Jumat, 01 Mei 2020

PECEL BINGUNG

PECEL BINGUNG

Benar. Aku sedang duduk di atas trotoar yang terdapat di samping luar gerbang masuk area Taman Budaya Yogyakarta. Biar apa? Biar kalian tahu kalau aku sedang kesepian dan butuh teman untuk diajak duduk berdua. Itu saja. Dan aku sedang menunggu Pinky (bukan nama samaran) yang malam itu sudah aku suruh untuk datang menemui aku di pusat kota Jogja. Pinky mau. Harus mau. Karena aku sudah menyuruh tukang ojeg online untuk menjemputnya dan memboncengnya untuk dibawa kepadaku. Menyebabkan aku menjadi seperti bos penculik yang menyuruh anak buahnya untuk menculik seseorang. Lalu yang diculik itu jatuh cinta pada penculiknya. Seperti yang disebut, apa itu namanya, alaaah.. Stockholm Syndrome. 

TBY. Itu adalah singkatan dari Taman Budaya Yogyakarta jika kamu belum tahu. Malam itu banyak sekali orang yang datang kesana. Karena ada pertunjukkan Kethoprak dengan judul HANTU EMOH KORUPSI yang dimainkan oleh Dagelan Mataram. Gratis. Makanya banyak yang mau nonton. Ya, jika kamu hidup dan tinggal di Jogja. Kamu akan sering mendapati tontonan-tontonan kesenian dengan percuma. Percuma yang ku maksud itu adalah kosa kata bahasa Malaysia kalau dalam bahasa Indonesia artinya Gratis. Kalau dalam bahasa Polandia sih aku nggak tahu. Tidak masalah, karena tidak ada orang Polandia yang baca tulisan ini. Biarin aja.

Itu Pinky sudah datang. Dibonceng abang ojeg yang seragamnya hijau. Membuat aku harus berdiri dan mengeluarkan sejumlah uang sebagai bayaran yang harus diberikan kepada abang tukang ojek yang sudah dengan senang hati mengantarkan dia kepadaku. Dia, yang kumaksud adalah Pinky. Mengenakan kerudung berwarna biru dongker, kaos berwarna apa ya? Aku lupa. Yang dilapis dengan kemeja berwarna putih yang sengaja tidak dikancingkan. Celana jins biru model cutbrai yang ujung bawahnya sudah digunting-gunting biar dibilang keren oleh teman-temannya yang mahasiswa dan mahasiswi. Dan sandal bulu-bulu berwarna pink, biar ada hubungannya dengan namanya, Pinky. Oh itu dia juga memakai tas slempang kecil yang berfungsi untuk menyimpan handphone-nya sekaligus sebagai aksesoris, atau hanya dipakai untuk pegangan tangan agar dia tidak bingung mau pegang apa ketika sedang berjalan, duduk, berdiri, dan ngomong. Coba amati cewek-cewek. Jika kalian sempat. Perhatikan, mereka akan mati gaya ketika tangannya tidak menemukan sesuatu untuk dipegang.

Oh! Itu kami berdua sudah mulai bercakap-cakap. Di depan TBY (Toko Buku Yasmin) Disaksikan Pak Satpam TBY (Tugiyo Bambang Yudhoyono) yang sedang menjaga area TBY (Taman Budaya Yogyakarta). TBY semua. 

"Ada apa?" Tanya Pinky.
"Ada aku di sini.." jawabku.
"Nggak, maksud ku, kenapa tiba-tiba minta aku menemui kamu?" Sambungnya.
"Pingin ketemu aja.."
"Oalah, iya.."
"Mau nonton ketoprak nggak?" Tawarku.
"Emang ada?" Dia malah balik tanya.
"Ada, itu rame banget yang mau nonton.."
"Nggak usah ah.."
"Ok deh.." aku berusaha untuk menjadi manusia yang normal ketika tidak bilang,"ketoprak kan enaknya di makan."
"Sekarang mau kemana?" Pinky bertanya padaku. Karena memang cuma aku yang sedang duduk di sampingnya.
"Nggak tahu mau kemana.." jawabku.
"Lah gimana sih?"
"Yaudah, ke Nol Ka-eM aja yuk.." ajakku. For your information yang sering disingkat FYI. Nol Ka-eM adalah sebutan untuk sebuah wilayah di pusat kota Jogja yang sering dijadikan tempat nongkrong orang-orang yang kebetulan tinggal di Jogja. Adalah ujung selatan dari Jalan Malioboro yang kesohor itu. Ada bangunan Monumen Serangan Umum Satu Maret dan Benteng Vredeburg di sisi Timur Jalan. Kemudian ada Gedung Agung Kepresidenan di sebelah Barat jalan. Banyak bangku dan tempat duduk yang dengan sengaja disediakan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta untuk orang-orang yang datang ke sana. Terimakasih.
"Yuk lah.." Pinky setuju.

Kami berjalan ke arah Selatan. Diatas jalanan yang terbuat dari conblock, sepanjang jalan Sri Wedhani. Melewati pasar buku yang dikenal dengan sebutan shopping, melewati masjid, melewati penjual mie ayam, melewati penjual bakwan kawi, melewati penjual wedhang ronde, melewati tukang parkir, melewati kelelawar yang sedang terbang, melewati mobil yang sedang diparkir, melewati motor yang sedang dikendarai dan juga diparkir, melewati tukang becak hingga sampai di ujung jalan. Kemudian kami harus belok kanan. Menuju ke arah Barat. Melewati driver ojek online yang sedang berkerumun sambil ngobrol. Melewati halte bus Trans Jogja yang berwarna hijau dan kuning. Melewati Taman Pintar. Melewati penjual bakso yang di dekat gerbang Taman Pintar. Melewati mesin-mesin ATM yang ada di dekat gerbang Taman Pintar. Melewati penjual batu akik, melewati penjual poster, melewati penjual pigura, melewati penjual aksesoris, melewati penjual bakpia asongan, melewati penjual kaos, melewati pojokan Benteng Vredeburg, melewati tong sampah, melewati orang pacaran, melewati petugas Dinas Perhubungan. Banyak lagi pokoknya, yang kalau ditulis semua bikin aku jadi capek.

Aku berjalan dengan Pinky dengan sedikit obrolan. Aku pun lupa dengan apa yang diomongkan. Karena saat itu fokus ku bukan untuk ngobrol atau diskusi atau debat atau komunikasi verbal yang lain. Tapi murni bahwa aku hanya ingin bertemu dan ditemani untuk berjalan kemudian duduk, menikmati malam yang bertanggal 29 Januari dan sedang Rabu. Cerah dengan sedikit angin. Kami pun duduk di bangku yang dikhususkan untuk duduk berdua. Banyak tersedia disana. Tapi kadang kalau sedang ramai wisatawan, kamu harus rela antre untuk dapat duduk disana. Tapi sebenarnya bangku itu bisa untuk duduk berempat, berlima, berenam, bertujuh, berdelapan dan seterusnya kalau kalian mau duduk bertumpuk sampai ke atas. Tapi kukira kalian pasti tidak mau melakukannya. Karena selain susah juga kamu pasti malu.

Ya, kami berdua hanya duduk saja. Benar-benar dengan sedikit obrolan. Malah lebih sering saling diam. Dan membuat orang-orang yang lewat akan punya pertanyaan dalam kepalanya masing-masing.
Itu lagi marahan kali ya?
Mereka berdua pacaran nggak ya?
Pacaran kok nggak ngobrol?
Suami istri bukan ya?
Kasihan itu istrinya, dapat lelaki jelek
Eh ada yang pacaran disana
Gantian dong tempat duduknya
Kira-kira kalau ditawari minuman mau nggak ya?
Kayaknya mereka cuma temenan deh
Itu kakak adek kok nggak mirip?
Eh lihat yang cewek sendalnya lucu
Eh ada cowok tuh tapi pacar orang lain
Mereka pasti bukan orang sini
Aku bisa merebutnya
Biarkan saja. Mereka bebas untuk berfikir dan bertanya-tanya. Sampai akhirnya aku berbicara pada Pinky.
"Pulangnya aku antar ya Pink.."
"Iya.. eh, tapi, emang kamu bawa motor?"
"Enggak.."
"Lah, terus nganternya pakai apa?"
"Mobil dong.."
"Serius?"
"Itu.. Trans Jogja.. Haha.."
"Hahahaha.."
"Enggak, nanti ambil motor orang.. Hahaha.."
"Hahaha.. nyolong dong?"
"Yuk, ke RAMAI Mall dulu.. ambil motor.." ajakku.
"Beneran nih?"
"Udah ayuk ikut aja.."
"Oke deeh.."
Berjalanlah kami berdua ke arah Utara. Kali ini tidak akan aku sebutkan melewati apa saja karena bisa menyebabkan tulisan ini menjadi sampai beribu-ribu halaman jika dituliskan semua. Padahal cuma cerita pendek. Tapi bagus juga sih kalau misalnya terjadi betulan. Ada cerpen dengan halaman terbanyak di dunia. 

