Selasa, 25 Agustus 2020

SUDAH MALAM, DINDA

SUDAH MALAM, DINDA

Aku sedang berbaring di atas kasurku yang tipis khas anak rantau, sambil nonton film pendek yang sedang viral di youtube dan media sosial seluruh Indonesia. Aku penasaran saja bagaimana ending-nya. Tapi, baru saja dua menit aku menonton sudah ada gangguan. Ada orang yang menggedor-gedor pintu gerbang malam-malam begini. "Teng! Teng! Teng!" Itu suara gembok yang beradu dengan besi pagar.
"Om Zeeen!!.." kudengar suara cewek yang cempreng memanggil namaku.
"Yaa, siapa?!" tanyaku sambil mengintip dari dalam kamarku di lantai atas.
"Buyek Didiiii!!.." jawab cewek itu masih dengan suara cemprengnya. Nama aslinya Dinda, tapi kalau dirumah keponakannya memanggil dia dengan sebutan Buyek Didi.
"Oh, tunggu sebentar!" Aku pun bergegas turun ke bawah untuk membuka pintu gerbang. Beberapa detik kemudian aku sudah berhasil membukanya.
"Sudah tidur ya?" tanya Dinda kepadaku.
"Belum, tadi lagi nonton Bu Tejo, hehe.." jawabku.
"Hahaha.. Bu Tejo yang lagi viral itu," Dinda menyambung sambil menuntun motornya masuk dan parkir di halaman sementara aku menutup pintu gerbang lagi.
"Ada perlu apa malam-malam datang kesini, Din?" tanyaku heran.
"Ada yang mau aku bicarakan, penting," jawabnya dengan mimik wajah serius.
"Yaudah, mau duduk di bangku luar itu atau mau duduk di dalam?" tawarku.
"Emmm mana ya?" Dinda berpikir.
"Yaudah di dalam aja, di luar dingin, sini masuk," aku berkata seraya menggandeng tangan Dinda untuk masuk ke ruang tamu. Kami duduk di sofa ukuran 150 x 50 cm yang berwarna krem.
"Aku mau minta maaf soal kejadian seminggu yang lalu.." Dinda berkata begitu sambil memeluk tubuhku. Aku kaget.
"Nggak apa-apa, Din.. lupakan saja.." jawabku sambil mengusap rambut Dinda.
"Aku tuh sampai nggak bisa fokus kerja dan lain-lain gara-gara kepikiran itu.. sampai hampir stress.. nggak produktif.. rasanya males ngapa-ngapain.. pokoknya kacau hari-hari kemarin itu.." ujar Dinda sambil melepas pelukan.
"Kalau begitu, kita sama.. Aku juga setelah pertemuan terakhir kita, jadi males ngapa-ngapain.. nggak tidur dua hari.. males makan, males mandi, bahkan kerja pun nggak semangat.. sempat berpikiran untuk pergi menemuimu juga malah.."
"Iya kah? Aku kira cuma aku yang merasakan betapa hebatnya serangan rindu ini.. ternyata kamu juga.." Dinda menyandarkan kepalanya di pundakku.
"Hei, lihat ini.." kataku sambil menunjuk ke hidungku, "kemarin muncul jerawat rindu yang warnanya merah merona, pasti gara-gara merindukanmu.."
"Hahaha.. sini tanganmu," Dinda memegang jariku dan menuntunnya untuk menyentuh pipinya, "rasakan ini, jerawat yang tumbuh gara-gara memikirkanmu juga, masih ada kan?"
"Hehe, iya.."
"Kamu tahu?"
"Nggak.. aduh!" Tiba-tiba sebuah cubitan terasa di perutku.
"Aku belum selesai ngomong.." sergah Dinda.
"Yaudah, lanjutin dek.." kataku lirih.
"Kemarin-kemarin tuh sebenarnya aku lewat jalan depan sini terus, ingin mampir tapi masih ragu, gengsi juga ding.. masa iya, aku nyamperin kamu duluan.."
"Tapi, sekarang berani, malam-malam pula.. Hehehe.. wadaw!" Kali ini sebuah cubitan mendarat di dadaku.
"Mau gimana lagi? Daripada aku gila memendam rindu ini sendirian.. bodo amat dengan gengsi.. Hahaha.."
"Kangen banget ya?" tanyaku.
"Ho-oH" jawabnya sambil mengangguk.
"Tadi ijin orang rumah nggak?"
"Iya, aku bilangnya mau main.."
"Hampir jam sepuluh ini," aku mengingatkan.
"Biarin, mau tidur disini aja.. hehe," ujar Dinda polos.
"Oke deh, nanti tidur di sofa ini.."
"Nggak jadi ding, bisa diamuk ibu ntar kalau nggak pulang.."
"Kan pulang dek, tapi besok subuh.. hehe.."
"Huuuu.. bisa-bisa dicoret dari Kartu Keluarga, hahaha.." Dinda tertawa lalu mengubah posisi duduknya.
"Aku antar deh sampai rumah.. biar dimarahi berdua.." Aku asal bicara.
"What? bisa dibunuh berdua malahan," ujar Dinda.
"Yaudah, nanti satu jam lagi pulang ya.." saranku.
"Iya, mas.." kata Dinda sambil menyandarkan tubuhnya pada tubuhku. Posisi duduknya aku ada dibelakang Dinda yang terlihat santai sekali sembari menyelonjorkan kaki.
"Aku lapar.." bisikku lirih ditelinga Dinda.
"Aku enggak, wek.. eh, ada suara perut keroncongan, hahaha.." itu Dinda mendengar perutku yang berbunyi.
"Dari tadi siang belum makan karena, tadi rencananya mau ke kafe dekat sini, nonton temanku yang tampil baca puisi sambil makan gitu, tapi nggak jadi," tuturku.
"Kenapa nggak jadi?" Dinda bertanya.
"Terlalu ramai pengunjungnya, males, padahal tadi udah sampai disana, eh, putar balik.." jelasku.
"Kasihan.."
"Makan yuk?" ajakku.
"Nggak mau, aku udah makan tadi sebelum kesini.." Dinda tidak setuju.
"Yang makan aku aja, kamu nonton aku makan, hehe.."
"Ogah!" Kata Dinda seraya mencubit lenganku.
"Aduh duh duh.. ampun dek.." jeritku karena cubitan Dinda yang lumayan lama dan sakit.
"Aku ngantuk.." kata Dinda manja.
"Yaudah, bobok sini.." balasku sambil mengubah posisi. Sekarang kepala Dinda sudah ada di atas pahaku.
"Mau bantalan pakai perut, mas.. biar empuk, hehehe.." rengek Dinda.
"Siap grak!" Aku nurut aja seraya memindahkan kepala Dinda ke atas perutku.
"Hihihi.. lucu, gerak-gerak.."
"Katanya ngantuk, malah cengengesan terus.." Aku berkata sambil mengelus-elus rambut Dinda dengan lembut.
"Ada nyamuk ini.. suaranya ganggu banget di kuping," Dinda protes.
"Biarin aja, mungkin nyamuknya lagi pingin curhat.. hehe.."
"Hiiih" satu cubitan mendarat di pahaku.
Hingga akhirnya Dinda tertidur dengan nyaman di sofa berbantalkan perutku. Aku masih terus mengelus-elus rambutnya yang tidak terlalu panjang. Menjelang pukul sebelas, aku membangunkannya.
"Dek.. bangun, dek.. sudah hampir jam sebelas, katanya mau pulang?" Bisikku pada Dinda.
"Masih ngantuk.."
"Yaudah, bobok lagi, hihihi.."
"Nggak ah, mau pulang.."
"Aku anter ya?" tawarku.
"Nanti pulangnya kamu naik apa?"
"Ojek, ada nggak?"
"Di kampungku nggak ada ojek jam segini.."
"Yaudah, kamu pulang sendiri aja.. tapi nanti kalau sudah nggak ngantuk lagi.. Oke?"
"Siap kapten," jawab Dinda.
"Cuci muka dulu sana biar seger," perintahku.
"Nggak mau.. dingin.."
"Nih bocah maunya apa sih?"
"Hehe.. maunya tidur lagi.."
"Tidurnya lanjut nanti dirumah ya.. sekarang sudah malam.. kamu pulang dulu.." pintaku.
"Iya, mas, iya.."
"Kacamata dipakai, biar nggak nyusruk, hihihi.."
"Masih ngantuk, tidur disini aja ya?, nyamar jadi Sleeping Beauty, hehe.." candanya.
"Iya, deh, silakan.. nanti aku cium biar bangun.." balasku.
"Eh, nggak ding, mau pulang aja, wek!"
Dinda pun kemudian naik ke atas motornya. Bersiap untuk pergi. Tapi sebelum itu dia ngasih kode untuk dikecup keningnya dulu. Setelah itu dia pamit dengan salaman dan mencium tanganku.
"Selamat ulang tahun ya, Mas.. Cinderella pulang dulu.." ujar Dinda.
"Iya, terima kasih.. hati-hati.." timpalku.
Dinda bergerak meluncur bersama motornya menuju arah selatan. Aku menutup pintu gerbang dan menguncinya. Kesepian kembali melanda. Tapi setidaknya tadi sudah tuntas rasa rindu yang terpendam, yang membuat semuanya terasa menyesakkan. Akhirnya aku bisa makan dengan enak dan tidur dengan nyenyak.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar