Sabtu, 09 April 2016

(sambungan dari LAGU UNTUKMU) LEBARAN TANPA SALAMAN

Aku tidak jadi pergi bersama Zen, Risma, dan Sigit untuk jalan-jalan ke Kaliwadas hari ini karena tidak diberi izin oleh nenekku. Aku selalu menuruti apa kata nenek. Yang baik-baik. Harus. Karena aku tinggal bersama beliau dan juga dirawat oleh beliau. Jadi anggap saja menuruti ucapannya adalah sebagai ungkapan terima kasihku kepadanya.

Hari ini adalah hari dimana pasar ramai penjual kembang. Iya, mulai dari kembang segar, kembang api, sampai kembang desa kalau mau. Enggak ding, bercanda. Jadi ketularan Zen nih. Dan tentunya tradisi pasar kembang ini juga sudah ada sejak jaman dulu. Aku ingat dulu waktu kecil sering diajak ke pasar kalau sudah mepet lebaran begini dan biasanya nanti aku minta dibelikan kembang api pada ibuku. Ah, betapa lucunya waktu kecil dulu.

Sekarang aku juga sedang diajak nenekku ke pasar. Belanja. Beli sayuran, beli wadah ketupat, beli daging, dan tentunya kembang tujuh rupa yang adalah tujuan utamanya pergi ke pasar. Tapi aku tidak minta kembang api karena aku sudah besar. Kalaupun nanti kalian melihat aku mainan kembang api, itu bukan punyaku, tetapi punya anak kecil lain. Bisa anak tetanggaku, bisa anak saudaraku, bisa juga anakku nanti. Hehehe. Kalau sudah menikah.

Saat hampir lebaran begini, yang rame bukan cuma pasar kembang saja tetapi juga jalanan ramai, lebih rame dari biasanya. Mungkin akibat dari banyaknya orang mudik kali ya. Aku lihat banyak orang-orang yang tadinya jarang aku lihat dikampung, sekarang nongol. Dan tadi sewaktu aku berangkat mengantar nenekku ke pasar, disamping jalan juga banyak yang buka usaha dadakan TERIMA POTONG AYAM. Entah kenapa kalau mau lebaran begini orang suka banget pada nyembelih unggas seperti ayam, bebek, dan menthok. Aku nggak mau memikirkan itu, biar Zen saja yang memikirkannya karena memang dia suka memikirkan hal-hal yang orang lain tidak mau memikirkan.

Yang lebih rame adalah toko-toko baju dan mal-mal. Orang-orang pada berebut beli baju baru dan mencari diskon-an. Udah kayak semut merubung gula aja. Atau mungkin yang ada dalam pikiran orang-orang itu adalah bahwa ini lebaran terakhir mereka. Hehe.

Akhirnya, nenekku selesai belanja. Kami pun segera pulang. Tak ada yang istimewa hari ini. Karena aku dari pagi sibuk membantu nenekku. Paling tadi aku sepintas melihat Zen waktu dia sedang mencuci motor disamping rumahnya, di lapangan bulutangkis. Iya, kalau mau lebaran begini memang orang-orang juga jadi pada rajin bersih-bersih. Itu motor Zen juga mungkin dicucinya pas mau lebaran aja, setahun sekali. Hihihi.

"Rajin banget om.." aku SMS zen.

Beberapa jenak kemudian baru ada balasan. Mungkin baru selesai cuci motornya.

"Harus dong.. Eh, tadi ke pasar ya?" tanya Zen.

"Iya, nganter nenek, emang om Zen lihat aku?" aku balik bertanya.

"Nggak usah lihat pun, aku sudah apal suara motormu dan bau mu, hehe.. Tiap pagi kalo mau sekolah kan lewat depan rumahku.."

"Ah, om Zen.."

"Beli apa aja tadi ke pasar?" Zen bertanya.

"Banyak, ada kembang, ada sayur, daging, bungkus ketupat, dll." jawabku.

"Oh, nggak beli mercon?"

"Nggak, eh itu nyuci motornya yang bersih.."

"Udah selesai, bersih, wangi, berkilau.. Hehe"

"Hahaha, emang pakai apa nyucinya?"

"Ah, cuma pakai shampoo.. Hehe."

"Hahaha.. kayak iklan."

"Eh, udah dulu ya, sekarang giliran aku yang mau ke pasar, nganter mbak Nit.." kata Zen.

"Iya, om, hati-hati ya.." kataku.

"Iya.."