"Kamu tunggu di sini dulu Pink.." aku meminta Pinky untuk menunggu di dekat ATM yang ada di luar mall. Dekat dengan tukang becak yang sedang mangkal. Itu aku berkata setelah kami sampai di RAMAI Mall.
"Oke siap."
Aku masuk ke dalam. Menemui Andi, temanku yang punya usaha Rental Mini Car di dalam Mall. Sebentar. Kemudian keluar menuju tempat parkir di samping mall. Mengambil motor milik Andi beserta helmnya yang berwarna merah dengan gambar logo klub sepakbola Real Madrid. Menyalakannya. Melewati penjaga pintu parkir sambil bilang, "Mengko balik ndene neh.." itu aku berbicara dengan bahasa Jawa yang artinya: Nanti kesini lagi.. Sebagai tanda biar tidak usah bayar. Maksudnya bayarnya nanti setelah jam kerja Andi selesai. Kebetulan aku juga kenal tukang parkirnya.

Aku menemui Pinky yang masih setia menunggu. Ya, pada hakikatnya, cewek itu memang suka menunggu. Menunggu di tembak. Menunggu di lamar. Menunggu di ajak. Menunggu di lain sebagainya.
"Ayo Pink, naik.."
"Motor siapa ini?" Pinky bertanya.
"Motor Andi.."
"Oh.. Hehe.. Aku kira nyolong beneran.."
"Enggak lah.. Dosa kalo nyolong mah.. nanti masuk neraka.."
"Hahaha.." entah kenapa Pinky tertawa, padahal nggak ada yang lucu. Atau Pinky sengaja biar aku merasa berhasil melucu. Jadi dia tertawa hanya untuk menghormati usahaku saja. Mudah-mudahan iya.
"Karena helmnya cuma satu, kita lewat jalur aman saja.."
"Oke deeh.."
Kupacu motor Andi yang bunyinya lumayan bikin budeg telinga. Bergerak ke arah Timur. Menyeberangi Jalan Malioboro yang ramai untuk masuk ke Gerbang Kampung Ketandan yang khas daerah Pecinan. Itu letaknya di sebelah Utara RAMAYANA Ketandan (di Malioboro ada dua RAMAYANA, yang satu letaknya di Sosromenduran). Aku, Pinky, motor Andi dan Malaikat Raqib dan Atid melaju sepanjang jalan Kampung Ketandan, diperempatan yang ada patung Dewa Anjing itu kami lurus saja ke arah timur. Sampai ke Hotel Melia Purosani kami belok kiri. Benar-benar harus belok kiri kalau tidak mau menabrak pagar besi milik Hotel Melia Purosani. Hingga kami berada di jalan Suryatmajan untuk kemudian belok kanan melewati perempatan yang ada lampu merah, kuning, dan hijaunya. Harus menunggu beberapa detik untuk bisa melanjutkan perjalanan. Lurus menuju ke arah Timur melewati jembatan kali Code cabang Juminahan. Ya, sekarang kami ada di Jalan Juminahan untuk terus maju mendapati perempatan yang ada lampu merah, kuning, dan hijaunya lagi. Tapi ketika itu lampu sedang hijau dan kami lurus saja hingga berada di Jalan Bausasran. Jangan berhenti, karena perjalanan masih panjang. Angin membelai perjalanan kami. Ya ampun. Ada perempatan lagi. Ada lampu merah, kuning, dan hijaunya lagi. Berhenti sebentar kalau kamu tidak ingin ditabrak kendaraan lain. Jalan lagi ketika lampu sudah menyala hijau. Untuk melaju lurus terus melewati Jalan Gayam. Aku juga kenal tukang parkir yang ada di jalan Gayam, namanya Ari Wibowo. Nggak penting ya. Oke. Lanjut lagi. Ah itu Stadion Mandala Krida ada disamping kiri kami, berarti kami ada di Jalan Kenari dan ketika bertemu perempatan kami memilih belok kanan untuk melewati Jalan Cendana. Lihat itu di sebelah kiri kami ada GOR AMONGRAGA. Kami terus melaju di atas motor Andi yang tanpa lampu. Adegan berbahaya jangan ditiru. Untungnya Jalanan di kota itu banyak lampunya sehingga masih bisa lihat kondisi jalan. Akhirnya sampai di pertigaan. Kami harus belok kiri tidak usah menunggu lampu hijau. Karena ada tulisan BELOK KIRI TERUS WAE artinya Belok Kiri Jalan Terus. Menyebabkan kami ada di Jalan Kusumanegara. Kami melaju di atas motor dengan sedikit obrolan. Karena sudah kubilang dari awal. Aku hanya ingin bertemu dan ditemani. Tak terasa sudah melewati pertigaan yang ada lampu merah, kuning, dan hijaunya di daerah Glagah Sari. Tapi kali ini rambu-rambunya bertuliskan LURUS JALAN TERUS. Kami menurut saja karena tujuan kami memang untuk lurus.
"Pinky.. tolong.." itu aku yang bicara.
"Tolong apa?" Pinky bertanya.
"Lambaikan tangan kananmu.. Kita mau nyebrang ke kanan.." ternyata selain tanpa lampu utama, motor Andi juga tidak dilengkapi lampu sein dan klakson.
"Oke.. Siap grak!" Pinky melambaikan tangannya persis kenek bus antar kota antar propinsi memberi kode kemana motor kami akan bergerak.
Itu adalah pertigaan tanpa lampu. Di depan Swalayan Pamela Satu (Pamela ada banyak, disebut dengan memberi tambahan angka di belakangnya). Kami bergerak dibawah langit malam kota Jogja dan diatas aspal Jalan Prof. Dr. Soepomo yang nanti jika lurus terus akan bertemu dengan Kampus Tiga UTY (Universitas Teknologi Yogyakarta) dan Kampus Tiga UAD (Universitas Ahmad Dahlan). Tapi kami berhenti di pinggir jalan. Untuk apa? Ya, kami mau makan dulu. 

"Makan dulu ya Pink.." kataku.
"Iya.." jawab Pinky.
"Dimana?" Tanyaku.
"Di situ aja, yang nggak terlalu rame.. Nggak usah ngantre.."
"Baiklah"
Itu adalah sebuah warung makan yang berupa tenda di trotoar jalan. Ada tulisannya AYAM GORENG, BEBEK GORENG, LELE GORENG, BURUNG DARA GORENG, NILA GORENG. Namanya aku lupa. Nggak penting juga nama penjualnya siapa. Yang penting itu tadi, bertemu dan ditemani. Dan yang jelas aku malam itu memakan nasi dan ayam goreng dan diakhiri dengan minum air jeruk hangat. Sedangkan Pinky makan nasi dan lele goreng dan diakhiri dengan minum air teh hangat. Kami makan dengan tidak saling bicara karena. Pertama aku ingat sebuah lagu anak-anak yang liriknya, "makan jangan bersuara". Mungkin termasuk jangan ngobrol juga. Kukira. Kedua, aku pernah melihat warung makan bernama PLATO (di dekat Kampus UIN SUNAN KALIJAGA) semboyannya begini, "Makan dulu, baru mikir". Mungkin termasuk bicara juga. Kukira. Dan aku takut ketika sedang makan sambil berbicara kemungkinan lidahku bisa tergigit. Mungkin. Kukira. Sudah itu aku bayar apa-apa yang aku dan Pinky makan tadi. Lalu mengambil motor yang diparkir di samping warung. Ada rombongan keluarga yang sedang makan di atas tikar yang digelar di atas trotoar. Itu biasa disebut lesehan. Melihat kami. Kami yang dimaksud adalah Aku, Pinky, dan Motor Andi. Karena mereka tidak bisa melihat Malaikat Raqib dan Atid yang ikut dipundak kami. Seperti hal nya aku juga tidak bisa melihat ada Raqib dan Atid yang ada di pundak mereka. Mungkin mereka sedang berfikir.
Kasihan itu ceweknya cuma diajak makan di pinggir jalan
Super sekali cewek itu mau diajak hidup susah, naik motor butut, nggak pakai helm, makan seadanya, cowoknya nggak ganteng lagi
Cowok itu pakai pelet apa ya?
Itu pasti yang bayar makanannya tadi cowoknya
Ah. Kenapa aku jadi terlalu banyak prasangka? Ayo kita lanjutkan misi mengantarkan Pinky pulang ke kost sebelum jam sepuluh malam. Jalan menuju kost Pinky tidaklah mudah, banyak sekali berbelok-belok sampai aku bingung nanti pulangnya lewat mana. Yang jelas itu masih daerah Warungboto. Dan itu kost khusus wanita. Aku nggak boleh nginep disana. Kecuali kalau mau nyamar jadi waria. Tapi aku nggak mau.

Terimakasih Pinky sudah mau menemani malam itu. Terimakasih Tuhan sudah menciptakan Bumi yang punya siang dan malam dan manusianya juga. Terimakasih Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk tata kota yang tetap dijaga meskipun itu sumbangan dari penjajah pada jaman dahulu. Terimakasih Andi untuk motornya. Aku rasa, kadang memang perlu untuk bisa menjadi bahagia hanya dengan duduk berdua tanpa melakukan apa-apa. Mungkin ada yang bilang itu namanya nyaman. Kukira. Atau hanya sekedar pelampiasan ketika seseorang merasa kesepian dan menghindar dari kebosanan. Entahlah. Yang jelas aku senang malam itu.


Jogjakarta, Akhir April 2020 Masehi, ditulis sambil tiduran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar