hahaha.. Yang membuat usulan tentang anak mami malah jadi Anak Mami. Giono. *** Malam itu api unggun pertama, hawa dingin pegunungan dihangatkan oleh nyala api unggun dan hiburan seni musik dari peserta yang tampil di depan. Malamnya sedang cerah, seandainya tak ada cahaya api unggun. Pastilah banyak bintang yang terlihat diangkasa. Dan malam itu dilewati dengan tenang, tidur dengan tenang karena besoknya akan ada kegiatan mencari jejak. *** Gawat! Giliran mau acara mencari jejak. Ketua Sangga V malah sakit. Jadilah Zen menggantikan Davit jadi ketua, lalu Gian diangkat jadi wakil. Kemudian Davit istirahat di tenda bersama Dedi yang bertugas jadi tukang masak. Tak usah diceritakan bagaimana kegiatan mencari jejaknya, karena biasa saja dan kalian pernah mengalaminya. Akhirnya sangga V berhasil menamatkan perjalanan mencari jejak dan segera beristirahat untuk makan siang. Dedi sudah memasak nasi dan telur dadar. Sekarang Dedi-nya malah nggak ada. Usut punya usut, ternyata Dedi sedang ikut lomba adzan. Semua yang didalam tenda berebut lauk, saking laparnya mungkin. Dedi tiba-tiba muncul. Ambil nasi, lalu bingung karena lauknya sudah habis dan tempat lauknya kosong. Dedi kontan marah-marah. ''Asuok, Kete'ok, Celengok!! Lawuhe dintekke! Kene payah-payah masak! Ora ngerti diturahi! Sopo kye sing ngentekke!!??" kata Dedi sambil membanting tempat lauk yang terbuat dari plastik ke tumpukan tas ransel. Artinya (anjing, monyet, babi, siapa yang ngabisin lauknya?!!) Sebagian ada yang diam, ada yang ketawa. Akhirnya Ucha, yang asli Jakarta, ngomong. "Ded, ded, ded.. Tenang Ded, itu masih ada lauknya, tadi diumpetin ama si Giono," Ucha menenangkan. Akhirnya semua tertawa, dan Dedi makan. Habis makan, Dedi cerita kalau tadi pagi pas pada mandi disungai, dia berak disungai bagian atas. Sedangkan yang pada mandi ada dialiran bawah. Karena merasa nggak enak, Dedi memegang tahi yang keluar, terus ditaruh diatas batu biar nggak kebawa arus dan mengenai yang pada mandi dibawah. Hahaha. '' Njelehi koe Ded! Asuko!" kata Rizqi,"maune sisan diwadahi plastik li gowo muleh, tekan ngumah wadul karo ma'amu, maaak! Kye aku oleh tai!!! Hahaha'' artinya (menjijikan, anjing. Tadinya sekalian masukin ke plastik, terus bawa pulang, kasih ke emak kamu,, maaaak!! Aku dapat tai ini..) Itulah cerita awal dari Memoirs of Jebolan 2008. Kejadiannya memang waktu baru awal masuk SMA dan belum menerima pelajaran. Untuk berikutnya mungkin ada yang cuma kalimat pendek. Nantikan kelanjutannya, dan baca terus ya..

Kamis, 24 Maret 2016

Zen : Tetangga of the Year 2014

INI AKU Hai. Aku Devi. Nama lengkapku Devi Nur Hidayanti. Suku Jawa. Dan aku habis minum air putih dari kulkas. Aku dilahirkan oleh ibuku, namanya Rumiyati, disebuah wilayah kecil yang bernama Kemplokolegi (selanjutnya disebut Mlokolegi), yang masuk dalam wilayah Desa Bulakpelem, Kecamatan Sragi, Kabupaten Pekalongan (sekarang Kabupaten Kajen). Ibu melahirkan aku dibantu seorang bidan desa, namanya Kamini atau biasa dipanggil Bu Mimin. Tepuk tangan dulu buat bu bidan, karena sudah menolong orang melahirkan. Dari cerita itulah akhirnya Aku memilih untuk melanjutkan sekolah di sebuah akademi kebidanan di kota Kendal setelah lulus SMA. Biar jadi bidan. Biar bisa menolong orang melahirkan. Aku punya masa kecil di Mlokolegi. Tapi kemudian aku pindah ke Bulakpelem karena orang tuaku membuat rumah disana, tepatnya dipinggir jalan raya antara Sragi dan Kesesi. Rumah itu ada ditengah antara rumah Pak Mantri Warsito dan Pak Rismoyo, guru olahragaku waktu SD. Ya, aku dulu sekolah di SD N 05 Sragi. Walaupun namanya SD N 05, tapi sebenarnya itu adalah es-de dengan peringkat terbaik di Kecamatan Sragi. Oh, iya, aku tinggal dirumah itu sampai aku lulus SMP. Sekarang rumah itu sudah dijual, setelah dibiarkan kosong sekian lama. Kata orang-orang disekitar situ, rumahnya berhantu. Bisa buat uji nyali. Aku sih tidak takut. Kecuali kalau disuruh tidur disitu sendirian pas malam jumat kliwon. Masa-masa SMA, aku kembali ke Mlokolegi, tinggal dirumah nenekku karena orang tuaku pergi merantau ke Jakarta. Nenekku bernama Waisah. Kami tinggal disebuah rumah sederhana yang punya tiga kamar tidur, satu kamar mandi plus WC, ruang tamu, ruang nonton tivi, dapur, dan halaman yang lumayan luas yang kalau siang terang, kalau malam jadi gelap, dan kalau buat tidur tidak nyaman. Coba aja. Disebelah kanan ada kebun pisang, yang dulunya ada rumah milik Mbah Kalsum, penjual pecel legendaris di Mlokolegi. Kemudian dibagian belakang rumah ada pekarangan untuk memelihara ayam yang pemandangannya tembus ke pesawahan yang indah kalau pas ada matahari terbenam. Rumah nenekku ini berdempetan dengan rumah Mbah Narti, adiknya. Dan dirumah nenekku, aku tidur dikamar nomer tiga. Barangkali kamu mau ngobrol lewat jendela. Oh iya, kalian tidak perlu tahu tanggal lahirku karena aku khawatir nanti pas ulang tahunku ada kiriman hadiah banyak dari orang-orang tak dikenal. Kasihan nanti nenekku bingung. Yang perlu kalian ingat adalah namaku dan wajahku (yang diatas itu foto asli wajahku), siapa tahu ketemu dijalan. Banyak orang memanggilku Devi. Tapi dirumah biasanya nenek memanggilku Depi. Lalu teman-teman yang suka iseng menyebutku Dephol. Dan aku ingat, ada seseorang yang memanggilku dengan panggilan yang belum pernah diucapkan orang lain. Dia memanggilku Hid, yang diambil dari nama belakangku, Hidayanti. Orang itu bernama Zen. Yang pernah ada untukku, selalu berusaha menyenangkan aku, meski tanpa ada hubungan apa-apa. Saat ini aku sedang berada didalam kamar yang nyaman di Mlokolegi. Kamarku. Aku melihat-lihat kembali surat-surat dari Zen yang tulisannya berbeda-beda, kadang rapi dan kadang seperti cakar ayam. Kertasnya juga bukan kertas yang indah-indah, tapi kertas ala kadarnya, malah ada yang berbentuk kertas sobekan. Aku jadi senyum-senyum sendiri. Ada juga barang-barang pemberian darinya yang juga hanya barang sederhana tapi berasa istimewa bagiku. Nanti akan aku ceritakan pada kalian. Aku senang tinggal di Mlokolegi. Tempat yang mungkin pernah menjadi daerah paling menawan menurutku. Dan juga romantis. Karena aku benar-benar pernah merasa menjadi wanita paling istimewa disini. Ditempat yang biasa disebut Daerah Istimewa Mlokolegi oleh Zen. Diwilayah inilah kisah antara aku dan Zen terjadi. Bagiku Mlokolegi bukan hanya urusan wilayah saja, tapi juga menyangkut urusan perasaan. Kalian harus tahu bagaimana rasanya jadi aku saat itu. Nanti kalian akan tahu setelah aku ceritakan. Dikamarku ini, aku sedang duduk diatas kasur empuk yang kalau buat tidur rasanya nyaman. Mencoba menuliskan kisahku dilaptop, agar kalian bisa membaca dan menjadi saksi . Biar Zen juga bisa membacanya dan tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya saat ada dia dalam hidupku. Ditemani lagu Unintended dari Muse, aku mulai saja dari sini. Simaklah. Tetapi sebelum aku mulai cerita tentang Zen. Aku akan bicara soal Mlokolegi yang menurutku adalah daerah paling romantis se-Indonesia. Mungkin menurut kalian, aku berlebihan. Tapi biar saja karena kalian tidak pernah merasakan menjadi aku, dan aku tak perduli. Iya, walaupun tak seindah Bali, tak seramai Jakarta, tak sesejuk Bandung, dan tidak seklasik Jogja, tapi Mlokolegi itu romantis dan aku bangga menjadi bagian dari Mlokolegi. Di Mlokolegi ada bangunan peninggalan Belanda yang sayang sekali sekarang sudah roboh dan hanya meninggalkan jejak fondasi dan pipa air dalam tanahnya saja yang tersisa. Masyarakat setempat menyebutnya Gedong Bodol yang artinya Gedung Rusak, atau biasa disingkat Nggedong. Lokasinya dekat dengan jalan raya Sragi-Kesesi. Didepan Gedong Bodol ada jembatan swadaya masyarakat Mlokolegi. Kemudian disekitar situ juga ada jembatan legendaris yaitu Broug Putih yang katanya banyak kejadian mistis terjadi disitu jika sudah lewat tengah malam. Makanya disitu kalau malam sepi. Tapi kalau pas bulan puasa disitu ramai, banyak orang jalan-jalan dan ada yang main petasan. Ah itu masa lalu. Nah, diseberang jalan menghadap Gedong Bodol, yaitu sebelah Timur ada tempat cukur atau potong rambut yang juga legendaris. Nama tukang cukur yang menghuni tempat itu adalah Bapak Rusmadi, tapi orang-orang menyebutnya Rus Buntung karena kakinya putus satu. Kejadiannya dulu, waktu dia kecil, suka narik tebu yang diangkut kereta menuju pabrik gula Sragi. Nah, waktu mau mengambil tebu itu dia kepeleset dan salah satu kakinya yaitu kaki yang kirinya terlindas rangkaian kereta pengangkut tebu itu. Kasihan ya.. Oh iya, dibelakang tempat cukur Rus Buntung itu ada rumah Bu Mimin, bidan yang diawal tadi sudah membantu ibuku melahirkan aku. Lalu dibelakang rumah Bu Mimin, melewati persawahan ada pemakaman umum Desa Bulakpelem yang biasa disebut Sarean Wedhen. Tapi kalau kata Zen, itu adalah Lembah Keabadian tempat dimana orang yang dikubur disitu sudah tak akan pulang lagi kerumah. Akan abadi disitu. Di Mlokolegi juga ada Masjid Desa Bulakpelem yaitu Masjid Darussalam yang kalau hari Jumat pasti ada orang sholat jumat disitu. Orang-orang seluruh desa Bulakpelem juga Sholat Idul Fitri dan Idul Adha disitu. Jadinya ramai. Tidak hanya masjid, Mlokolegi juga punya mushola tempat aku biasa tarawih kalau bulan puasa. Mushola Al Amin. Disitulah kadang aku melihat Zen yang juga kebetulan sholat. Mushola itu terletak diantara rumah Pak Jarwoyo dan Pak Tasjani almarhum. Lalu dibelakang mushola ada rumah Rohma. Dia temanku, dan dulu bapaknya Rohma adalah imam di mushola tersebut, namanya Pak Abdul Wahab tapi masyarakat lebih akrab dengan panggilan Pak Sidul, beliau sudah almarhum sekarang. Didepan mushola ada tumbuh pohon mangga yang daunnya cukup rimbun, yang kalau berbuah bisa banyak sekali dan kalau sedang tidak berbuah ya tidak ada buahnya. Anak-anak kecil kadang suka bermain dibawahnya atau bahkan memanjat naik ke atas pohon. Aku sih enggak. Karena rumahku jauh dari mushola. Aku dengar, dari bermain ataupun sholat dimushola ini, ada yang jadi ketemu jodohnya. Hehehe. Sebenarnya masih banyak lagi tempat-tempat asyik di Mlokolegi yang ingin aku ceritakan pada kalian. Tetapi takutnya nanti malah tidak fokus ke tokoh-tokohnya. Mungkin nanti sambil berjalan, aku akan ceritakan juga tempat-tempat kejadian sejarah yang menyangkut kisahku dan Zen. Iya, itu adalah bagian dari peristiwa sejarah. Walaupun mungkin tidak penting bagi kalian, tapi ini penting bagiku.

The Wedding Expo 2016

Saatnya beristirahat.. Setelah capek.. di Mall Malioboro

Senin, 21 Maret 2016

Berusaha Keras

Tak peduli betapa sulitnya, tetaplah berusaha.

kajenoz artist shop


Kenangan Jaman SMA

Entah mengapa akhir-akhir ini aku kangen sekali dengan suasana sekolah jaman SMA. Sampai ingin aku menuliskan kisah-kisahnya di blog ini saja. Untuk aku bagi bersama kalian.

Yang sudah pernah baca di WATTPAD, sekarang ceritanya mau aku pindah kesini.

Terima kasih

Dari aku, Zen
Untuk kalian, teman

Jogjakarta, 21 Maret 2016 masehi dan hujan.

Minggu, 20 Maret 2016

Menunggu Gajian

Inilah saat kami sebagai kru dekorasi Wedding Organizer menanti turunnya gaji minggu ini.

Sumber dan foto : Zen

Apel Merah

1.1 Demi Kipas angin yang menyala dua puluh empat jam sehari dan tujuh hari dalam seminggu di kamar berukuran dua kali tiga meter yang terbuat dari tripleks dan dilapis karpet hitam yang sudah berdebu dan banyak terdapat jelaganya.

1.2 Aku terbangun dari tidurku yang sebentar itu karena kebelet pipis.

1.3 Malamnya sudah larut, seolah-olah malam itu adalah serbuk yang dimasukkan ke dalam air sehingga bisa menjadi larut.

1.4 Mungkin karena malam memang terbuat dari serbuk matahari berbentuk pil bulat yang kemudian pil itu masuk ke dalam air laut saat senja tiba lalu lama-kelamaan menjadi larut.

1.5 Dan sesungguhnya hal itu berulang-ulang terjadinya.

1.6 Maka aku pun tiba-tiba ingin memakan apel merah, yaitu buah apel yang kulitnya berwarna merah tetapi dagingnya putih.

1.7 Tetapi aku rasa tak mungkin memakannya dalam waktu ini, karena memang saat ini aku tidak mempunyai pohon apel yang membuat aku tak bisa memetiknya, dan tidak mungkin juga ada yang menjualnya pada malam selarut ini, kalaupun ada aku tak mampu membeli dikarenakan aku tidak punya uang.

1.8 "Aku hanya ingin apel merah itu.."

1.9 Sesungguhnya itu adalah aku yang berbicara kepada diri sendiri dan disaksikan dua malaikat pencatat amalan dikanan dan dikiri

1.10 Suara kipas angin masih terdengar ditelinga dimalam yang menginjak pagi buta, kasihan pagi, sudah buta lalu diinjak pula dirinya oleh malam yang telah larut tadi.

1.11 Dan apel merah tetap menjadi keinginanku, hingga aku tertidur lagi nanti.

Yogyakarta, 12.57 hari Minggu 20 Maret 2016 masehi dan habis memimpikanmu

Sabtu, 19 Maret 2016

Malam Minggu Kaje

Malam Minggu. Apa sama dengan Minggu malam?
Ada yang berkata bahwa malam minggu itu spesial. Spesial apanya coba? Emangnya malam minggu pakai telor dua? Soalnya kebanyakan yang spesial itu telornya dua. Contohnya, nasi goreng spesial telornya dua, terus mie rebus spesial telornya juga dua, iya kan?
Iya, sekarang aku tahu kenapa Malam minggu disebut malam spesial. Ada yang diapeli mahluk spesial, cowok pakai telor dua. Atau yang ekstrim lagi, ada yang nyewa cewek spesial, juga pakai telor dua. Tahu kan? Cewek yang punya telor dua, biasanya mangkal diperempatan lampu merah kuning hijau.

Kembali ke Malam Minggu, menurutku biasa aja. Malah malam minggu bagiku, yang kerjanya tukang dekorasi, seringnya nginep di hotel demi membuat acara resepsi klien menjadi bagus dan memuaskan. Ya, tak ada yang spesial di malam minggu. Tetap pegang cutter, palu, lakban, kawat, catut, tang, dan tusuk sate.
Nggak ngaruh mau malam minggu atau minggu malam. Sama aja.

Malam Minggu yang spesial hanya berlaku untuk anak sekolah. Ya, karena pada malam itulah mereka bisa tidur larut malam dan besoknya tidak perlu bangun pagi. Rasanya menyenangkan sekali.

Malam Minggu juga spesial untuk para pekerja yang tertekan. Silakan nikmati malam minggu anda. Besok kalian tidak perlu ketemu bos yang galak, bos yang cerewet, ataupun bos yang galak dan cerewet sekaligus.

Tapi Memang Malam Minggu tetap menjadi biasa saja dimata karyawan wedding organizer seperti aku. Besok masih harus kerja, karena kami libur hari Senin. Itulah hari ku untuk beristirahat, setelah event event yang diadakan pada akhir pekan telah usai.

Malam Minggu Kaje, hanya berteman android, kasur, bantal, dan imajinasi.

Yogyakarta, 19 Maret 2016 masehi dan agaknya ngantuk.