Tempatnya karya sastra dan seni mulai dari yang tidak terkenal hingga yang super terkenal.
Jumat, 29 April 2016
Minggu, 24 April 2016
Kamis, 21 April 2016
(sambungan dari I.R.A.K) AGUSTUSAN
Jumat, 8 Agustus 2014 masehi adalah hari pertama dimana aku terhitung sebagai bendahara Ikatan Remaja Kemplokolegi. Tugas pertamaku sebagai bendahara hanya mencatat keuangan organisasi. Tentunya berkolaborasi dengan Risma.
Aku ingat, waktu itu lomba sudah mepet, dan peralatan baru sebagian yang terbeli. Akhirnya aku dititipi untuk membeli pensil untuk lomba, balon, dan juga buku tabungan yang nantinya untuk mencatat tabungan pemuda sebagai uang kas. Pulang sekolah aku sempatkan mampir ke toko Lestari. Yang letaknya didekat SMA N 1 Sragi dan juga dekat rumah tempat aku tinggal dulu. Aku beli semua yang ada dicatatanku, tapi balon hanya sedikit, cuma sampel saja. Takut kalau nanti salah beli.
"Sudah pulang sekolah, bulek?" Zen SMS.
"Baru aja," balasku.
"Capek?"
"Iya"
"Istirahatlah.."
"Iya, om.. makasih.."
Aku tiduran dikamar. Mendengarkan musik. Lagu yang enak didengar saja, biar otak tidak tegang. Ternyata ada lagu Unintended juga di playlist tersebut. Ah, jadi ingat Zen. Padahal aku tidak sedang ingin mengingatnya. Sampai aku tertidur.
***
Begitu bangun, sudah jam lima sore. Aku menguap dan merentangkan tangan. Ah, nikmat sekali rasanya. Tidur siang memang lebih terasa nikmat daripada tidur malam karena saat tidur siang, begitu bangun aku tidak usah berfikir untuk pergi ke sekolah. Pikiran bebas tanpa beban. Sedangkan tidur malam, begitu bangun harus langsung siap menghadapi rutinitas sebagai pelajar. Lalu aku lihat hapeku, ada SMS.
"Nanti aku kerumahmu, ambil buku tabungan dan peralatan lomba.."
"Iya, tapi jangan sendiri ya, sama Risma."
"Ok, nanti aku bilang ke Risma.."
"Aku mau mandi dulu, om.."
"Baiklah.."
Tak usah aku ceritakan bagaimana aku mandi. Nanti kalian membayangkan diriku. Jangan. Lebih baik aku ceritakan kejadian selanjutnya.
Dari habis maghrib tadi, gerimis terus menerus. Mlokolegi malamnya dingin. Membuat aku ingin mendekam didalam kamar saja. Gerimisnya berisik. Tiba-tiba ada suara orang mengucapkan salam.
"Assalamu'alaikum!.." suara cewek, sepertinya Risma.
"Wa'alaikumsalam.." jawabku sambil berjalan keluar dari kamar. Lalu membuka pintu depan.
"Eh, Mol.." itu aku menyapa Risma yang biasa aku panggil Rismol.
"Iki Pol, aku dijak mas Zen mrene, jare pak njukuk alat-alat lomba karo buku tabungan," kata Risma dengan bahasa Jawa yang artinya (ini Pol, aku diajak mas Zen kesini, katanya mau ambil alat-alat lomba sama buku tabungan)
"Iyo, mrene ra mlebu.." aku berkata, artinya (Iya, sini masuk)
"Aku juga mlebu?" Zen bertanya, artinya (Aku juga boleh masuk?).
"He-em," jawabku.
Setelah mereka berdua duduk. Aku masuk ke kamar untuk mengambilkan barang yang mereka maksud yaitu pensil, balon, dan buku tabungan. Itu aku talangi dulu, karena uang pemuda masih ditangan Risma.
"Iki titipane," aku bicara ke Risma yang posisi duduknya satu kursi denganku. Artinya (ini titipannya?)
"Piro Pol regane?" artinya (berapa harganya?)
"Buku tabungan sijine limangatus, aku tuku seket lembar, dadine selawe ewu, terus pensil yo limangatusan, aku tuku selusin, dadi nemewu, nek balone aku ize tuku serenteng tok kui, telungewu, dadine kabehan telungpuluh papat, Mol.." jelasku kepada Risma yang artinya (buku tabungan harga satuannya lima ratus, aku beli lima puluh biji, berarti semuanya dua puluh lima ribu, terus pensil juga lima ratusan, aku beli selusin, jadi enam ribu, sedangkan balonnya aku masih beli satu renceng aja, tiga ribu, jadi jumlah totalnya tiga puluh empat ribu).
"Oh, yo, iki tak ganti nganggo duit kas."
(oh iya, ini aku ganti pakai uang kas).
"Mol, koe teko mrene numpak opo?" aku bertanya pada Risma yang artinya (Mol, kamu datang kesini naik apa?).
"Numpak pit Pol, pite mas Zen," jawab Risma yang artinya (naik sepeda, sepedanya mas Zen).
"Kok biso?" aku masih asyik ngobrol dengan Risma, sedangkan Zen diam saja. Kasihan juga sebenarnya lihat dia dikacangin. Tapi memang aku grogi kalau harus ngobrol dengan dia. Malam itu adalah malam pertama kali dia datang dan masuk serta duduk dirumahku. Eh, rumah nenekku ding.
"Kui, mas Zen ki mau teko nang umahku, terus ngejak aring nggonmu, nggowo payung nopo, niat nemen," jawab Risma yang artinya (itu, mas Zen tadi datang kerumahku, terus mengajak aku ke tempatmu, bawa payung juga, niat banget).
"Aku dijak ngobrol ra.. Moso ngobrole karo Risma terus?" Zen protes karena daritadi tidak diajak ngobrol, artinya (aku diajak ngobrol dong.. Masa ngobrolnya sama Risma terus?)
"Nek sampeyan wadon, tak jak ngobrol Om.. Hahaha" kataku yang artinya (kalau kamu cewek, aku ajak ngobrol om)
"Walah.. Berarti seumpomo aku mayeng mrene dhewekan yo dinengke tok?" Zen berkata yang artinya (walah.. berarti seumpama aku main kesini sendiri, bakal didiamkan saja?)
"Iyo.." Aku dan Risma menjawab secara bersamaan.
"Waduh.." Zen berkata sambil meneplak dahinya.
"Yowis, Pol, tak bali ndisit yo," kata Risma yang artinya (yasudah Pol, aku pulang dulu ya).
"Eh, ora sedelo maneh Ris?" itu Zen yang berkata, artinya (eh, nggak sebentar lagi Ris?)
"Ora, senengen sampeyan ngko nek nang kene suwe-suwe," jawab Risma yang artinya (nggak, nanti kamu kegirangan kalo disini lama-lama)
"Oh, yowis.."
Setelah itu mereka berdiri dari duduknya. Menuju pintu keluar. Sampai di pintu tiba-tiba Zen mengulurkan tangan untuk bersalaman. Secara refleks aku menjabatnya, lama, sekitar tiga puluh detik, baru dilepaskan.
"Assalamu'alaikum.." kata Zen.
"Wa'alaikumsalam.." jawabku.
Lalu aku lihat Risma dan Zen pergi. Risma berjalan kaki membawa payung, dan Zen naik sepedanya. Malam itu Zen memakai celana pendek warna cokelat bergaris-garis dan kaos berwarna biru dengan gradasi. Yang pernah aku lihat waktu Sholat subuh di mushola Al Amin ketika bulan puasa.
Ah, aku jadi rindu bulan puasa. Rindu suasana buka puasa, suasana sholat tarawih, dan juga sholat subuh di Al Amin. Tempat aku diam-diam mengamati Zen dari balik jendela kaca.
Malamnya semakin dingin. Gerimis belum reda. Sepi melanda. Lagi-lagi aku mendengarkan musik dikamar. Seperti di FTV yang romantis.
***
Hari Minggu, tanggal 10 Agustus 2014 masehi.
Setelah tadi malam kami para pemuda organisasi I.R.A.K berkumpul dirumah ibu kadus untuk membuat dan merancang perlengkapan lomba sampai malam, paginya kami harus berkumpul lagi, tetap di rumah ibu Kadus Riyanita karena tempat itu juga bisa dipakai sebagai kantor sekretariat I.RA.K saat ada kegiatan seperti agustusan ini, kebetulan lokasinya juga berdampingan dengan lapangan bulutangkis yang biasa dijadikan tempat untuk melaksanakan acara perlombaan.
Pagi itu jadwal pertama lomba adalah Sepeda Ria, yaitu jalan-jalan konvoi menggunakan sepeda yang dihias dengan kertas krep warna-warni dan juga bendera merah-putih. Setiap peserta akan mendapat nomor undian yang nantinya diundi saat acara konvoi sudah selesai.
Jam setengah tujuh pagi aku sudah sampai di sekretariat. Bersama panitia lain. Yang cowok-cowok tampak sibuk sekali mempersiapkan semuanya. Dan juga mengatur barisan peserta agar tertib dijalan. Yang cewek mah, nangkring dimotor aja, biasa lah, nggak mau repot. Hehehe.
Yang aku ingat, hari Minggu itu hanya ada lomba Sepeda Hias, dan tidak ada yang menarik untuk diceritakan, jadi aku langsung ke cerita lomba pada hari Jumat.
***
Jumat, 15 Agustus 2014 Masehi
Aku tidak begitu ingat secara urut tentang lomba pada hari itu. Otak manusia kadang bisa menangkap banyak informasi tetapi informasi tersebut pasti ada yang tertutup dan tersembunyi dibalik informasi lain. Jadi maaf jika ada yang terlewatkan. Kegiatan dimulai sehabis sholat Jumat. Itu isinya perlombaan yang diikuti anak-anak usia sekolah dasar sampai es-em-pe. Ada lomba memasukkan pensil ke dalam botol, lomba makan kerupuk, lomba sundul air, joget balon berpasangan, dan lain-lain.
Panitia dan peserta berpanas-panasan dibawah terik matahari. Lantai lapangan juga panas. Aku pada hari itu memakai baju kaos lengan panjang warna pink, celana jins, dan berkerudung cokelat. Turun juga ke lapangan untuk mengatur perlombaan dan memasangkan perlengkapan lomba.
Aku ingat kejadian saat lomba terakhir pada hari itu yakni lomba joged berpasangan menggunakan balon. Sebelum itu aku ingin menceritakan bahwa aku adalah salah satu dari peniup balonnya. Yang aku dan Risma beli dipasar Kalijambe. Aku sempat meniup beberapa balon di ruang tamu rumah ibu kadus. Dan ada kejadian yang menggambarkan betapa aku digilai oleh seseorang bernama Jaim. Dia senang sekali ketika balon terakhir yang aku tiup tak jadi ku selesaikan dan aku letakkan diatas meja. Langsung dia ambil dan ditiupnya sambil berbicara,"Rasanya seperti berciuman denganmu Dev.."
Aku langsung keluar karena dipanggil oleh panitia lain dan disuruh bersiap-siap mengatur lomba. Meninggalkan Jaim yang masih tertawa. Disitu ada juga cowok-cowok lain termasuk Zen.
Di lomba joged berpasangan itu, panitia juga ikut berjoged ria diantara peserta sambil mengawasi. Waktu itu aku tidak ikut berjoged, aku hanya memegangi balon, dan berdiri disamping Risma yang berjoged dengan Rohma. Suasananya ramai. Lagu yang diputar adalah lagu yang sering muncul ditipi waktu itu, kalau nggak salah judulnya Buka Dikit Jos! Hahaha. Didepan, tepatnya dirumah mbak Novi, ada Bapak Edi yang mirip Cesar sedang joged ala Cesar juga. Ramai banget pokoknya. Sampai tak terasa tinggal ada dua pasang peserta yang masih bertahan. Memperebutkan juara pertama.
Ah, salah satu pasang peserta gagal. Balonnya lepas dan melayang jatuh. Gugur. Tiba-tiba seperti ada yang menarik tubuhku dan merangkul aku sambil berkata,"Awas!"
Aku tidak tahu ada apa. Setelah aku sadar ternyata sudah ada perang air warna-warni yang dibungkus plastik diatas lapangan. Aku sudah berada diteras samping rumah ibu kadus ketika itu. Dan aku lihat disampingku ada Zen yang bajunya basah kena air. Rupanya tadi dia yang menarik aku menjauh dari perang air itu dan melindungi aku biar tidak terkena air.
"Iki tradisine nek lomba, hehe.." dia berkata. Artinya (ini tradisi kalo ada perlombaan)
"Oh, aku ora ngerti Om," timpalku, yang artinya (oh, aku nggak tahu om)
Lalu dia pergi ketengah lapangan, ikut perang air, aku hanya menonton. Lalu setelah stok air yang didalam plastik habis, barulah perang usai. Kemudian dilanjut joged bersama seperti pada acara tipi YKS itu. Yang jadi komandonya tetap Bapak Edi yang mirip Cesar. Akupun ikut berjoged waktu itu. Hahaha.
Acara pada hari itu ditutup dengan masak dan makan mie instan bersama di rumah ibu kadus. Yang punya rumah sedang tidak dirumah, aku dengar suaminya sedang dirawat di Puskesmas. Kami yang cewek-cewek kebagian tugas memasak sementara yang cowok bersih-bersih lapangan. Ada aku, Risma, Rohma, Cicik, Mbak Anifah, Wahyu, Mut, Hikmah, dan Vivi. Kami memasak mie instant banyak sekali. Sehingga terpaksa numpang masak dirumah Zen juga yang kebetulan menyambung dengan rumah Mbak Nit alias Ibu Kadus. Setelah itu aku pulang. Capek rasanya.
"Terima kasih sudah berpartisipasi dalam kegiatan lomba hari ini.." itu SMS dari Zen.
"Iya, sama-sama.."
***
Sepertinya bulan Agustus tahun 2014 adalah bulan yang melelahkan bagiku. Selain sekolah, kegiatan organisasi IRAK juga harus aku jalani.
Sabtu, 16 Agustus 2014 masehi dan panas. Tadi disekolah ada acara lomba antar kelas. Aku ikut lomba estafet air. Dan hasilnya kalian nggak perlu tahu. Karena kelas kami juara. Hehe.
Dan rupanya di Daerah Istimewa Mlokolegi juga masih ada terusan lomba. Yaitu babak final lomba yang sudah dilakukan penyisihannya pada tanggal 15 Agustus kemarin. Final akan dimulai pukul dua siang.
"Bulek, sudah pulang sekolah?"
"Sudah daritadi om, ada apa?"
"Nanti kesini ya, ikut bantu lomba lagi.."
"Insya Allah, aku capek, mau tidur dulu ya.."
"Iya, tidurlah.."
Aku terbangun pada pukul tiga sore. Sholat ashar lalu mandi.
"Bulek Hid, jadi kesini nggak?" tanya Zen.
"Nanti ya Om Zen."
"Disini butuh bantuan untuk bungkusin hadiah, soalnya mau dibagi nanti malam.. Tolong ya."
"Disitu udah ada siapa aja?"
"Banyak, tapi masih pada ngatur lomba, yang bungkus hadiah cuma ada Vivi sama Ani.."
"Oh, aku datangnya nanti jam empat ya.."
"Kalo bisa sih secepatnya.." SMS dari Zen kali ini aku rasa tidak seperti biasanya.
"Iya.."
Akhirnya aku pergi ke sekretariat IRAK bersama bulek Siti dan anaknya yang kecil. Naik motorku. Bulek Siti nonton lomba, dan aku langsung masuk ke rumah sekretariat untuk segera ikut membungkus kado hadiah. Disitu ada Vivi, Ani, Hikmah, dan Zen.
Tak ada kalimat yang keluar dari mulut Zen yang aku harapkan untuk menyapaku. Dia sibuk menulisi kado hadiah itu sesuai jenis lombanya.
"Hid, tolong kui Vivi direwangi mbungkusi yo.." Zen berkata, yang artinya (Hid, tolong itu Vivi dibantu buat bungkusin kado).
"Iyo," jawabku.
"Kok nembe mrene?" tanya Zen yang artinya (kok baru kesini?)
"Kesel, bar bobok," jawabku yang artinya (capek, habis tidur)
"Oh yowis kene bae, ora usah terjun ngurusi lomba," kata Zen, artinya (oh, yaudah disini aja, nggak usah ikut urus lomba).
"He'em," aku mengangguk tanda mengiyakan.
Lalu aku ngobrol dengan Vivi.
"Koe awit mau Vi?" artinya (kamu daritadi Vi?)
"Iyo," jawabnya.
"Mau melu lomba nang sekolahan?" tanyaku, artinya (tadi ikut lomba di sekolah?). Kebetulan aku dan Vivi sekolah ditempat yang sama yaitu SMA N 1 Wiradesa.
"Iyo, melu tapi ora juara, hehe.." artinya (Iya, ikut tapi nggak dapat juara).
"Hehehe"
Tak terasa, waktu cepat berlalu. Lomba untuk anak-anak telah selesai. Hadiah pun hampir selesai dibungkus semua. Tiba-tiba Danang masuk, dan bicara pada Zen.
"Je, hadiahe ize turah pora?" kata Danang, yang artinya (Je, hadiahnya masing ada nggak?)
"Wah, entek Nang.. Wis lebokne kado kabeh, lah prye?" Zen menjawab, artinya (Wah, habis Nang.. sudah dimasukkan ke kado semua, kenapa?)
"Kui, Soni nambah ono lomba tarik tambang nggo ibu-ibu, pak kei hadiah opo yo?" kata Danang lagi yang artinya (itu, Soni nambah ada lomba tarik tambang buat ibu-ibu, mau dikasih hadiah apa ya?)
"Walah, kok mendadak temen?" timpal Zen, artinya (Walah, kok mendadak banget?)
"Nah iyo, aku be mangkliye bingung teo, duite wis ape entek, blonjokne sabun-sabun karo deterjen puo Je nggon lestari." titah Danang kepada Zen, artinya (lah iya, aku juga jadi bingung banget, duitnya sudah hampir habis, dibelikan sabun sama deterjen aja Je, di toko Lestari)
"Iyo,"jawab Zen.
"Kye duite, aku tak ngurus lomba tarik tambang kae wis ape mulai, cepet o Je," Danang berkata, artinya (ini duitnya, aku mau mengurus lomba tarik tambang itu mau mulai, cepet ya Je).
"Ok Pak Ketua!"
Danang keluar menuju lapangan. Zen berbicara padaku.
"Bulek, nggowo motor pora?" artinya (tante, bawa motor nggak?).
"Kontake nang bulek Siti," jawabku, artinya (kuncinya ada di tante Siti).
"Aku nggowo motor mas Zen," itu Wahyu yang berbicara. Artinya (aku bawa motor mas Zen).
"Yowis, njo melu aku blonjo, motormu parkire nang ndi?" kata Zen, artinya (Yaudah, ayo ikut aku belanja, motormu diparkir dimana?).
"Kui nang arep umahe mas Barudin," jawab Wahyu, artinya (Itu didepan rumahnya mas Barudin).
"Oh, njo mangkat," ajak Zen ke Wahyu, artinya (oh, ayo berangkat).
Akhirnya Zen dan Wahyu pergi belanja. Berboncengan. Aku dan Vivi masih duduk didalam rumah ibu Kadus, diantara kardus kado. Aku melihat lomba tarik tambang antar RT yang pesertanya ibu-ibu. Di RT tempat tinggalku yang ikut ada Mak Kutis, Mbah Narti, Mbah Talkiyah, Mbak Turah, dan istrinya Pak Tunas. Yang badannya besar, posisinya dibelakang, itu Mbah Narti sama Mak Kutis. Lomba itu lumayan membuatku senang, rame, lucu, dan menegangkan. Hehehe. Tapi sayang, RT ku kalah, jadi nggak dapet juara deh.
Lomba telah selesai, para penonton dan peserta mulai beranjak pergi meninggalkan arena perlombaan. Panitia sibuk membersihkan tempat lomba dan menata tempat. Mempersiapkan untuk keperluan tirakatan malam 17 Agustus nanti. Sekaligus pembagian hadiahnya juga nanti malam.
Zen dan Wahyu datang membawa belanjaan untuk hadiah, banyak, isinya macam-macam, langsung dibungkus sama panitia cewek. Untung sekarang sudah ada Risma dan Rohma, sehingga tugasku menjadi lebih ringan. Sementara panitia cewek yang lain ada yang sedang memasak mie instant di dapur. Untuk makan panitia.
Ternyata hari sudah mulai senja. Bulek Siti pun sudah pulang. Aku jadi tidak ada kendaraan untuk pulang. Aku bicara pada Risma.
"Mol, aku baline diter o?" artinya (Mol, aku pulangnya diantar ya?).
"Opo koe ora nggowo motor, Pol?" tanya Risma, artinya (emangnya kamu nggak bawa motor, Pol?)
"Digowo bulek Siti mau," jawabku, artinya (sudah dibawa tante Siti).
"Oh, tapi aku be ora nggowo motor ko, aku nggowone pite Tiwi, pit cilik, ora keno nggo boncengan.. Hehe" jelas Risma kepadaku. Artinya (oh, tapi aku juga nggak bawa motor kok, aku bawa sepedanya Tiwi, sepeda kecil, nggak bisa buat boncengan..).
"Ngko tak ter aku," kata Zen tiba-tiba sambil makan mie rebus, artinya (nanti aku antar).
Aku hanya mengangguk tak bersuara. Lalu terdengar suara adzan maghrib dari loud speaker masjid Desa Tegalsuruh. Aku, Risma, dan Rohma pun keluar untuk pulang. Panitia lain juga pada keluar, yang cowok malah pada nongkrong didepan rumahnya mbak Novi.
Aku berjalan dengan Rohma dan Risma. Posisinya Risma menaiki sepeda, aku dan Rohma ada dibelakangnya. Tiba-tiba Zen datang dari arah belakang, naik motornya, Revo hitam-merah. Berhenti disamping kami, tepat didepan gerbang mushola Al Amin.
"Njo, tak ter.." kata Zen, artinya (ayo aku antar).
"Kui Pol, cepet nompak, wis maghrib," kata Risma kepadaku, artinya (itu Pol, cepat naik, udah maghrib).
"Iyo Pol, aku karo Risma ape adus," timpal Rohma, artinya (iyo Pol, aku sama Risma mau mandi).
Akhirnya aku naik ke atas motor Zen. Dudukku menyamping, karena aku waktu itu memakai rok sekolah warna cokelat. Dibelakang, ada suara teriakan cowok-cowok yang meledek.
"Ciye ciyeee..."
"Suit suit.."
"Merdeka kiye Zen!"
Entah suara siapa saja itu. Tidak penting. Yang penting aku cepat sampai dirumah. Perasaanku was-was. Takut orang-orang sekitar dan nenekku tahu kalau aku pulang diantar Zen. Sebenarnya tidak apa-apa sih, kan cuma tetangga. Tapi mungkin aku yang terlalu berlebihan dalam menyikapi hal tersebut.
Akhirnya sampai juga. Aku turun. Zen berbelok dan berhenti sebentar. Tapi motor masih menyala dan dia masih diatas motor.
"Matur nuwun yo Om.." kataku, artinya (terima kasih ya Om..)
"Iyo," jawabnya.
Lalu dia pergi. Melaju diatas motornya. Sebentar aku memandangnya, yang memakai kemeja garis-garis biru kecil, tak dikancing, dipadu dengan kaos putih dan celana pendek robek-robek dipaha. Ah, senja itu. Aku masuk ke rumah. Dan itu adalah harinya, ketika aku pertama kali berboncengan dengan dia.
***
Malamnya sehabis maghrib. Ada SMS dari Zen.
"Nanti tolong datang ke acara tirakatan ya.."
"Insya Allah.." balasku.
"Biar aku minta Risma untuk menjemputmu nanti.."
"Iya," jawabku karena aku capek.
"Terima kasih sudah membuat ramalanku terjadi," katanya.
"Ramalan apa?" aku bingung.
"Ramalan tentang aku memboncengkan dirimu, Hid.."
"Hahaha.." tulisku, sambil mengingat-ingat.
"Sudah makan?" dia bertanya.
"Ini lagi maem.." jawabku.
"Selamat makan.."
"Iya, makasih.."
Lalu tak ada komunikasi lagi sampai waktu menjelang Isya. Aku dengar ada suara motor berhenti di depan rumah. Rumah nenekku.
"Assalamu'alaikum!.." itu suara Risma. Mungkin dia datang untuk menjemputku.
"Wa'alaikumsalaam.." jawabku dari dalam rumah sambil berjalan menuju pintu depan. Benar, itu Risma.
"Mrene mlebu ndisik Mol," kataku mempersilakan, artinya (sini masuk dulu Mol).
"Iyo, mono koe toto-toto, wis dinteni mas Zen, hehe," Risma berkata yang artinya (iya, sana dandan dulu, sudah ditunggu mas Zen, hehe).
"Hii, opo si Mol.." artinya (ih, apaan sih?)
Aku hanya ganti baju, dan memakai jilbab. Malam itu aku memakai baju warna pink dan juga kerudung pink, serta bawahan celana jins hitam model pensil. Malam ini adalah malam tirakatan atau malam untuk mendoakan arwah para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang diadakan setiap tanggal 16 Agustus malam. Lokasinya tetap dirumah Ibu Kadus. Karena beliau adalah kepala Dusun Kemplokolegi, dan juga kebetulan ada tempat yang luas untuk acara masyarakat.
Biasanya malam itu kami warga, membawa makanan atau bahan makanan ke tempat Kadus, yang nantinya makanan itu disajikan untuk orang-orang yang datang ke acara tirakatan. Ada juga nasi yang sudah disiapkan oleh Kadus. Karena ada acara makan-makannya juga. Selain acara doa tadi.
Sampai disana, sudah ramai orang. Aku dan Risma masuk lewat pintu depan. Ternyata didalam sudah ada panitia cewek lain yang sudah hadir dari Mlokolegi bagian utara. Selain itu juga banyak ibu-ibu, kebanyakan saudaranya Zen, karena memang disitu adalah tempat dimana keluarga besar simbahnya Zen berkumpul. Satu gang isinya satu keluarga besar. Tidak perlu aku menyebutkannya satu persatu. Capek.
Aku lihat Zen sedang melamun diluar. Aku SMS dia.
"Hem.." tulisku.
"Ada apa?" balasnya.
"Gi apa Om?" tanyaku.
"Ngobrol sama kelelawar.." jawabnya ngaco. Dia memang suka begitu.
"Kelelawarnya kenapa?" tanyaku mengimbangi.
"Galau, dicuekin temannya, kupu-kupu.."
"Kok bisa?"
"Iya, kupu-kupunya sibuk, jadi kelelawarnya dicuekin.."
"Yaudah, nanti kupu-kupu aku suruh ngobrol sama kelelawar.." kataku.
"Iya, emang kamu tahu siapa kupu-kupu dan siapa kelelawar?" dia bertanya.
"Enggak, hehehe.."
"Baiklah, hahaha.."
"Om, udah dulu ya.. Aku mau bantu ngeluarin minuman buat orang-orang," tulisku.
"Iya, bulek, terima kasih sudah mau membantu," balasnya.
"Sama-sama.."
Ya, tugas yang cewek malam itu adalah menghidangkan makanan, membagi hadiah lomba, dan terakhir mencuci piring dan gelas bekas dipakai acara. Tentunya aku juga terlibat dan akibatnya, pulangku jadi terlalu malam. Aku takut nanti dimarah nenekku karena pulang malam.
Waktu itu pukul sebelas malam, akhirnya aku pulang diantar oleh Risma dan Zen. Karena kalau Risma sendiri pasti takut pulangnya. Rumahku ada dipojok selatan Daerah Istimewa Mlokolegi dimana kalau kesana harus melewati kebun-kebun kosong yang banyak ditumbuhi pohon. Kalau malam jadinya menyeramkan. Sebaiknya tidak usah aku ceritakan. Karena aku sudah sampai dirumah, dan dibukakan pintu oleh Mbah Waisah. Diam tanpa bicara. Hanya mengucapkan terima kasih pada Zen dan Risma karena telah mengantar aku pulang.
Aku masuk kamar, dan tidak langsung tidur. Melepas kerudung dan mengganti baju dan celana. Jangan dibayangkan saat aku membuka baju dan celana. Setelah itu aku ke kamar mandi, pipis, cuci kaki, dan masuk ke kamar lagi. Merebahkan diri. Menarik nafas dalam-dalam dan kemudian mengucapkan.
"Selamat tidur juga, untukmu.." seperti aku mendengar ucapan selamat tidurnya kepadaku.
Senin, 18 April 2016
Baby Blossom
Chord Gitar Akb48 - Give Me Five (Easy)
GIVE ME FIVE !
Intro : G Bm Em C D G D Em C D
Verse I :
G Bm Em D
sakura no uta ga machi ni nagare
C G D
attoiuma datta wakare no hi
G D Em Bm
kousha no kabe no sono katasumi
C G D G
minna de kossori yosegaki shita
Bridge I :
C D
seifuku wa mou nugunda
Bm Em
haru no kaze ni fukarenagara
C D Bm Em
donna hana mo yagate wa chitte
C D
atarashii yume wo miru
Reff I :
G D
tomo yo, omoide yori
Em Bm
kagayaiteru asu wo shinjiyou
C G
sou, sotsugyou to wa
C D
deguchi janaku iriguchi daro
G D
tomo yo, sorezore no michi
Em Bm
susumu dake da sayonara wo iu na
C G
mata sugu ni aeru
C D G
dakara ima wa haitacchi shiyou
Verse II:
G Bm Em D
nanmai shashin wo totte mitemo
C G D
daiji datta mono wa nokosenai
G D Em Bm
kenka shite kuchi kiitenakatta
C G D G
aitsu to nazeka kata wo kundeta
Bridge II:
C D
mada daremo kaeranakute
Bm Em
kyoushitsu ga semaku mieru yo
C D Bm Em
nagorioshii jikan no saki ni
C D
bokura no mirai ga aru
Reff II :
G D
namida, koraeru yori
Em Bm
umarete kara ichiban naite miyou
C G
sou, tsurai koto wa
C D
mada mada aru naite okou ze
G D
namida, gushagusha no kao
Em Bm
miseattara nandemo hanaseru ne
C G
isshou no shinyuu da
C D G
wasureru na yo haitacchi shiyou
SOLO !!!
Reff III :
G D
tomo yo, omoide yori
Em Bm
kagayaiteru asu wo shinjiyou
C G
sou, sotsugyou to wa
C D
deguchi janaku iriguchi daro
G D
tomo yo, meguriaete
Em Bm
saikou datta seishun no hibi ni
C G
mada ienakatta
C D G
arigatou wo haitacchi de…
Minggu, 17 April 2016
Aishi Sugiru To.. by Atsuko Maeda
Umi wo nagamete itan da
Niwa no benchi ni suwatte
Ashi wo bura bura shi nagara
Soba ni keitai wo oite
Zutto chakushin matteta
Kitto anata wa isogashii no ne
Sonna watashi ni sari ge naku
Nami ga hanashi kakeru
Aishi sugiru to
Sono haato
Tsukarete shimau
Kata no chikara nukou
Aishi sugiru to
Ippou teki ni
Aite ni kitai shi sugite
Gakkari suru kamo…
Taiyou yukkuri ugo ite
Toki wa shizuka ni susunde
Mama no remoneedo nomi nagara Gohun mou sukoshi matte
Juppun mou sukoshi matte
Kuraku naru made matte shimatta
Kaze ga sukoshi samuku kanjite Shawaa abiyou kana
Setsuna sugiru ne
Ichi nichi ga
Konna mijikai Fukaku iki wo haite… Setsuna sugiru ne
Sugite yuku jikan
Kokoro wa kurushii kedo
Kirai janai kamo…
Donna koto mo
Hodo hodo ga ii
Ai wa itsumo
Tari nai kurai ga
Choudo iin da
Aishi sugiru to
Sono haato
Tsukarete shimau
Kata no chikara nukou
Aishi sugiru to
Shiawase na koto mo
Wasureru
Setsuna sugiru ne
Ichi nichi ga
Konna mijikai
Fukaku iki wo haite…
Setsuna sugiru ne
Sugite yuku jikan
Kokoro wa kurushii kedo
Kirai janai kamo…
Kamis, 14 April 2016
(sambungan dari LEBARAN TANPA SALAMAN) I.R.A.K.
Lebaran telah lewat. Tetapi suasananya masih melekat. Karena sempat tidak sempat, orang-orang masih ada yang makan ketupat. Serta malam harinya masih dihiasi letupan suara petasan dan kembang api, juga cahaya kembang. Malam ini pun aku sedang bermain kembang api dengan Zahra, anaknya Mbak Naroh. Tapi acaranya jadi terganggu karena pacarku menelepon dan Zen kirim SMS. Repot. Aku angkat telepon dari pacarku saja.
"Halo Assalamu'alaikum.." aku membuka percakapan.
"Wa'alaikumsayang.. hehe," itu pacarku yang berbicara. Sudah biasa begitu.
"Ada apa?" tanyaku.
"Cuma pengen ngobrol seperti biasa," jawabnya.
"Oh.."
"Gi ngapa sekarang?" pacarku bertanya.
"Lagi main kembang api sama Zahra.." jawabku sambil memegang kembang api.
"Oh, kayak anak kecil aja main kembang api.. Hehe," kata pacarku.
"Biarin, memang aku masih kecil."
"Sudah maem belum?"
"Sudah, tadi.."
"Pakai apa?"
"Pakai tangan, pakai sendok, pakai mulut.."
"Maksudnya pakai lauk apa?"
"Oh, pakai ayam.. Kamu sendiri lagi apa?"
"Lagi duduk aja didepan rumah."
"Sudah maem belum?"
"Belum," jawab pacarku.
"Kenapa belum?" tanyaku.
"Belum laper. Hehehe."
"Maem dulu sana biar nggak sakit.. Aku juga mau main kembang api lagi.."
"Iya.. Iya.. Yaudah, udah dulu ya.."
"Iya.. Daa.." aku berkata sambil menutup telepon.
Lalu terlihat ada dua pesan masuk dari Zen lagi. Aku baca.
"Terbuat dari apa Mlokolegi Pojok malam ini?" begitu tulisnya.
"Maksudnya?" aku bertanya karena memang bingung. Zen ini bahasanya kadang sulit dimengerti.
"Maksudnya, bagaimana gambaran tempatmu saat ini?" jelas Zen.
"Oh, bagus, rame.." jawabku singkat.
"Oh.."
"Bunder.. bagaimana ditempatmu Om?" aku bertanya, tentunya sambil memainkan kembang api punya Zahra.
"Malam ini kamarku terbuat dari sarang laba-laba, semut yang berbaris, suara cicak, dan aku yang sedang mendengarkan lagu-lagunya Green Day sambil SMS-an denganmu.." jawaban Zen panjang.
"Bikin puisi om? Hahaha.." aku tertawa karena keanehannya.
"Nggak, bukan.. Hehe," balasnya.
"Terus?"
"Kamu sedang apa sekarang?" dia bertanya. Obrolan SMS itu memang kadang tidak begitu nyambung.
"Lagi main kembang api sama Zahra.." aku menjawab.
"Zahra itu siapa?"
"Anaknya mbak Naroh.."
"Aku kira anaknya Harti, eh, bulek Harti.. Hehe.." aku rasa Zen keceplosan menyebut bulek Harti dengan nama Harti saja, mungkin karena usia bulek Harti lebih muda dari usia Zen, yang mungkin seumuran dengannya adalah Bulek Siti.
"Bukan.. kamu sendiri sedang apa om?" tanyaku.
"Aku tadi sudah bilang sedang diculik raja semut belum?" jawabnya asal.
"Belum kayaknya.."
"Yasudah, berarti aku sekarang sedang diculik raja semut, dan diajak berdiskusi, tentang kamu.." dia pasti sedang tidak serius, tapi aku suka, jadi aku tetap melanjutkan obrolan.
"Tentang aku?" aku bertanya pura-pura kaget.
"Iya, raja semut mengajak diskusi, apakah kamu ini manis atau tidak?"
"Lalu apa jawaban Om Zen?"
"Aku jawab saja bahwa kamu itu manis sekali.."
"Hahaha, ngarang.."
"Iya bener, jadi aku menyuruh raja semut itu pindah dari kamarku.. karena aku kalah manis denganmu.."
"Hahaha.. terus?"
"Raja semut bilang, dia nanti mau pindah ke kamarmu, disambut ya.."
"Hahaha, nggak mau.."
"Oh iya, aku juga titip pesan kepada raja semut, untukmu.." Zen berkata.
"Apa pesannya?" tanyaku penasaran.
"Jangan lupa ingatan, hehe.."
"Hahaha, udah gitu aja?" tanyaku, karena aku berharap ada kata-kata romantis dari dia.
"Iya, gitu aja.."
"Oh.."
"Eh, raja semut itu gila ya?"
"Gila? Nggak tahu maksudnya," aku bingung dengan pernyataannya.
"Iya, raja semut gila, masa ngajak ngobrol manusia?"
"Hahaha, om Zen yang gila, ngajak ngobrol semut.. Hahaha.." aku tertawa dibuatnya. Oleh pemikirannya yang tidak umum seperti orang lain.
"Ah, udah ah.. aku mau main PS dulu," kata Zen.
"Aku juga capek om, ngetik SMS sambil mainan kembang api.."
"Bersenang-senanglah.."
"Iya," balasku.
Malam itu aku bingung. Kenapa aku begitu peduli pada Zen dan mengabaikan pacarku? Ah, mungkin hanya perasaan bosan saja karena masa pacaran yang terlalu lama dan kebetulan Zen masuk disaat ini. Yang bisa aku jadikan tempat penghibur saat aku sepi dan merasa bosan.
***
Daerah Istimewa Mlokolegi, tanggal 2 Agustus 2014 masehi. Zen bilang padaku kalau dia ingin mengaktifkan lagi organisasi IRAK (Ikatan RemajA Kemplokolegi) yang saat itu dalam masa Vacum of Power alias mandek tidak ada kegiatan aktif. Dia cerita banyak kepadaku tentang IRAK. Sudah satu tahun organisasi ini terhenti, alasannya karena kegiatan Agustusan ada pada bulan puasa. Jadi tidak ada yang mau meramaikan. Secara tidak langsung hal ini mematikan organisasi yang diurus oleh pemuda Mlokolegi itu. Aku punya catatan rekaman percakapan dengan Zen lewat SMS tentang itu, walau pesannya sudah kuhapus, tetapi aku ingat. Walaupun tidak sedetail jika Zen yang mengingat.
"Hai bulek.."
"Hai juga, om.."
"Kamu, apa kabar?"
"Baik, kamu?"
"Aku selalu baik, gi apa?"
"Dikamar.. dengerin musik."
"Boleh aku bertanya?"
"Iya, boleh.. Apa?"
"Kamu di sekolah ikut organisasi?" dia bertanya.
"Iya, pernah ikut OSIS," jawabku.
"Menjabat apa?"
"Bendahara.."
"Bagus, aku mau mengaktifkan IRAK lagi, kamu ikut ya.."
"Insya Allah," jawabku.
"Biar rame kampung ini ada kegiatan.."
"Iya, om, aku juga dari dulu ingin ikut kegiatan di kampung, bosen dirumah terus, tapi aku malu dan nggak ada yang mengajak.."
"Kebetulan dong, yaudah nanti aku jadikan kamu pengurus, bisa ikut kumpulan kan?"
"Insya Allah bisa, kalau nggak sibuk.."
"Pinter.."
"Oh iya, nanti yang jadi ketua siapa? Kamu ya?" tanyaku.
"Hehe, aku sudah terlalu tua, dan juga sudah pernah, lagian untuk jadi ketua itu ada tiga kriteria yang harus dipenuhi yaitu Pinter, Kober, dan Bener.."
"Maksudnya?" aku masih belum paham.
"Iya, jadi ketua itu pertama harus Pinter, dalam artian tidak gampang dikendalikan anak buahnya dan juga bisa mengatur anak buahnya.."
"Terus?"
"Kober, artinya selalu bisa menyempatkan waktu untuk mengurus jalannya kegiatan dan hadir dalam acara musyawarah organisasi.."
"Terus apa lagi?"
"Yang terakhir bisa berperilaku bener, artinya bisa menjalankan amanah sebagai ketua dengan benar, tidak semena-mena, dan jujur.. Gitu, bulek paham?"
"Iya.. Iya.. Paham, hehe," kataku.
"Dan yang memenuhi kriteria itu untuk saat ini, menurut rembugan tidak resmi pada waktu ngumpul ngeteh dirumah Om Soni, sepakat untuk memilih Danang.."
"Alasannya apa?"
"Ya itu tadi, Pinter, Kober, Bener.. Pinter, Danang kan kuliah, sudah pasti pikirannya terbuka dan tidak gampang diatur anak buahnya.. Kober, jelas, kami semua tahu kalau Danang punya waktu senggang selalu dikampung, tidak merantau.. Bener, orang kalau duitnya banyak, itu nggak akan korupsi, malah kadang bisa nalangi dulu biaya operasionalnya.. Hehe," jelas Zen panjang lebar.
"Oh gitu? Kenapa nggak kamu aja? Kamu kan kuliahan juga, terus tidak merantau, dan menurutku kamu orangnya baik, nggak pernah bikin masalah.."
"Itu kan penilaian pribadi kamu, lagian aku sekarang sudah kerja di Pabrik Gula Sragi, jadi susah kober-nya.."
"Oh.."
"Tapi nanti tetap ada pemilihan secara voting pas kumpulan nanti.."
"Kapan kumpulannya?" tanyaku.
"Belum tahu, tunggu saja undangannya datang.."
"Oke," kataku.
"Kapan mulai masuk sekolah lagi?" Zen bertanya.
"Tanggal empat," jawabku.
"Oh, yang rajin ya, udah kelas tiga.."
"Iya, Om.."
"Sudah ya, aku mau istirahat, capek.." kata Zen.
"Iya, met istirahat, kamu.."
"Kamu juga.."
Itulah dialog antara aku dan Zen. Tentang IRAK. Aku rasa inipun termasuk peristiwa sejarah yang harus diketahui. Walaupun mungkin tidak penting bagi kalian.
***
Hari Kamis, tanggal 7 Agustus 2014 Masehi. Malamnya cerah. Harusnya aku ikut hadir pada acara pembentukan kembali Organisasi Ikatan RemajA Kemplokolegi malam itu karena aku dapat undangan. Tetapi aku tidak bisa hadir karena ada acara juga di rumah pak dhe Dono. Jadi, aku mengikuti rapat dari SMS yang dikirim Zen.
"Bulek nggak datang ke kumpulan warga dan remaja?" tanya Zen.
"Aslinya pingin Om, tapi disuruh anter nenek ke tempat pak dhe Dono," jawabku.
"Oh, yaudah, tapi nanti aku usulkan supaya kau jadi bendahara di IRAK," kata Zen.
"Memangnya kalau tidak hadir bisa dipilih?" tanyaku.
"Tenang, semua bisa diatur, karena pada dasarnya, setiap organisasi perlu ada seseorang yang membuat anggota lain semangat hadir mengikuti kegiatan, dan orang itu biasanya wanita, kebetulan kamu orang yang tepat karena sekarang kamu sedang menjadi bintang di Daerah Istimewa Mlokolegi.." Zen menjelaskan panjang lebar.
"Gimana ya?"
"Mau kan?"
"Emmm, aku takutnya nggak bisa selalu hadir pada saat kegiatan, karena selain sibuk sekolah dan kadang nganter mbah Waisah.."
"Tidak apa-apa, mau ya?"
"Iya deh.."
"Yaudah, nanti aku tunjukkan ini ke teman-teman sebagai bukti," Zen berkata.
"Tapi, yang ikut siapa aja? "
"Ya belum tahu, ini baru mau mulai rapatnya, udah dulu ya.."
***
Sembilan puluh tujuh menit kemudian, Zen SMS lagi. Hasil rapat pembentukan kembali organisasi I.R.A.K.
"Ketua : Danang
Wakil : Zen
Sekretaris : 1. Basuki 2. Wahyu
Bendahara: 1. Devi 2. Risma
Koordinator RT/RW
001/05 - Jumadi dan Mut
002/05 - Dayat dan Adi
001/06 - Sigit dan Cicik
002/06 - Ari dan Ahmad"
"Itu beneran Om?"
"Iya, bener, mulai sekarang kamu jadi bendahara I.R.A.K."
"Sama Risma?"
"Iya, sengaja kami pilihkan biar kamu mau, hehe.."
"Tadi apa nggak diprotes orang-orang? Kan aku tidak hadir.."
"Tidak, karena cewek-cewek lain yang hadir ada yang tidak mau dijadikan pengurus," jelas Zen.
"Tapi kan ada yang cowok yang bisa mengisi jabatan itu.."
"Yang cowok-cowok justru pada semangat dan setuju saat aku mengusulkan namamu untuk jadi bendahara.."
"Hahaha, masa sih?"
"Iya, bener."
"Tapi aku tidak janji bisa selalu hadir di kegiatan ya?" kataku.
"Tenang, aku pastikan kamu bisa hadir, hehe.."
"Kok bisa?" tanyaku.
"Jadwal rapat akan disesuaikan dengan waktu luangmu.." jawab Zen.
"Hmmm." tulisku.
"Udah selesai acara di tempat pak dhe Dono?"
"Sudah, ini sudah dirumah kok, hehe," aku menjawab.
"Aku tidak lihat kau lewat.."
"Om Zen tadi sibuk, aku lihat kamu kok.."
"Maaf ya, aku terlalu sibuk jadi tidak sempat memperhatikanmu, iya, aku sibuk dengan lingkungan sekitar, memastikan bahwa tidak ada yang mencoba mengganggumu.."
"Ngomong apa sih Om Zen, hahaha," kataku mencoba menetralkan hati yang baru saja dikejutkan oleh kalimatnya.
"Ngomong kamu, hehe," balas Zen.
"Om.."
"Apa? Oh iya, besok mulai menariki iuran khusus pemuda, untuk acara agustusan hari minggu nanti.. Kita cuma punya persiapan tiga hari untuk mengadakan acara perlombaan.." Zen menjelaskan.
Sebenarnya tadi aku mau ngomong penting dengan Zen, tetapi terpaksa aku tunda karena dia malah menjelaskan masalah agustusan. Inilah contoh ketidakpekaan cowok yang membuat rugi dirinya sendiri.
"Iya om, aku mau bobok dulu ya.. besok aku sekolah," kataku untuk mengakhiri obrolan lewat SMS malam itu.
"Selamat tidur mahluk bumi.." begitu tulis Zen.
Sebenarnya malam itu aku tidak langsung tidur, masih mendengarkan musik dan juga memikirkan macam-macam hal, sampai kira-kira jam sebelas malam. Dan tak sempat mengucapkan selamat tidur untuk dia. Untuk om Zen.
Bersambung ke BAB VIII..
Selasa, 12 April 2016
KOTAK KADO BIRU
Malamnya sedang bagus. Disebuah kafe yang sepi, terlihat tiga orang sedang duduk melingkar. Mereka adalah Dea, Ayu, dan Agus. Ada disana untuk merayakan ulang tahun ke-20 Dea secara sederhana. Diatas meja sudah ada kue tart ulang tahun lengkap dengan lilin angka 20 dan pisau pemotongnya. Didepan Dea ada segelas lemon tea, sama dengan yang didepan Ayu, lalu didepan Agus ada secangkir kopi dan sepiring roti bakar cokelat hangat yang baru dipesannya. Satu kursi lagi masih kosong karena Daru belum datang.
(Ayu dan Agus adalah pasangan pacar, begitu juga Daru dan Dea)
Ayu : De, Daru kok belum dateng sih? (sambil minum lemon tea)
Dea : nggak tahu, daritadi aku SMS belum dibales. (sambil memeriksa handphone)
Agus : mungkin lagi dijalan, bentar lagi juga nyampe.. tenang aja (melipat tangan didepan dada)
Ayu : tapi kita disini itu udah hampir satu jam, ini lemon tea gue udah mau habis (menunjukkan gelas berisi lemon tea)
Agus : Hahaha
Dea : Iya nih, gue khawatir kalau terjadi apa-apa sama Daru. (memainkan sedotan digelas minumannya)
Agus : ditunggu aja sebentar lagi, terus kita mulai acara tiup lilin dan potong kuenya.. sambil menunggu, mari kita santap dulu roti bakar ini kawan (makan roti bakar dengan gaya aneh)
Ayu : Lu bercanda melulu Gus (melototin Agus)
Dea : Coba gue telepon aja ya (memencet tombol handphone)
Ayu : Iya De, telepon aja.
Bunyi nada dering dihandphone Daru. Disuatu tempat yang jaraknya agak jauh dari kafe tadi. Daru sedang berjalan kaki.
Daru : Halo.. (mengangkat telepon)
Dea : Halo sayang, kamu udah sampai mana? Tadi aku SMS kok nggak dibales?
Daru : Ini udah deket kok, paling lima belas menit lagi nyampe.. Maaf, nggak punya pulsa, hehe (nafas Daru agak ngos-ngosan)
Dea : Suara kamu kok kayak orang kecapekan gitu? Kamu jalan kaki ya?
Daru : Iya, temen kos pada pergi semua, jadi nggak bisa pinjam motor.. Aduh, gerimis nih, teleponnya udah dulu ya sayang, aku mau lanjut jalan.. See you (Daru berjalan cepat)
Dea : Iya sayang, hati-hati, aku tunggu.. (menutup telepon)
Tiba-tiba hujan mengguyur daerah disekitar kafe tersebut. Hujannya deras.
Ayu : Gimana De, si Daru udah sampai mana?
Dea : Udah deket katanya, jalan kaki
Ayu : Hah? Jalan kaki? Ya ampun.. Kan jarak dari kosan dia kesini lumayan jauh..
Dea : Iya, katanya nggak ada yang bisa dipinjam motornya, temen-temen kos-nya pada pergi juga..
Ayu : Gimana kalau nyuruh Agus buat jemput dia? (melirik ke Agus)
Agus : Tapi, sekarang lagi hujan sayang, aku nggak bawa jas hujan
Ayu : huuh
Dea : Udah nggak apa-apa, nggak usah dijemput, bentar lagi juga nyampe.. Kita tunggu aja..
Dilain tempat. Hujannya semakin deras. Ditambah angin dan petir serta geledek. Rintik-rintik air hujan bagaikan jarum yang menari-nari diatas bumi. Bunyinya berisik.
Daru berlari menembus hujan. Berbelok masuk ke gubuk tukang tambal ban yang sudah tutup. Lalu duduk dibangku yang terbuat dari kayu. Meletakkan kado yang berwarna biru disebelahnya.
Daru : sial! Pakai acara hujan segala, jadi basah semua pakaianku, dingin pula.. (mengusap-usap rambut agar airnya sedikit hilang)
Lalu berdiri menuju pinggiran gubuk. Bersedekap. Kepalanya mendongak dan memperhatikan hujan yang turun dibawah cahaya lampu merkuri diseberang jalan. Kemudian berjalan menuju bangku kayu tadi sambil menggosok-gosok tangannya dan sesekali meniupnya. Daru kedinginan dan kecapean.
Dia duduk kembali dibangku kayu itu. Terbatuk. Nafasnya tersengal. Badannya gemetar kedinginan. Tangan kirinya meraih kado berwarna biru itu. Sedangkan tangan kanannya dia tiup untuk sedikit menghangatkannya.
Daru : ah, dingin sekali.. Hujannya belum reda.. Tapi aku harus ke tempat Dea.. Kado ini harus aku berikan ke Dea
Petir menyambar, dan suara geledeknya menggelegar.
Dea : aaaahhh! (ekspresi kaget mendengar bunyi geledek)
Ayu : Kenapa De?
Dea : nggak apa-apa, cuma kaget aja.. Semoga nggak terjadi apa-apa sama Daru..
Ayu : Iya De.
Agus : Iya, sebentar lagi pasti datang (menyeruput kopi)
Daru akhirnya nekat berlari lagi menembus hujan. Dalam dinginnya hujan dia berlari. Tetapi tiba-tiba dia menghentikan langkahnya. Menunduk. Memegang dadanya. Menjatuhkan kado berwarna biru yang dibawanya. Nafasnya tersengal-sengal. Asma Daru kambuh karena kedinginan dan kecapean. Dia berusaha mencari obat asmanya. Ternyata tak dibawa.
Dada Daru semakin sesak. Daru berlutut dijalanan yang tergenang air. Nafasnya sudah hampir habis. Sudah tak dapat berbicara. Daru tersungkur dijalanan. Dihujani ribuan jarum-jarum hujan yang menari diatas tubuhnya yang kini telah tak bernyawa.
Kado berwarna biru itu tergeletak disampingnya. Menemani jasad Daru. Dalam derasnya hujan. Malamnya menjadi berduka.
Jogjakarta, 13 April 2016 Masehi dan malamnya dingin.
Sabtu, 09 April 2016
(sambungan dari LAGU UNTUKMU) LEBARAN TANPA SALAMAN
Aku tidak jadi pergi bersama Zen, Risma, dan Sigit untuk jalan-jalan ke Kaliwadas hari ini karena tidak diberi izin oleh nenekku. Aku selalu menuruti apa kata nenek. Yang baik-baik. Harus. Karena aku tinggal bersama beliau dan juga dirawat oleh beliau. Jadi anggap saja menuruti ucapannya adalah sebagai ungkapan terima kasihku kepadanya.
Hari ini adalah hari dimana pasar ramai penjual kembang. Iya, mulai dari kembang segar, kembang api, sampai kembang desa kalau mau. Enggak ding, bercanda. Jadi ketularan Zen nih. Dan tentunya tradisi pasar kembang ini juga sudah ada sejak jaman dulu. Aku ingat dulu waktu kecil sering diajak ke pasar kalau sudah mepet lebaran begini dan biasanya nanti aku minta dibelikan kembang api pada ibuku. Ah, betapa lucunya waktu kecil dulu.
Sekarang aku juga sedang diajak nenekku ke pasar. Belanja. Beli sayuran, beli wadah ketupat, beli daging, dan tentunya kembang tujuh rupa yang adalah tujuan utamanya pergi ke pasar. Tapi aku tidak minta kembang api karena aku sudah besar. Kalaupun nanti kalian melihat aku mainan kembang api, itu bukan punyaku, tetapi punya anak kecil lain. Bisa anak tetanggaku, bisa anak saudaraku, bisa juga anakku nanti. Hehehe. Kalau sudah menikah.
Saat hampir lebaran begini, yang rame bukan cuma pasar kembang saja tetapi juga jalanan ramai, lebih rame dari biasanya. Mungkin akibat dari banyaknya orang mudik kali ya. Aku lihat banyak orang-orang yang tadinya jarang aku lihat dikampung, sekarang nongol. Dan tadi sewaktu aku berangkat mengantar nenekku ke pasar, disamping jalan juga banyak yang buka usaha dadakan TERIMA POTONG AYAM. Entah kenapa kalau mau lebaran begini orang suka banget pada nyembelih unggas seperti ayam, bebek, dan menthok. Aku nggak mau memikirkan itu, biar Zen saja yang memikirkannya karena memang dia suka memikirkan hal-hal yang orang lain tidak mau memikirkan.
Yang lebih rame adalah toko-toko baju dan mal-mal. Orang-orang pada berebut beli baju baru dan mencari diskon-an. Udah kayak semut merubung gula aja. Atau mungkin yang ada dalam pikiran orang-orang itu adalah bahwa ini lebaran terakhir mereka. Hehe.
Akhirnya, nenekku selesai belanja. Kami pun segera pulang. Tak ada yang istimewa hari ini. Karena aku dari pagi sibuk membantu nenekku. Paling tadi aku sepintas melihat Zen waktu dia sedang mencuci motor disamping rumahnya, di lapangan bulutangkis. Iya, kalau mau lebaran begini memang orang-orang juga jadi pada rajin bersih-bersih. Itu motor Zen juga mungkin dicucinya pas mau lebaran aja, setahun sekali. Hihihi.
"Rajin banget om.." aku SMS zen.
Beberapa jenak kemudian baru ada balasan. Mungkin baru selesai cuci motornya.
"Harus dong.. Eh, tadi ke pasar ya?" tanya Zen.
"Iya, nganter nenek, emang om Zen lihat aku?" aku balik bertanya.
"Nggak usah lihat pun, aku sudah apal suara motormu dan bau mu, hehe.. Tiap pagi kalo mau sekolah kan lewat depan rumahku.."
"Ah, om Zen.."
"Beli apa aja tadi ke pasar?" Zen bertanya.
"Banyak, ada kembang, ada sayur, daging, bungkus ketupat, dll." jawabku.
"Oh, nggak beli mercon?"
"Nggak, eh itu nyuci motornya yang bersih.."
"Udah selesai, bersih, wangi, berkilau.. Hehe"
"Hahaha, emang pakai apa nyucinya?"
"Ah, cuma pakai shampoo.. Hehe."
"Hahaha.. kayak iklan."
"Eh, udah dulu ya, sekarang giliran aku yang mau ke pasar, nganter mbak Nit.." kata Zen.
"Iya, om, hati-hati ya.." kataku.
"Iya.."
***
Senja itu pas maghrib, adalah buka puasa yang terakhir dibulan puasa tahun 2014. Aku menikmati buka puasa di Daerah Istimewa Mlokolegi. Dirumah nenek dari ibu. Nanti malam aku akan menghabiskan waktu tidurku di Tegal Suruh dirumah eyang dari Ayahku. Karena menurutku malam lebaran atau malam takbiran di Mlokolegi itu kurang rame khususnya di tempatku tinggal di Pojok Mlokolegi. Habis makan, aku sholat maghrib. Lalu pergi naik motor ke Tegal Suruh. Sendiri.
***
Selepas Isya. Suara takbir berkumandang dimana-mana. Suara bedug dipukul berirama mengiringi takbir. Pertanda hari lebaran. Hari kemenangan. Hari raya idul fitri.
Langit malam dihiasi letupan suara kembang api dan cahayanya yang indah. Ramai sekali malam itu dan kebetulan tidak hujan. Zen SMS aku.
"Jalan-jalan yuk.." begitu tulisannya.
"Aku sedang pergi.." balasku.
"Kemana?" dia bertanya.
"Tegal Suruh.." aku menjawab.
"Ngapain?"
"Dirumah eyang yang dari ayah.."
"Oh.. Aku kesitu ya?" pinta Zen.
"Jangan, nggak enak sama saudaraku disini."
"Oh gitu, nanti pulangnya jam berapa?" tanya Zen.
"Aku nggak pulang, tidur disini.. Disuruh eyang tidur disini.." jawabku.
"Yaah, padahal aku mau ngajak kamu ikut arak-arakan ini, rame disini.." dia berkata.
"Iya, tapi nggak bisa, karena aku menuruti perintah ayahku.."
"Disitu enak ya?"
"Iya, disini rame nggak kayak di Mlokolegi.. tapi kalau disuruh tidur disini sebenarnya agak nggak suka.."
"Emang, lokasinya dimana?" dia bertanya.
"Tegal Suruh bagian utara, gang paling utara yang depannya sawah-sawah, rumah paling pojok," jelasku.
"Tetap saja di pojokan.."
"Hahaha.."
"Besok berarti nggak sholat ied di Mlokolegi?"
"Besok aku pulang, habis sholat subuh.."
"Yaudah, selamat bersenang-senang disitu.. Aku mau bikin gambar ketupat tiga dimensi dilapangan bulutangkis.."
"Seperti apa itu om?"
"Gambar yang kalau difoto bisa tampak seperti benda yang berdiri padahal aslinya gambar datar.." jelasnya.
"Om Zen.."
"Apa?"
"Aku kagum padamu.." entah aku sadar atau tidak waktu menulis ini dulu.
"Kenapa kagum padaku?" dia bertanya.
"Kamu itu pintar, baik, dan wawasannya luas.." jawabku.
"Terima kasih.. Kalau begitu, aku juga kagum padamu.."
"Apa yang membuatmu kagum padaku?" tanyaku penasaran.
"Kamu cantik, baik, rajin ibadah, dan mau berteman denganku.. Oh iya, suaramu bagus pas baca qur'an.."
"Darimana kau tahu?" tanyaku.
"Aku dengar sendiri waktu pergi kerumah mak Kutis sehabis maghrib.. Waktu itu aku dengar kamu sedang mengaji.." jelasnya.
"Kamu yakin itu aku? "
"Yakin, karena aku hafal suaramu.. dan aku sempat berhenti sejenak diatas sepedaku untuk mendengarkanmu, tepat dibawah jendela kamarmu.."
"Hayoo, ngintip ya? Hahaha.."
"Nggak, hehe.."
"Om, udah dulu ya, aku diajak ngobrol eyang ni, nggak enak kalau mainan hape terus.." kataku.
"Oke.."
"Oh, iya, nanti aku dikasih lihat gambarnya kalau sudah jadi ya?"
"Iya, bulek.."
Dan malam itu aku tidur di Tegal Suruh. Kurang bisa tidur sebenarnya. Rindu kepada kamarku di Mlokolegi. Rindu nyamannya. Dan rindu seseorang yang tumben tidak mengucapkan selamat tidur untukku lewat SMS ataupun telepon. Mungkin dia sibuk menggambar. Tetapi aku tahu, dia pasti mengucapkan selamat tidur untukku dari situ. Iya, aku tidak mendengar, tapi aku juga mengucapkan selamat tidur untuknya. Besok kita ketemu.
***
Subuh, aku bangun. Sholat. Lalu pamitan pulang ke Mlokolegi. Suara takbir masih berkumandang di masjid-masjid, udara dingin mengiringi perjalananku pulang, pagi itu dingin. Aku memakai sweater. Karena aku punya. Dan sepertinya pagi itu orang-orang sudah mulai beraktivitas. Aku sampai dirumah nenekku di Mlokolegi. Langsung mandi dan mempersiapkan perlengkapan sholat ied di Masjid Darussalam. Aku berangkat ke masjid kira-kira pukul setengah enam, bersama mbah Waisah, bulek Harti, mak Kutis, dan mbak Naroh. Ketika kami lewat didepan rumah Zen, pandanganku mencari dirinya, hanya ingin melihat. Tapi tak ada, hanya ada saudara-saudaranya. Sampai di Masjid Darussalam, sudah ramai orang. Jamaah laki-laki ada dibarisan depan yaitu didalam bangunan masjid sedangkan jamaah perempuan ada dihalaman masjid. Tapi tetap saja tidak muat sehingga sebagian ada yang dihalaman rumah orang dan ada yang dijalanan.
Sekitar pukul enam lewat sedikit. Aku melihat Zen baru datang ke masjid. Dia memakai sarung kotak-kotak berwarna cokelat dan baju koko putih serta memakai peci hitam. Wajahnya segar seperti habis wudhu tapi tetap jelek. Hehehe. Dia tidak kebagian tempat dibagian masjid, jadi dia ada dihalaman rumah orang. Duduk bersama jamaah lain diatas tikar.
Adegan sholat ied menurutku tidak usah diceritakan. Lewati saja. Langsung ke adegan aku pulang. Ramai sekali orang-orang berjalan kaki sehabis dari masjid. Ada yang ngobrol dan bercanda. Biasanya para anak cowok itu ngobrolnya keras banget sambil bercanda dijalan. Ah, aku jadi rindu suasana lebaran.
Pas lewat didepan rumah Zen lagi, aku melihat gambar ketupat yang dia buat tadi malam, yang katanya seperti tiga dimensi. Tapi aku melihatnya dari jauh, yang aku tahu hanya ada gambar ketupat besar dilapangan bulu tangkis samping rumah Zen. Ah, biarlah.
Setelah sampai dirumah nenekku, aku langsung melepas mukena dan menggantungnya ditempat mukena. Lalu aku berganti pakaian dengan baju lebaranku. Baju baru. Berjilbab. Kemudian mengeluarkan toples-toples berisi kue ke meja ruang tamu. Berikutnya aku sungkem kepada nenekku dan mohon maaf lahir batin. Lalu bersalam-salaman ke rumah mbah narti dan rumah-rumah tetangga sekitar, seperti Mak Kutis, Mbah Talkiyah, dan Mak Darinah.
Aku agak sedih juga, karena ibuku tidak pulang diwaktu lebaran ini. Ibuku pulangnya nanti sehabis lebaran. Katanya sekalian mau hajatan, khitanan adikku, Agung, yang ikut ibu ke Jakarta. Aku hanya bisa mohon maaf lahir batin lewat telepon. Aku sedikit meneteskan air mata.
Oh iya, aku juga menerima ucapan selamat hari raya idul fitri dari Zen lewat SMS. Begini.
"Entah mengapa, kalo mengarang kata-kata untuk acara seperti lebaran ini, kok sulit ya, aku ga bisa seperti yang lain yang punya kalimat-kalimat kreatif untuk meminta maaf, mungkin karena aku ga suka basa-basi, intinya kalo aku salah ya aku minta maaf aja gitu.. maafin aku ya.. ZEN ARMSTRONG yang BELUM BERKELUARGA."
Aku balas,"Nggak usah pakai yang belum berkeluarga juga kali om, hahaha.."
"Selamat lebaran ya, mohon maaf lahir batin.. Dari aku, Zen, untukmu, Hid.." tulisnya lagi.
"Iya, om, aku juga minta maaf ya.." balasku.
"Iya, bulek.."
Habis itu aku pergi sungkem ke rumah eyang Tegal Suruh. Aku cuma sebentar disana. Cuma salam-salaman, icip-icip kue, dan minum sirop. Karena saat itu aku di SMS Zen bahwa dia ada di rumah nenekku yang di Mlokolegi untuk mau salaman dengan aku.
"Aku mau ketempatmu, mau salaman denganmu.."
"Aku nggak di Mlokolegi," balasku.
"Dimana?" tanyanya.
"Di Tegal Suruh.." jawabku singkat.
"Kapan pulangnya?"
"Sebentar lagi.." aku berkata.
"Oh, ini aku rame-rame sama teman-teman.. Sudah hampir sampai dirumah Mbah Waisah.." kata Zen.
"Aku sebentar lagi pulang.."
"Iya.."
Aku pulang ke rumah Mbah Waisah, tapi ternyata sudah tidak ada Zen. Mungkin dia sudah lewat. Lalu aku cek HP, ada pesan.
"Aku melihatmu.. baru pulang.."
"Iya.."
"Aku sudah sampai dirumah Dhe Sindon," kata Zen.
"Hahaha.. salamannya ntar aja ya.." kataku.
"Oke, nanti malam.." katanya.
"Iya, tapi kalo mau kesini jangan sendirian, ajak Risma.." ancamku.
"Kenapa?"
"Aku nervous kalo harus menemui kamu sendirian.."
"Waduh, nggak usah nervous, aku juga enggak kok, hehe.."
"Om Zen mah malah seneng ketemu aku. Hahaha.."
"Iya, dong.. Nanti malam aku datang.." janjinya.
"Bareng Risma, kalo nggak sama Risma, aku nggak mau nemuin, hehe.." aku mengancam lagi.
"Iya, nanti aku ajak Risma.."
"Sekarang sedang apa om?" aku bertanya.
"Sedang main mercon bawang.. Hehe," jawabnya.
"Apa itu mercon bawang?" tanyaku penasaran.
"Ini, mercon yang kalo dibanting jadi meledak, bentuknya kecil, jadi aman walaupun diarahkan ke baju orang lain sampai meledak.. Kamu mau?"
"Mau apa? Mainan mercon bawang? Ogah ah.." aku bertanya sendiri dan menjawab pertanyaanku sendiri.
"Bukan, maksudnya kamu mau dilempar mercon ini nggak?"
"Ah om Zen..tetep enggak, hahaha.."
"Nanti sore aku datang habis maghrib ya.."
"Jangan, habis Isya aja, biar tetangga udah sepi.." pintaku.
"Iya deh.." jawabnya.
Hari itu kegiatannya biasa saja. Aku hanya menerima telepon dari pacarku dan kirim-kirim pesan dengan teman-temanku.
***
Hari sudah menjelang malam, dan aku semakin deg-degan, karena Zen janji mau datang. Aku sengaja minta agar Risma datang dulu ke tempatku. Untuk jaga-jaga. Aku bener-bener nervous. Tiba-tiba ada pesan dari Zen.
"Maaf, sepertinya aku agak telat, aku sedang di Muncang, tempat temanku.."
"Iya, nggak apa-apa.." balasku.
"Risma aku SMS tidak terkirim, gimana nih? Aku datang sendiri aja ya?"
"Nggak boleh, hehehe."
"Ah, boleh dong.."
"Enggak, weeek!"
"Ah, pelit, masa mau silaturrahim nggak boleh.."
"Hehe, eh, ini Risma udah disini.. Om Zen kalau mau kesini cepetan ya.. Nanti Risma keburu pulang," kataku.
"Aduh, nggak bisa sekarang, lagi ada acara disini.. suruh Risma menunggu, hahaha.."
"Lihat gimana entar, aku mau ngobrol sama Risma dulu.. daa"
Malam itu aku ngobrol bersama Risma sampai jam setengah delapan malam. Tapi suasananya kayak udah jam sepuluh malam, sepi banget. Maklum dikampung. Zen belum datang. Padahal aku sudah mulai mengantuk. Akhirnya Risma pulang, dan aku bersiap-siap masuk kamar ketika tiba-tiba ada pesan dari Zen.
"Risma masih disitu?" dia bertanya.
"Udah, barusan." jawabku ketus.
"Aku sudah sampai Tegal Suruh, aku ketempatmu ya?"
"Nggak boleh, nggak sama Risma. Wek!" aku kesal.
"Nanti aku minta Risma menemani aku ketempatmu," katanya.
"Nggak bakalan mau dia, tadi habis dari sini, katanya dia ngantuk mau tidur.."
"Terus, aku nggak jadi salaman sama kamu?"
"Nggak, aku juga sudah ngantuk mau bobok.."
"Oh, gitu.. yaudah, nggak apa-apa, aku langsung pulang kerumah aja, kamu istirahat ya.."
"Iya, terima kasih.."
"Jangan lupa.." katanya.
"Iya, aku tahu kok.."
"Apa?" dia bertanya.
"Jangan ingat aku, kan?" jawabku.
"Pinter.."
Itulah harinya, dimana aku tidak bersalaman dengan orang yang selalu membuatku merasa terganggu dengan tingkahnya. Padahal itu hari lebaran. Hari raya idul fitri. Dimana seharusnya saling bermaaf-maafan sambil bersalaman. Kembali fitri, suci, bersih dengan saling memaafkan dan bersilaturrahim.
Maaf, om Zen, mungkin kamu kecewa denganku karena aku tidak mau kau temui sendirian. Aku takut, ada tetangga yang melihat dan mengira yang tidak-tidak. Dan aku juga nervous, aku belum pernah didatangi seorang cowokpun ke rumah, termasuk pacarku. Maaf, waktu itu.
Mungkin lebaran tahun depan kita bisa salaman. Hehehe.
Bersambung...