Minggu, 25 Februari 2018

SI MUKA LAKBAN : RENDESVOUZ I

Saat itu aku berada di Pulau Bali. Ya, aku sedang tidak berada di Jogja. Tapi sayang Bali nya sedang suka sedih, sering hujan. Seperti pagi ketika itu, pagi yang masih buta karena belum melek mataharinya. Aku sudah terdampar di emperan toko di Jalan Legian karena tidak ingin tas serta pakaianku basah kena air hujan. Aku tidak membawa payung dan jas hujan. Dalam dingin pagi itu aku merenung sejenak, tidak menyangka akan bisa sampai ditempat itu, kenapa aku bisa sampai ditempat itu, dan untuk apa aku berada ditempat itu.

Hujan sudah mulai mereda menjadi gerimis yang hanya seperti percikan buih ombak ketika menghantam badan kapal ataupun batu karang. Aku lihat seorang wanita paruh baya dengan selendang kuning dipinggangnya sedang membawa canang berisi sesajen yang kemudian ditaruh pada pamerajan dan ditrotoar depan toko yang mungkin miliknya. Itu menandakan bahwa aku memang sedang berada di Pulau Bali, dimana yang sebagian besar penduduknya beragama Hindu Dharma dan gemar memberikan persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala bentuk manifestasinya dengan tujuan agar semua kegiatan yang dilakukan bisa berjalan lancar dan selamat. Aku juga masih di bumi karena aku masih bisa melihat sepasang kekasih berjalan masuk ke bilik ATM untuk menarik uang tabungan mereka sendiri. Aku pun melanjutkan perjalananku ke arah selatan dan kemudian belok ke arah barat menuju pantai Kuta. Sementara kendaraan bermotor sudah mulai ramai dijalan Legian pagi itu. Aku tetap melangkah ditanah yang masih asing bagiku. Untuk mencari dimana letak hotel yang sudah aku pesan untuk tempat singgahku selama di Bali. Bersama pagi yang terus dihujani jarum-jarum air dari langit.

***

Aku terbangun dari tidurku pukul dua belas siang diatas kasur sebuah hotel disekitaran Poppies Lane II. Aku raih handphone ku. Ada pemberitahuan dari aplikasi Whatsapp, Facebook, dan Instagram. Yang aku buka pertama kali adalah akun Instagram karena aku yakin itu dari seseorang yang akan aku temui di Bali. Jadi, dia pernah berkata bahwa dia akan memberikan nomer hp nya ketika aku sudah ada di Bali, dan tadi pagi aku sudah mengabarinya lewat Instagram karena kami sebelumnya hanya berkomunikasi lewat menu Direct Message pada instagram. Kami berkenalan juga lewat Instagram. Terimakasih Instagram.

"Ini nomer hapeku hai Si Muka Lakban.. 08xx xxxx xxxx.. Tapi aku harus isi pulsa dulu karena kartunya dalam masa tenggang.." begitu yang aku baca.

Kemudian aku balas," Ok Can.. terimakasih.."

Kemudian aku mandi. Sepertinya aku tidak usah menyebutkan kalau aku juga beribadah karena aku takut disangka riya'. Jadi sehabis mandi aku makan bekalku yang masih ada yaitu roti lapis berisi coklat satu potong. Itu sudah cukup untuk mengisi perutku. Sesudah itu aku bersantai sambil nonton tivi. Aku setel saja channel Bali TV biar aku mengerti berita yang ada di Bali dan juga kebudayaan dan tradisi yang ada di Bali. Itu aku lakukan karena seseorang yang akan aku temui itu masih praktek jadi perawat di RSUD Bangli. Masuk pagi jam tujuh, pulang siang jam dua.

Waktu terasa cepat berlalu tinggalkan cerita pagi tadi. Sudah jam dua lebih. Aku kirim SMS ke orang yang aku panggil Canti itu.

"Sudah pulang dari rumah sakit belum Can?"

Tidak ada jawaban. Aku kirim lagi pesan ke dia sekitar jam tiga sore.

"Nanti kita jadi ketemu dimana?"

Tidak ada jawaban lagi.

Aku pun memutuskan untuk bersiap-siap pergi. Menemui Canti ke rumahnya. Kebetulan dulu aku sudah dikasih alamat rumah tempat dia tinggal yaitu di Jalan Kalantaka, Gianyar. Bermodalkan Google Maps dan motor sewaan, aku nekat dari Kuta ke Gianyar karena belum tahu daerah Bali sama sekali. Tentunya juga mengandalkan insting manusia yang punya hati dan juga plang-plang petunjuk jalan yang dibuat oleh Dishub. Terimakasih Dishub karena sudah membantu perjalananku. Ternyata jarak dari Kuta menuju Gianyar lumayan jauh, harus melewati Denpasar juga. Belum lagi harus kena macet dan juga lampu lalu lintas yang merahnya lama. Kalau bingung saat dipersimpangan aku berhenti dulu untuk bertanya pada Google Maps. Begitu terus sampai akhirnya aku masuk ke pusat Kabupaten Gianyar yang ditandai dengan patung Patih Kebo Iwa berukuran besar. Kemudian ditengah kota juga aku temui Taman Ciung Wanara yang tentunya ada patung berukuran besar juga. Aku sudah dekat dengan jalan kalantaka. Aku dapatkan tanda jalan kalantaka dan menyusurinya dengan pelan biar aku tidak melewatkan rumah Canti. Aku haus dan aku putuskan untuk berhenti membeli minuman disebuah warung. Eh, itu warung atau toko ya? Yang jualan gas elpiji tiga kiloan, terus jual aneka makanan, ada juga minuman dingin, dan macam-macam barang lainnya. Pokoknya itu deh. Aku beli minuman disitu.

"Ibu, beli minuman.." kataku. Untuk di Bali aku tidak memakai lakban di mulutku karena aku tahu di Bali mungkin aku akan dicurigai sebagai teroris atau orang gila jika berpenampilan aneh, bukannya ketemu Canti tapi malah diciduk satpol PP.

"Iya," jawab pemilik toko itu sambil tetap membuat canang dari janur.

"Ini berapa?" tanyaku sambil menunjukkan sebotol minuman dingin.

"Lima ribu.."

"Ini uangnya Bu.." aku berkata sambil menyerahkan uang kertas berwarna biru.

"Ini kembaliannya.." pemilik toko itu berkata sambil menyerahkan beberapa lembar uang kertas kepadaku, warnanya ada yang hijau, cokelat, dan juga ungu.

"Terimakasih Bu.." lalu aku minum seteguk.

Kemudian aku bertanya pada ibu pemilik toko itu.

"Bu, ini benar jalan Kalantaka?" aku bertanya.

"Iya betul," jawab ibu itu dengan logat Bali nya yang khas.

"Kalau Jalan Kalantaka nomer x dimana ya?" aku bertanya lagi.

Waktu itu ada anak lelaki usia belasan yang sepertinya juga mau membeli sesuatu disitu. Ibu itu belum menjawab pertanyaanku yang tadi. Jadi aku ulangi lagi pertanyaanku.

"Ini, ibu tahu Canti? Jalan Kalantaka nomer X.." tanyaku lagi.

"Canti? Siapa? Kamu ngerti?" Ibu itu bingung dan bertanya pada anak lelaki tadi.

"Mang Canti.." kataku menegaskan, barangkali mereka tahu.

"Oo.. Mang Santi?" kata ibu itu.

"Itu kakak saya.." kata anak lelaki itu menyahut.

"Iya, ada dirumah nggak?" tanyaku ke adiknya.

"Baru pergi, pakai jaket, kayaknya mau pergi jauh.. Ayo kerumah dulu kak, ada Bapak dirumah.." anak itu menjelaskan padaku dengan ramah lalu pergi kerumahnya yang ternyata ada disamping toko itu.

"Mas nya teman Santi?" Ibu pemilik toko itu bertanya.

"Iya bu.." jawabku sambil mengambil hape khusus telepon dan SMS.

"Dari mana?" tanya ibu itu lagi.

"Dari Jogja bu, baru pertama kali kesini.. Sudah janji sama Canti," jawabku lagi.

"Coba ditelepon dulu, ada nomer hapenya kan?"

"Iya, ada.. Wah.. Dia malah ke Denpasar.. ngajakin ketemu disana.. berarti tadi papasan di jalan.." aku berkata sambil mencoba menelepon Canti.

"Kak, masuk kerumah dulu kak.." adiknya Canti berkata setengah teriak dan pergi naik motor.

"Iya.." balasku. "Bu, saya numpang duduk dulu ya sambil nelepon Canti.."

"Iya silakan.."

"Halo.. Can.. Aku sudah di jalan kalantaka nih, kamu dimana?" kataku setelah telepon tersambung.

"Aku di Denpasar.. Kamu sudah dirumahku?" kata Canti.

"Belum.. Ini lagi di toko dekat rumah kamu.. Maaf tadi aku lagi di jalan dan nggak buka hape, jadi nggak tahu kalau kamu ke Denpasar.. Aku susul kesana ya?"

"Nggak usah.. Kamu tunggu aja dirumahku, ini aku mau pulang.. Ketemu dirumah aja, tunggu ya.." Canti berkata begitu lalu menutup telepon.

"Gimana mas? Santi nya mau pulang?" tanya ibu pemilik toko.

"Iya, yaudah Bu, saya kesitu dulu.. lewat mana ya?"

"Itu ada pintu gerbang kecil masuk saja.. motornya juga dibawa masuk.." saran ibu pemilik toko.

"Iya.. mari.." aku berkata sambil menuntun motor sewaan itu masuk ke dalam lingkungan rumah Canti yang didalamnya terdapat beberapa rumah. Sempat digonggongi anjing peliharaan Canti yang aku tahu bernama Cika, berjenis kelamin betina, berwarna kelabu dan punya kalung berwarna ungu. Tadi didepan juga ada gerbang seperti pura tapi tidak untuk lewat motor.

"Swastiastu.." aku berkata menirukan salam orang Bali kepada seorang lelaki yang punya rambut panjang, berkumis dan berjenggot.

"Swastiastu.." lelaki itu menjawab.

"Saya teman Mang Canti pak," kataku.

"Oo.. Teman kuliah?" tanya lelaki itu yang mungkin adalah bapaknya Canti.

"Bukan.. Saya dari Jogja.." jawabku sambil menjabat tangannya.

"Saya bapaknya Mang Santi.. Mang Santi nya sedang keluar tadi.. Adik sudah janjian sama dia?"

"Sudah pak, tadi sudah saya telepon, katanya lagi di Denpasar.. sekarang mungkin di jalan mau pulang," jelasku.

"Oh iya, silakan duduk dulu," perintah bapaknya.

"Nggih.." jawabku sambil meneruskan dengan pertanyaan, "Sedang bikin apa itu pak?"

"Oh ini.. Pelangkiran.. buat naruh canang atau sesajen.." jawab si bapak.

"Oh gitu.." aku menimpali. Buat yang belum tahu apa itu Pelangkiran, itu adalah benda berbentuk kotak terbuka berkaki empat pada bagian bawah, kemudian dibagian atasnya yang depan lebih rendah daripada bagian belakang, biasanya diukir motif bunga-bunga dan dedaunan disertai simbol suci umat Hindu yaitu OM KARA atau ONG KARA.

Sementara Bapaknya menyelesaikan pelangkiran itu aku berusaha menenangkan diri dan kalem dengan minum minuman botol yang tadi aku beli karena si Cika sepertinya ingin selalu dekat dengan aku, mungkin pingin kenalan sama orang baru. Aku sih tidak apa-apa selama dia tidak menjilat.

"Cika.. Cika.. Hush!" begitu perintah bapaknya Canti ketika tahu bahwa si Cika mendekat padaku.

Kemudian aku melihat sesosok pria lain yang berkacamata, tinggi, kurus, memakai sarung sedang meletakkan persembahan di pura pribadi keluarga yang berada depan rumah Canti. Yang aku tahu dia sedang sembahyang menurut kepercayaannya. Dan dia adalah kakaknya Canti.

Bapaknya Canti sudah selesai membuat pelangkiran. Kemudian aku disuruhnya pindah tempat duduk karena mau disapu biar bersih. Aku menurut saja karena sebagai tamu. Selesai menyapu, si bapak membersihkan diri dengan mencuci tangan dan kaki di kamar mandi yang tersedia sebagai kamar mandi bersama seluruh penghuni uma tersebut. Letaknya ada disebelah selatan, tepat dihadapan rumah yang ditempati Canti tapi berjarak sekitar sepuluh meter. Sesudah itu si bapak berpakaian dan merapikan rambutnya yang panjang dengan cara diikat dan digelung. Kemudian menemani aku duduk, dia bersandar didinding rumah. Kemudian seorang gadis kecil usia belasan membawakan aku segelas kopi susu panas.

"Ini kak kopinya," kata si gadis.

"Iya, terimakasih.." balasku sambil memegang gelas yang masih panas.

"Gita.. Tolong ajik dibuatin teh ya.." perintah bapaknya kepada si gadis yang ternyata bernama Gita.

"Nggih Jik.." jawabnya dengan bahasa Bali yang artinya iya pak.

"Mang Canti apa ten praktek?" tanya si bapak kepada si gadis.

"Praktek tapi tadi sampun mulih.. masuk semeng.." jawab si gadis.

"Silakan diminum dek.." kata si bapak sambil mengeluarkan bungkus rokok dari saku celananya kemudian menyalakannya.

"Nggih.." aku irit bicara.

"Jadi adek ini dari Jogja.. Disini tinggal dimana?" si bapak mulai bertanya.

"Di Kuta pak," jawabku singkat.

"Kenal Mang Canti dimana?"

"Eng.. Di Instagram.." aku agak ragu menjawabnya karena takut dikira penjahat medsos.

"Oo di instagram.."

"Iya," timpalku.

"Oo.. kerja atau kuliah?" tanya si bapak lagi.

"Kerja pak, kerjanya di Jogja.." jawabku.

"Kerja dibidang apa?"

"Saya kerja di dekorasi pak.. jadi bagian produksi, ya sama seperti bapak tadi bikin ukiran tapi dari gabus.." jelasku, buat yang belum paham gabus itu bukan ikan gabus ya, tapi styrofoam.

"Kalau di Jogja sistemnya dekorasi disewakan ya?"

"Iya pak, disewa buat acara nikahan, ulang tahun, gathering, bahkan kematian juga.."

"Oo gitu.." mungkin si bapak lelah, kemudian menghisap rokoknya kemudian meminum teh dari gelasnya.

"Iya," kataku sambil tersenyum diikuti menyeruput kopi susu yang agak panas.

"Itu plat motornya kok DK?" dia bertanya.

"Iya ini motor nyewa didekat hotel.." jawabku jujur.

"Jadi adek ini kesini liburan atau apa?"

"Eng.. Kebetulan di kerjaan lagi sepi proyek jadi saya ambil cuti.. sudah janji juga sama Canti mau main kesini.."

"Oh begitu.. Kapan sampai di Bali?" tanya si bapak.

"Tadi pagi pak.." kataku sambil sesekali menengok ke arah gerbang siapa tahu mang Canti pulang tapi yang ada malah Cika dibalik punggungku, bikin kaget saja.

"Ya.. beginilah rumah adat di Bali.. nggak ada ruang tamu, nggak ada kursi, duduknya di lantai.. tidur juga cuma pakai kasur nggak ada ranjang.. ini kamar Mang Santi disini sama adiknya yang tadi.. kalau itu kamar saya sama ibunya Mang Santi.. diatas kamar kakak-kakaknya.." jelas si bapak.

"Hehe.." aku hanya tersenyum.

"Gita.. tolong ambilkan hape di tas," perintah si bapak kepada anaknya yang bernama Gita.

"Nggih.." jawab Gita sambil meraih tas dan memberikan kepada bapaknya.

"Coba carikan ini nomernya Mang Canti.."

Beberapa detik kemudian terdengar suara dari seberang.

"Halo.." suara dari seberang. Aku dengar karena hapenya si bapak loudspeakernya diaktifkan.

"Halo.. Swastiastu.. Mang Santi? Dije jani Mang?" kata si bapak.

"Ampura niki ten Mang Santi.." kata suara dari seberang.

"Oo.. Ampura.. salah sambung berarti nggih.." kata si bapak sambil menutup telepon dan kemudian bertanya kepadaku. "Adek ada nomer Mang Canti?"

"Iya ada.. ini," kataku sambil memperlihatkan nomernya.

Kemudian si bapak mencoba menghubungi Canti. Tuuut.. Tuuut.. Tuuut.. Tuuut.. Tidak diangkat. Dicoba lagi pun tidak diangkat.

"Nggak diangkat, mungkin lagi dijalan.."

"Iya pak, palingan lagi dijalan," aku menimpali.

Datanglah seorang bocah lelaki gendut membawa kertas dan pulpen yang sepintas aku lihat dikertas ada tulisan nominal uang. Dan si bapak langsung paham untuk menyerahkan uang iuran sebesar lima puluh ribu rupiah dibayar tunai. Sah? Sah? Saaah.. Mungkin itu iuran untuk kegiatan upacara adat. Setelah menerima uang dan mencatatnya, bocah gendut itu pun pergi.

"Sebentar lagi Nyepi ya Pak?" tanyaku daripada bengong.

"Iya, nanti pertengahan bulan Maret," jawab si Bapak.

"Kegiatannya apa saja pak kalau Nyepi?" aku bertanya lagi.

"Itu, lima hari sebelum Nyepi, ada yang namanya Melasti.. jadi nanti semua melarung sesajen ke laut sebagai simbol menghilangkan hal-hal negatif biar berubah jadi positif.." jelas si Bapak.

"Oo begitu.."

"Terus ada juga yang namanya Pengrupukan.. itu kegiatan menerangi rumah dengan obor-obor dan juga pukul-pukul kentongan sebagai simbol mengusir mahluk-mahluk halus pembawa hal negatif supaya pergi.. Ada juga arak-arak ogoh-ogoh yang nantinya dibakar, itu juga sebagai simbol menghapuskan hal-hal negatif supaya berubah menjadi positif.." si Bapak menjelaskan dengan semangat.

"Terus kalau Nyepi nya itu sendiri?"

"Pas Nyepi itu kami melakukan Catur Brata, yaitu tidak boleh menyalakan api, tidak boleh bekerja, tidak boleh bepergian keluar rumah, dan tidak boleh membuat keributan ataupun bersenang-senang.. selama 24 jam, mulai dari jam enam pagi setelah pengrupukan sampai jam enam pagi pada hari berikutnya.. intinya untuk merenungi apa yang sudah kami lakukan satu tahun yang lalu dan merencanakan apa yang akan kami lakukan ditahun mendatang.." si Bapak meminum teh nya setelah menjelaskan panjang lebar.

"Oh begitu ya.. jadi benar-benar sepi ya suasananya.." kataku.

Belum sempat si Bapak menjawab, ada seorang cewek naik motor scooter matic berwarna cokelat datang, memakai helm, masker dimulutnya, memakai jaket abu-abu dan juga celana abu-abu masuk ke halaman rumah untuk kemudian berhenti dan turun. Aku meminum kopi susuku untuk sedikit menekan rasa nervous karena aku yakin cewek itu adalah Canti. Dan ini pertama kali aku menemui manusia di Bumi yang mengenali aku sebagai Si Muka Lakban, saat itu aku berani mengungkap siapa aku sebenarnya. Membuka lakbanku hanya untuk dia, yang berani berjanji untuk bertemu dengan aku jika aku datang ke Bali. Dia yang tidak takut kepada penampilanku yang seram dan seperti orang gila. Terimakasih Canti.

"Haai.. Akhirnya ketemu juga Zen Armstrong.." dia sedikit berlari sambil menjabat tanganku dengan senyum ceria.

"Hai juga Can.." kataku sambil menjabat tangannya juga sambil tersenyum.

"Sudah lama nunggu?" Canti berkata dengan logat Bali yang khas.

"Ya lumayanlah, ada setengah jam.." jawabku.

"Kok bisa tau rumahku?" dia bertanya heran.

"Tadi kebetulan tanya sama yang punya toko didepan itu.. tanya rumahmu, eh kebetulan ada adikmu juga.. ya akhirnya sampai disini," aku menjawab.

BERSAMBUNG








Tidak ada komentar:

Posting Komentar