***

Senja itu pas maghrib, adalah buka puasa yang terakhir dibulan puasa tahun 2014. Aku menikmati buka puasa di Daerah Istimewa Mlokolegi. Dirumah nenek dari ibu. Nanti malam aku akan menghabiskan waktu tidurku di Tegal Suruh dirumah eyang dari Ayahku. Karena menurutku malam lebaran atau malam takbiran di Mlokolegi itu kurang rame khususnya di tempatku tinggal di Pojok Mlokolegi. Habis makan, aku sholat maghrib. Lalu pergi naik motor ke Tegal Suruh. Sendiri.

***

Selepas Isya. Suara takbir berkumandang dimana-mana. Suara bedug dipukul berirama mengiringi takbir. Pertanda hari lebaran. Hari kemenangan. Hari raya idul fitri.
Langit malam dihiasi letupan suara kembang api dan cahayanya yang indah. Ramai sekali malam itu dan kebetulan tidak hujan. Zen SMS aku.

"Jalan-jalan yuk.." begitu tulisannya.

"Aku sedang pergi.." balasku.

"Kemana?" dia bertanya.

"Tegal Suruh.." aku menjawab.

"Ngapain?"

"Dirumah eyang yang dari ayah.."

"Oh.. Aku kesitu ya?" pinta Zen.

"Jangan, nggak enak sama saudaraku disini."

"Oh gitu, nanti pulangnya jam berapa?" tanya Zen.

"Aku nggak pulang, tidur disini.. Disuruh eyang tidur disini.." jawabku.

"Yaah, padahal aku mau ngajak kamu ikut arak-arakan ini, rame disini.." dia berkata.

"Iya, tapi nggak bisa, karena aku menuruti perintah ayahku.."

"Disitu enak ya?"

"Iya, disini rame nggak kayak di Mlokolegi.. tapi kalau disuruh tidur disini sebenarnya agak nggak suka.."

"Emang, lokasinya dimana?" dia bertanya.

"Tegal Suruh bagian utara, gang paling utara yang depannya sawah-sawah, rumah paling pojok," jelasku.

"Tetap saja di pojokan.."

"Hahaha.."

"Besok berarti nggak sholat ied di Mlokolegi?"

"Besok aku pulang, habis sholat subuh.."

"Yaudah, selamat bersenang-senang disitu.. Aku mau bikin gambar ketupat tiga dimensi dilapangan bulutangkis.."

"Seperti apa itu om?"

"Gambar yang kalau difoto bisa tampak seperti benda yang berdiri padahal aslinya gambar datar.." jelasnya.

"Om Zen.."

"Apa?"

"Aku kagum padamu.." entah aku sadar atau tidak waktu menulis ini dulu.

"Kenapa kagum padaku?" dia bertanya.

"Kamu itu pintar, baik, dan wawasannya luas.." jawabku.

"Terima kasih.. Kalau begitu, aku juga kagum padamu.."

"Apa yang membuatmu kagum padaku?" tanyaku penasaran.

"Kamu cantik, baik, rajin ibadah, dan mau berteman denganku.. Oh iya, suaramu bagus pas baca qur'an.."

"Darimana kau tahu?" tanyaku.

"Aku dengar sendiri waktu pergi kerumah mak Kutis sehabis maghrib.. Waktu itu aku dengar kamu sedang mengaji.." jelasnya.

"Kamu yakin itu aku? "

"Yakin, karena aku hafal suaramu.. dan aku sempat berhenti sejenak diatas sepedaku untuk mendengarkanmu, tepat dibawah jendela kamarmu.."

"Hayoo, ngintip ya? Hahaha.."

"Nggak, hehe.."

"Om, udah dulu ya, aku diajak ngobrol eyang ni, nggak enak kalau mainan hape terus.." kataku.

"Oke.."

"Oh, iya, nanti aku dikasih lihat gambarnya kalau sudah jadi ya?"

"Iya, bulek.."

Dan malam itu aku tidur di Tegal Suruh. Kurang bisa tidur sebenarnya. Rindu kepada kamarku di Mlokolegi. Rindu nyamannya. Dan rindu seseorang yang tumben tidak mengucapkan selamat tidur untukku lewat SMS ataupun telepon. Mungkin dia sibuk menggambar. Tetapi aku tahu, dia pasti mengucapkan selamat tidur untukku dari situ. Iya, aku tidak mendengar, tapi aku juga mengucapkan selamat tidur untuknya. Besok kita ketemu.

***

Subuh, aku bangun. Sholat. Lalu pamitan pulang ke Mlokolegi. Suara takbir masih berkumandang di masjid-masjid, udara dingin mengiringi perjalananku pulang, pagi itu dingin. Aku memakai sweater. Karena aku punya. Dan sepertinya pagi itu orang-orang sudah mulai beraktivitas. Aku sampai dirumah nenekku di Mlokolegi. Langsung mandi dan mempersiapkan perlengkapan sholat ied di Masjid Darussalam. Aku berangkat ke masjid kira-kira pukul setengah enam, bersama mbah Waisah, bulek Harti, mak Kutis, dan mbak Naroh. Ketika kami lewat didepan rumah Zen, pandanganku mencari dirinya, hanya ingin melihat. Tapi tak ada, hanya ada saudara-saudaranya. Sampai di Masjid Darussalam, sudah ramai orang. Jamaah laki-laki ada dibarisan depan yaitu didalam bangunan masjid sedangkan jamaah perempuan ada dihalaman masjid. Tapi tetap saja tidak muat sehingga sebagian ada yang dihalaman rumah orang dan ada yang dijalanan.

Sekitar pukul enam lewat sedikit. Aku melihat Zen baru datang ke masjid. Dia memakai sarung kotak-kotak berwarna cokelat dan baju koko putih serta memakai peci hitam. Wajahnya segar seperti habis wudhu tapi tetap jelek. Hehehe. Dia tidak kebagian tempat dibagian masjid, jadi dia ada dihalaman rumah orang. Duduk bersama jamaah lain diatas tikar.

Adegan sholat ied menurutku tidak usah diceritakan. Lewati saja. Langsung ke adegan aku pulang. Ramai sekali orang-orang berjalan kaki sehabis dari masjid. Ada yang ngobrol dan bercanda. Biasanya para anak cowok itu ngobrolnya keras banget sambil bercanda dijalan. Ah, aku jadi rindu suasana lebaran.

Pas lewat didepan rumah Zen lagi, aku melihat gambar ketupat yang dia buat tadi malam, yang katanya seperti tiga dimensi. Tapi aku melihatnya dari jauh, yang aku tahu hanya ada gambar ketupat besar dilapangan bulu tangkis samping rumah Zen. Ah, biarlah.

Setelah sampai dirumah nenekku, aku langsung melepas mukena dan menggantungnya ditempat mukena. Lalu aku berganti pakaian dengan baju lebaranku. Baju baru. Berjilbab. Kemudian mengeluarkan toples-toples berisi kue ke meja ruang tamu. Berikutnya aku sungkem kepada nenekku dan mohon maaf lahir batin. Lalu bersalam-salaman ke rumah mbah narti dan rumah-rumah tetangga sekitar, seperti Mak Kutis, Mbah Talkiyah, dan Mak Darinah.

Aku agak sedih juga, karena ibuku tidak pulang diwaktu lebaran ini. Ibuku pulangnya nanti sehabis lebaran. Katanya sekalian mau hajatan, khitanan adikku, Agung, yang ikut ibu ke Jakarta. Aku hanya bisa mohon maaf lahir batin lewat telepon. Aku sedikit meneteskan air mata.

Oh iya, aku juga menerima ucapan selamat hari raya idul fitri dari Zen lewat SMS. Begini.

"Entah mengapa, kalo mengarang kata-kata untuk acara seperti lebaran ini, kok sulit ya, aku ga bisa seperti yang lain yang punya kalimat-kalimat kreatif untuk meminta maaf, mungkin karena aku ga suka basa-basi, intinya kalo aku salah ya aku minta maaf aja gitu.. maafin aku ya.. ZEN ARMSTRONG yang BELUM BERKELUARGA."

Aku balas,"Nggak usah pakai yang belum berkeluarga juga kali om, hahaha.."

"Selamat lebaran ya, mohon maaf lahir batin.. Dari aku, Zen, untukmu, Hid.." tulisnya lagi.

"Iya, om, aku juga minta maaf ya.." balasku.

"Iya, bulek.."

Habis itu aku pergi sungkem ke rumah eyang Tegal Suruh. Aku cuma sebentar disana. Cuma salam-salaman, icip-icip kue, dan minum sirop. Karena saat itu aku di SMS Zen bahwa dia ada di rumah nenekku yang di Mlokolegi untuk mau salaman dengan aku.

"Aku mau ketempatmu, mau salaman denganmu.."

"Aku nggak di Mlokolegi," balasku.

"Dimana?" tanyanya.

"Di Tegal Suruh.." jawabku singkat.

"Kapan pulangnya?"

"Sebentar lagi.." aku berkata.

"Oh, ini aku rame-rame sama teman-teman.. Sudah hampir sampai dirumah Mbah Waisah.." kata Zen.

"Aku sebentar lagi pulang.."

"Iya.."

Aku pulang ke rumah Mbah Waisah, tapi ternyata sudah tidak ada Zen. Mungkin dia sudah lewat. Lalu aku cek HP, ada pesan.

"Aku melihatmu.. baru pulang.."

"Iya.."

"Aku sudah sampai dirumah Dhe Sindon," kata Zen.

"Hahaha.. salamannya ntar aja ya.." kataku.

"Oke, nanti malam.." katanya.

"Iya, tapi kalo mau kesini jangan sendirian, ajak Risma.." ancamku.

"Kenapa?"

"Aku nervous kalo harus menemui kamu sendirian.."

"Waduh, nggak usah nervous, aku juga enggak kok, hehe.."

"Om Zen mah malah seneng ketemu aku. Hahaha.."

"Iya, dong.. Nanti malam aku datang.." janjinya.

"Bareng Risma, kalo nggak sama Risma, aku nggak mau nemuin, hehe.." aku mengancam lagi.

"Iya, nanti aku ajak Risma.."

"Sekarang sedang apa om?" aku bertanya.

"Sedang main mercon bawang.. Hehe," jawabnya.

"Apa itu mercon bawang?" tanyaku penasaran.

"Ini, mercon yang kalo dibanting jadi meledak, bentuknya kecil, jadi aman walaupun diarahkan ke baju orang lain sampai meledak.. Kamu mau?"

"Mau apa? Mainan mercon bawang? Ogah ah.." aku bertanya sendiri dan menjawab pertanyaanku sendiri.

"Bukan, maksudnya kamu mau dilempar mercon ini nggak?"

"Ah om Zen..tetep enggak, hahaha.."

"Nanti sore aku datang habis maghrib ya.."

"Jangan, habis Isya aja, biar tetangga udah sepi.." pintaku.

"Iya deh.." jawabnya.

Hari itu kegiatannya biasa saja. Aku hanya menerima telepon dari pacarku dan kirim-kirim pesan dengan teman-temanku.

***

Hari sudah menjelang malam, dan aku semakin deg-degan, karena Zen janji mau datang. Aku sengaja minta agar Risma datang dulu ke tempatku. Untuk jaga-jaga. Aku bener-bener nervous. Tiba-tiba ada pesan dari Zen.

"Maaf, sepertinya aku agak telat, aku sedang di Muncang, tempat temanku.."

"Iya, nggak apa-apa.." balasku.

"Risma aku SMS tidak terkirim, gimana nih? Aku datang sendiri aja ya?"

"Nggak boleh, hehehe."

"Ah, boleh dong.."

"Enggak, weeek!"

"Ah, pelit, masa mau silaturrahim nggak boleh.."

"Hehe, eh, ini Risma udah disini.. Om Zen kalau mau kesini cepetan ya.. Nanti Risma keburu pulang," kataku.

"Aduh, nggak bisa sekarang, lagi ada acara disini.. suruh Risma menunggu, hahaha.."

"Lihat gimana entar, aku mau ngobrol sama Risma dulu.. daa"

Malam itu aku ngobrol bersama Risma sampai jam setengah delapan malam. Tapi suasananya kayak udah jam sepuluh malam, sepi banget. Maklum dikampung. Zen belum datang. Padahal aku sudah mulai mengantuk. Akhirnya Risma pulang, dan aku bersiap-siap masuk kamar ketika tiba-tiba ada pesan dari Zen.

"Risma masih disitu?" dia bertanya.

"Udah, barusan." jawabku ketus.

"Aku sudah sampai Tegal Suruh, aku ketempatmu ya?"

"Nggak boleh, nggak sama Risma. Wek!" aku kesal.

"Nanti aku minta Risma menemani aku ketempatmu," katanya.

"Nggak bakalan mau dia, tadi habis dari sini, katanya dia ngantuk mau tidur.."

"Terus, aku nggak jadi salaman sama kamu?"

"Nggak, aku juga sudah ngantuk mau bobok.."

"Oh, gitu.. yaudah, nggak apa-apa, aku langsung pulang kerumah aja, kamu istirahat ya.."

"Iya, terima kasih.."

"Jangan lupa.." katanya.

"Iya, aku tahu kok.."

"Apa?" dia bertanya.

"Jangan ingat aku, kan?" jawabku.

"Pinter.."

Itulah harinya, dimana aku tidak bersalaman dengan orang yang selalu membuatku merasa terganggu dengan tingkahnya. Padahal itu hari lebaran. Hari raya idul fitri. Dimana seharusnya saling bermaaf-maafan sambil bersalaman. Kembali fitri, suci, bersih dengan saling memaafkan dan bersilaturrahim.

Maaf, om Zen, mungkin kamu kecewa denganku karena aku tidak mau kau temui sendirian. Aku takut, ada tetangga yang melihat dan mengira yang tidak-tidak. Dan aku juga nervous, aku belum pernah didatangi seorang cowokpun ke rumah, termasuk pacarku. Maaf, waktu itu.

Mungkin lebaran tahun depan kita bisa salaman. Hehehe.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar