Minggu, 04 Februari 2018

DIALOG AANG DAN IYAS

LEKKER TAMAN SARI

Harinya sedang Senin ketika A'ang dan Iyas janji untuk pergi berdua. Tanggalnya sedang 22 Januari. Jogja masih hujan sehari-hari juga. A'ang minta antar Iyas ke tempat cetak kaos langganannya karena mau mengambil pesanan yang sudah lama belum jadi. Tapi Iyas juga minta diantar ke Pasar Beringharjo katanya mau beli jahe merah disuruh ibunya.

Iyas sudah sampai di depan kost A'ang dan langsung mengirim chat WA supaya A'ang keluar menemuinya. Beberapa detik kemudian muncullah manusia ajaib yang cengengesan persis beruk mau kawin. Ya, dia adalah A'ang yang sudah janjian sama Iyas untuk pergi. Ketika itu waktu sedang jam sepuluh lewat empat belas pagi menjelang siang.

"Hai.." sapa A'ang.

"Hai," balas Iyas.

"Aku dibelakang ya.. kamu yang nyetir.." kata A'ang.

"Nggak mau.." timpal Iyas.

"Yaudah deh, aku di depan aja, lewat mana?"

"Emang kamu nggak hafal jalan di Jogja?" tanya Iyas.

"Tau kok.. hehe," jawab A'ang.

"Ih.. nyebelin deh," kata Iyas.

Akhirnya mereka berdua pergi naik motor matic berwarna putih dan punya jargon SELALU LEBIH UNGGUL. Ngeeeeeeeeeeeeeeeng... begitu bunyi mulut A'ang ketika naik motor. Melewati jalan Kusumanegara yang ada Taman Makam Pahlawan nya itu.

"Yas, Jogja sekarang kalau siang panas banget ya, tapi nanti diatas jam dua belas tiba-tiba mendung," A'ang membuka obrolan ketika berhenti di lampu merah.

"Iya, cuacanya ekstrim.." sambung Iyas.

"Kamu suka ekstrim? tanya A'ang.

"Suka, yang rasa cokelat sama lidah buaya.. hehe," dasarnya udah punya pemikiran yang sama, A'ang memplesetkan kata es krim jadi ekstrim pun Iyas sudah paham dan tahu harus menjawab apa.

"Emang ada yang rasa Lidah buaya?" tanya A'ang heran.

"Ada," jawab Iyas singkat.

"Seperti apa rasanya?"

"Rasanya manis.. seperti janjimu.. tapi bisa tiba-tiba jadi kecut ataupun pahit.." Iyas menjelaskan.

"Ah, kamu bisa saja Yas.."

"Hehehe.."

Lampu lalu lintas sudah berubah jadi hijau. Kendaraan yang tadi berhenti sudah mulai bergerak lagi termasuk motor yang ditumpangi A'ang dan Iyas. Semua diharuskan berjalan maju, kecuali yang lagi mogok, yang kehabisan bensin, atau yang lupa masukin gigi mundur. Beberapa menit kemudian mereka memutuskan untuk memarkirkan motor di depan Kantor Pos Besar. Untuk kemudian berjalan kaki melewati Monumen Serangan Umum Satu Maret dan Museum Benteng Vredeburg agar bisa sampai di Pasar Beringharjo.

"Aku baru pertama kesini.." kata Iyas.

"Masa orang Jogja baru pertama kali kesini?"

"Enggak.. maksudku baru kali ini kesini setelah diperbarui.." jelas Iyas.

"Oo.. iya ini baru selesai dipugar, untuk dijadikan kawasan pedestrian.."

"Pedagang-pedagangnya udah nggak boleh jualan disini lagi ya?"

"Untuk yang buka lapak memang ditertibkan, tapi yang jualannya sambil bergerak masih boleh kok.." kata A'ang.

"Eh, lewat sini aja, biar langsung ke tempat yang jualan jahe.." ajak Iyas sambil menunjukkan jalan.

"Oo gitu.. emang yang jualan jahe merah dimana?"

"Nggak tahu, hehehe.." jawab Iyas polos.

"Yaudah gampang nanti tanya orang," kata A'ang.

Setelah berjalan agak lama, akhirnya sampailah mereka ditempat yang jualan jahe merah, itupun tadi tanya dulu ke penjual yang lain. Tidak perlu banyak basa basi Iyas langsung beli jahe merahnya satu kilo. Tapi ketika ditimbang dan kelihatan banyak, Iyas minta dikurangi jadi setengah kilo, biar nggak kebanyakan. Oh iya, Iyas juga beli kencur dua ribu perak. Dapetnya dikit. Ya iya lah.. kalo belinya dua juta baru dapat banyak. Setelah itu mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan untuk keluar dari pasar.

"Yas, kamu dulu lulusan mana?" tanya A'ang.

"STIPRAM, kenapa?" Iyas menjawab sambil bertanya juga.

"Berarti sering wisata dong?"

"Iya, tapi bayar sendiri.. hehe,"

"Hmmm curang ya.. sudah kuliah bayar mahal, study tour disuruh bayar sendiri, habis itu masih disuruh bikin tugas juga.. Kita yang bayar, kita yang pusing.. Hanya demi selembar kertas yang bernama ijazah hahaha.." kata A'ang.

"Iya ya, kalo dipikir-pikir aneh.." timpal Iyas.

"Yas, kamu kan orang asli Jogja, bisa jadi tour guide ku nggak hari ini?"

"Emang mau kemana Ang?" tanya Iyas.

"Kemana ya enaknya?" A'ang balik tanya.

"Ke Gunung Kidul? Eh tapi kalo kesana enaknya pagi-pagi.." jawab Iyas.

"Nggak usah jauh-jauh, yang dekat sini aja.. Nanti juga harus ambil pesanan kaos kan.." kata A'ang.

"Ok deh.. Ke Taman Sari udah pernah belum?" Iyas bertanya.

"Belum.." jawab A'ang singkat.

"Yaudah, ayo kita kesana," ajak Iyas.

"Ayoooo.." A'ang berkata penuh semangat.

"Kamu seneng banget kayaknya?" tanya Iyas heran.

"Hehe.."

Kemudian mereka berjalan keluar dari pasar Beringharjo menuju tempat mereka tadi memarkirkan motor. Tadi sebelum keluar pasar A'ang sempat membeli seplastik wedhang uwuh yang memang sudah diinginkannya sejak masuk pasar.
Mereka berdua berjalan bergandengan tangan menyusuri trotoar yang dipenuhi lapak pedagang kaos, pedagang sandal, juga pedagang bakpia. Setelah itu melintasi area Benteng Vredeburg yang masih sepi karena hari itu Senin, jadi tidak banyak orang yang berwisata.

"Yas, kamu duduk disitu tak foto.." kata A'ang tiba-tiba.

"Nggak mau, kamu aja tak fotoin," jawab Iyas.

"Bareng aja yuk, hehe.." ajak A'ang.

"Nggak ah, hehe.."

"Yaudah kita langsung ke Taman Sari aja," kata A'ang dengan menggandeng tangan Iyas.

Mereka lalu menyeberang jalan menuju tempat dimana mereka memarkirkan motor. Setelah sampai disana, masing-masing memakai helmnya sendiri-sendiri. Iyas lebih ribet karena harus pakai sarung tangan dan masker juga. Lalu A'ang melajukan motor ke arah barat, kemudian belok kiri menuju arah Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta.

"Yas, kenapa harus pakai sarung tangan? Kan cuma dekat dari sini ke Taman Sari.." tanya A'ang.

"Biar tangannya nggak hitam kulitnya..." jawab Iyas dengan nada manja.

"Oo gitu.. Terus kenapa pakai masker juga? Padahal kan kamu cantik.. Kalo dipakein masker, aku jadi nggak bisa lihat wajahmu dari spion, haha.."

"Biar wajahnya nggak kena debu.. tenggorokan dan pernafasan juga nggak kemasukan debu Ang.. Hmmm," jawab Iyas.

"Eh, kita lewat mana nih? Lurus atau belok kanan?" tanya A'ang ketika sudah disebelah barat Alun-alun.

"Lurus aja Ang, lewat daerah sekitar rumah eyangku," Iyas menjawab.

Akhirnya mereka lewat jalan Suryopranatan daerah Kadipaten, itu masih ikut wilayah Kraton Yogyakarta, mereka juga sempat melewati Museum Kereta Kraton, Tugu Jam dan juga Plaza Ngasem. Untuk akhirnya bisa sampai di pelataran parkir wisata Taman Sari. A'ang dan Iyas turun dari motor, melepas helm, kemudian berjalan menuju loket pembelian tiket masuk Taman Sari. Tapi tadi mereka juga sempat diberi karcis parkir oleh petugas parkirnya.

"Kamu yang antri tiket ya Yas," kata A'ang.

"Iya.."

"Eh, jangan ding, bareng aja.." kata A'ang lagi.

"Lha.. Kenapa?" tanya Iyas.

"Biar kamu nggak digangguin cowok lain, cukup aku aja yang gangguin kamu.. Hehe," jawab A'ang.

"Hmm.." Iyas cuma mengeluarkan suara yang berbunyi begitu.

Selesai mereka membayar tiket bertarif lima ribu rupiah per orang itu, mereka langsung menuju pintu masuk yang dijaga dua orang petugas dengan seragam batik yang sama. Pintu masuknya berbentuk gerbang yang tinggi dan mempunyai lorong. Lorong itu ternyata menuju ke kolam yang dulunya adalah tempat mandi para permaisuri dan putri kerajaan Yogyakarta. Lumayan banyak pengunjungnya walaupun itu hari Senin. Kemudian A'ang dan Iyas menuruni anak tangga, memilih pergi ke arah kiri dulu, soalnya lebih adem tempatnya. Mereka berdua tidak bergandengan tangan. Mereka memasuki ruangan yang dulunya adalah kamar yang dulunya dibawah ranjangnya dialiri air. Itu letaknya disebelah Timur. Lalu ada lagi kolam yang letaknya disebelah selatan. Disana Iyas sempat memfoto A'ang dengan gaya ala kadarnya. Sesudah itu A'ang dan Iyas menaiki tangga menuju ruangan yang disebut menara. Tidak usah dihitung ada berapa anak tangga disitu karena hanya akan membuang-buang waktu. Dibagian atas menara, ada ruangan yang berfungsi untuk mengawasi atau melihat area sekitar pemandian itu. Iyas juga sempat foto-foto pemandangan dari atas situ, sedangkan A'ang sibuk mengagumi diam-diam sosok Iyas. Setelah beberapa menit, A'ang dan Iyas memutuskan untuk turun dan menjelajahi ruangan lain. Setelah sampai dibawah, Iyas mengajak A'ang ke arah bangunan yang ada disebelah Utara. Mereka melewati dua kolam utama yang luas sebelum akhirnya sampai disebuah ruangan yang dulunya digunakan sebagai ruang ganti pakaian setelah mandi di kolam. Mereka tidak lama disitu karena memang tidak ada apa-apanya.

"Yas.. lihat nih, burung hantu.." kata A'ang sambil berdiri didekat sangkar burung yang terbuat dari batu.

"Mana? Nggak kelihatan.." tanya Iyas sambil kebingungan.

"Ya, namanya juga burung hantu.. Ya nggak kelihatan.. Hehe, kecuali kamu anak indigo.." jawab A'ang.

"Huuuu.. dasar.."

"Hehehe.."

"Ang, disini ada sumur yang dilempari koin itu lho.. Pernah dengar nggak?" kata Iyas.

"Belum, disebelah mana?" tanya A'ang penasaran.

"Kesana yuk!" ajak Iyas.

"Ok." kata A'ang sambil menggandeng tangan Iyas menaiki anak tangga menuju pelataran Taman Sari yang dibagian tengah.

Disitu lebih luas dan ada banyak orang jual makanan dan minuman. Tapi Iyas dan A'ang menuju ketempat lain karena tujuan mereka adalah sumur yang ada disebelah selatan bangunan Taman Sari. Mereka melewati sebuah gerbang berbentuk lorong menurun sepanjang sepuluh meter yang disebut sebagai Gerbang Carik. Kemudian Iyas yang sebagai tour guide mengajak A'ang belok kiri, menyusuri rumah warga dan sampailah mereka di area sumur kuno itu. Rupanya dulu disitu adalah area dapur umum, ruangannya sekarang sudah kosong dan agak menyeramkan. Tapi A'ang dan Iyas numpang duduk didalam ruangan tersebut karena adem.

"Jadi itu ya sumurnya?" tanya A'ang.

"Iya, katanya sih bisa mengabulkan permintaan dengan cara melempar koin kedalam sumurnya.." jelas Iyas.

"Ooo.. Pantesan tadi ada banyak koin didasar sumur itu.."

"Oh ya? Emangnya kelihatan po?" tanya Iyas dengan logat Jawa.

"Kelihatan.. cetek kok.." jawab A'ang.

"Oo.." Iyas cuma bilang begitu.

"Yas, sini duduk dulu.. ngadem," ajak A'ang.

"Oh iya Ang.."

"Ini.. Kita main sulap dulu sambil ngobrol-ngobrol.."

"Emang kamu bisa sulap?" tanya Iyas.

"Bisa dong.."

"Coba lihat, mana?" Kata Iyas tak sabar.

"Sulap Kartu dulu ya.." kata A'ang sambil mengeluarkan satu pak kartu dari dalam tasnya.

Kemudia A'ang mempraktekkan trik-trik sulap kartu yang sudah dipelajarinya. Dan berhasil membuat Iyas heran dan terkagum-kagum.

"Ini Yas, ada lagi, bukan sulap kartu tapi.. Ini namanya Ring and Chain.." jelas A'ang.

"Cara mainnya gimana?" tanya Iyas penasaran.

"Gini nih.. Tangan kamu mana? Jempolnya diangkat begini.." A'ang menjelaskan sambil mempraktekkan trik sulapnya kepada Iyas. Sampai kemudian mereka sudah tidak merasa nyaman disitu dan memutuskan untuk pindah dari tempat itu.

Mereka berdua kembali melewati lorong Gerbang Carik dan sempat berhenti untuk berfoto didepannya. Fotonya bergantian. Setelah itu mereka kembali melewati pelataran yang disekitarnya banyak penjual makanan dan minuman tadi. Ada bangunan yang tinggi dan lebar, terbuat dari batu putih yang diukir sedemikian rupa. Dibawahnya atau tepat didepan pintunya sering dijadikan spot foto para wisatawan. Tetapi A'ang dan Iyas tidak foto disitu.. Mereka hanya masuk kedalam ruangan itu sebentar, lalu keluar lagi. Berjalan mengikuti wisatawan lain yang akan menuju Masjid Bawah Tanah yang kesohor itu.

Tapi mereka berhenti sejenak karena bertemu dengan bapak-bapak penjual kue lekker didekat situ.

"Mau lekker nggak Yas? Kayaknya enak.. aromanya wangi.." tawar A'ang.

"Iya Ang.. Hehe,"

"Ok, beli berapa?"

"Terserah kamu aja.."

"Pak, harganya berapaan?" tanya A'ang kepada penjual lekker.

"Seribuan mas.." jawab si Bapak.

"Beli lima ribu pak.." kata A'ang.

"Iya mas."

"Eh, tambah seribu lagi ding, biar pas enam ribu jadi dapat enam.." tambah A'ang.

Beberapa jurus kemudian A'ang sudah mendapatkan kue lekkernya yang dimasukkan ke kantong kertas. Lalu membawanya bersama Iyas, mereka naik keatas bangunan yang luas tadi dengan menapaki beberapa anak tangga. Siangnya sudah jam dua belas ketika itu. Diatas sebenarnya panas, tapi ada angin sejuk yang lumayan menyejukkan suasana. Diatas bangunan itu mereka ngobrol sambil sesekali menikmati kue lekker yang manis dan renyah itu. Mereka juga bisa melihat sekitaran Taman Sari dari ketinggian. Bisa melihat rumah-rumah warga dibawahnya. Bisa juga lihat pesawat yang kebetulan melintasi langit Jogja.

"Enak ya Yas lekkernya.."

"Iya Ang, manis.."

"Kayak kamu kalo senyum, hehe.."

"Hmm.."

"Itu daerah mana Yas?" tanya A'ang sambil nunjuk sembarangan.

"Nggak tau, hehe.."

"Yaudah deh nggak apa-apa.."

"Hehe, aku orang Jogja tapi nggak hafal daerah sini.."

"Kamu dulu kuliah di STIPRAM ya?" tanya A'ang.

"Iya.."

"Setelah lulus pinginnya jadi apa?"

"Tadinya sih pingin kerja dikapal pesiar, tapi nggak bisa bahasa Inggris.. ujian aja nilai bahasa inggrisku pasti nggak terlalu bagus, hehe.." jelas Iyas.

"Eh, ini bungkus lekkernya kok soal-soal bahasa Inggris?"

"Mana Ang? Coba lihat.."

"Nih.."

"Oh iya.."

"Coba kerjakan, bisa nggak?" tantang A'ang.

"Nggak, hehe.." jawab Iyas polos.

"Bahasa Inggris, makananku kuliah dulu Yas.."

"Hmm.. Iya po?" tanya Iyas dengan logat Jawa.

"Iya.."

"Emang dulu kamu kuliah dimana Ang?" tanya Iyas.

"Di trans 7, yang ada vincentnya itu.. Di UPS SALAH.. hehe.." jawab A'ang bercanda.

"Hadeeh.."

"Nggak ding, dulu aku kuliah di Tegal, Universitas Panca Sakti jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.. Tapi drop out.."

"Lah kok bisa?" tanya Iyas penasaran.

"Bisa lah.. Udah ah jangan dibahas.. Yuk turun aja.."

"Oh oke.."

Setelah menghabiskan enam lembar kue lekker dengan pembagian tiga lembar untuk satu orang, dan obrolan mereka juga tidak berlanjut akhirnya mereka turun menapaki anak tangga lagi. Kali ini tujuan mereka adalah Masjid bawah tanah. Ya, mereka berjalan melewati jalanan kecil diantara rumah-rumah warga disebuah kawasan yang disebut sebagai "Kampung Cyber", disitu juga ada orang jual makanan dan minuman, ada juga yang jual barang-barang seni dan kerajinan tangan.
Setelah berjalan beberapa puluh meter sampailah mereka disebuah gerbang yang dijaga oleh seorang bapak tua, yang tugasnya merobek tiket sebagai tanda masuk masjid bawah tanah Taman Sari. Untuk masuk ke masjid bawah tanah itu mereka harus melewati lorong gelap dan menapaki anak tangga. Kalau jalan disana juga jangan terlalu dipinggir kecuali kalau kepalanya mau kejedot atap lorong yang bentuknya melengkung setengah lingkaran.

"Awas Yas, jangan terlalu kepinggir, nanti kejeduk.." kata A'ang mengingatkan sambil merangkul Iyas biar posisi jalannya agak ke tengah.

"Eh, iya, Ang.." Iyas nurut.

"Disini gelap banget ya.." kata A'ang.

"Iya.. Kan terowongan bawah tanah..." Iyas menimpali.

Kemudian sampailah mereka di dalam masjid yang berbentuk lingkaran itu, yang berlantai dua, dan yang bersejarah. Mereka naik ke lantai dua melewati undak-undakan yang berada ditengah-tengah bangunan masjid itu dan bisa melihat langit karena memang konstruksi bangunannya mirip donat, bundar bolong ditengah. Undak-undakan itu adalah tempat favorit para wisatawan untuk berfoto.
A'ang dan Iyas tapi tidak foto disitu karena mereka memang sedang ingin berfoto disitu, mereka berdua hari itu memang dijadwalkan oleh Tuhan untuk ngobrol saling mengenal lebih dekat. Maka, demi menaati apa yang digariskan, mereka berdua kemudian duduk pada sebuah pinggiran jendela untuk sekedar ngobrol ringan dan melepas lelah karena jalan kaki.

"Duduk sini dulu yuk Yas," ajak A'ang.

"Ok," Iyas setuju.

"Ramai banget ya pengunjungnya, padahal hari Senin.."

"Jadi agak gerah.." Iyas menimpali.

"Ini lumayan ada angin masuk dari jendela," kata A'ang sambil memainkan tas kecilnya.

"Iya, adem.." Iyas mengiyakan.

"Mau lihat sulap kartu lagi nggak Yas?" tawar A'ang.

"Hmmm.. Mau dong, ayuk cepet," kata Iyas sudah tidak sabar.

"Santai dong Yas.. Jangan buru-buru, hehe.." A'ang menenangkan.

"Iya, hehe.."

Akhirnya A'ang pun memainkan sulap kartu tentang prediksi, yang prediksi hasil akhirnya sudah dia tulis dulu sebelum melakukan perform. Hasilnya benar-benar membuat Iyas kagum dan terheran-heran karena sesuai dengan apa yang dimainkan dengan kartu tersebut. Tapi kemudian A'ang tidak memainkan sulap kartu lagi, karena A'ang tahu bahwa cewek suka hal-hal yang misterius dan membuat penasaran. Maka A'ang sengaja tidak memainkan banyak trik sulap dulu biar dia kapan-kapan bisa bertemu dan ngobrol dengan Iyas lagi.

"Yas, lihat itu bule nya lagi ngapain?" kata A'ang mengalihkan perhatian ke objek lain.

"Itu, mainan tepuk tepuk sama temennya.." jawab Iyas.

"Mana? Sendirian gitu.."

"Itu diseberang.." kata Iyas sambil menunjuk ke arah seseorang yang ada di bagian lain sedang menghapad si bule dan menggerakkan tangan seolah-olah saling menepuk tangan.

"Oh iya, hehe.."

"Habis ini mau kemana lagi Ang?" tanya Iyas.

"Nggak tahu, kan kamu tour guide nya.. Aku nggak hafal daerah sini.." A'ang menjawab.

"Yaudah, yuk.." ajak Iyas.

"Kemana?" tanya A'ang.

"Ke bangunan yang tinggi diluar," kata Iyas.

"Oh ok," A'ang setuju.

Lalu mereka berjalan untuk keluar dari masjid bawah tanah itu, tapi sempat berfoto-foto didalam lorong yang agak gelap itu dulu. Baik itu foto berdua ataupun foto sendiri-sendiri. Sudah itu mereka menuju tempat yang dikatakan Iyas tadi. Jaraknya tidak jauh dari lokasi masjid bawah tanah karena memang masih satu komplek Taman Sari.

"Dulu disini boleh naik sampai ke atas sana.." Iyas menjelaskan.

"Sekarang cuma boleh sampai sini?" kata A'ang sambil memegang pintu jeruji besi yang digembok. Membatasi area pengunjung agar tidak naik sampai ke atas bangunan karena bangunannya sudah rawan ambrol. Itu A'ang dan Iyas duduk ditangga yang lumayan tinggi dan bisa melihat area Plaza Ngasem dan jalanan Ngasem yang ada disebelah utara bangunan tersebut. Angin bertiup menyegarkan suasana siang itu.

"Bagus ya Ang?" Iyas berpendapat.

"Iya, aku senang.." jawab A'ang.

"Aku lapar.. Hehe," kata Iyas.

"Yaudah, turun aja yuk, cari makan.." ajak A'ang.

"Yeee.. Asyiik.." Iyas kegirangan.

"Mau foto dulu nggak Yas?"

"Nggak usah.."

Mereka kemudian jalan lagi, kali ini harus menelusuri lorong bawah tanah yang terang, lumayan panjang, ada seratus meter kalau mau dihitung. Diterowongan itu juga ada pintu-pintu yang menuju ke area lain, oh, ada juga menaranya. Ketika itu ada pengamennya juga. Tapi A'ang dan Iyas lewat aja tanpa memberi uang, bukannya pelit tapi karena memang lagi nggak mau ngasih aja. Dilorong itu mereka foto-foto lagi. Setelah capek baru mereka melanjutkan perjalanan. A'ang menggandeng tangan Iyas.

"Ang.. Katanya lorong yang ada di masjid bawah tanah tadi ada yang bisa tembus sampai Parang Tritis lho.." Iyas menjelaskan.

"Wow.. Asyiik ya.. Kesana yuk," ajak A'ang.

"Udah ditutup.. Nggak bisa dilewati lagi karena gempa Jogja dulu itu.." Iyas menerangkan lagi.

"Yaaaah.."

"Hehehe.."

"Yas, mau es dawet nggak? Buat pembuka sebelum makan nanti.." A'ang menawari Iyas minum karena mereka lewat didepan kedai dawet susu yang ada diarea Taman Sari itu.

"Iya.. Kayaknya seger.." Iyas mengiyakan.

"Bu, tumbas dawete kalih.. diunjuk ten ngriki.." kata A'ang dengan bahasa Jawa yang artinya : Bu, beli dawetnya dua (gelas), minum disini.

"Nggih mas.. monggo pinarak riyin," jawab ibu itu yang artinya : Iya mas.. Silakan duduk dulu.

Tidak lama kemudian es dawet susu segar itu sudah tersaji dimeja didepan A'ang dan Iyas. Mereka minum sambil ngobrol.

"Enak nggak Yas?" A'ang bertanya.

"Hmm, enak kok, seger, manis," Iyas berkata setelah menyedot dawetnya dari gelas, oh iya, Iyas waktu itu pesan yang tanpa es.

"Iya, manis kayak kamu.." A'ang mengeluarkan gombalan yang umum.

"Hmmm.. Gombal," tangkis Iyas.

"Yas.."

"Apa?"

"Aku rasa Tuhan selalu baik padaku.." kata A'ang.

"Alasannya?" tanya Iyas penasaran.

"Dia memberiku oksigen untuk bernafas, dan memberiku waktu untuk bisa berdua sama kamu hari ini.." A'ang menjawab.

"Oo.." Iyas cuma meng-O.

"Iya, semoga kapan-kapan bisa pergi berdua lagi ya.. Bilang aamiin dong.. Hehe,"

"Hehehe.. Yaudah, aamiin.." Kata Iyas.

"Yah, HP ku mati lagi.. nge-hank pasti.."

"Kok bisa?"

"Iya, nggak tahu nih, sering banget gini.."

"Oo.."

"Tapi nggak apa-apa lah, mungkin HP nya juga lagi tidak ingin mengganggu kita berdua.. Kalo kata orang-orang sih quality time.. Biar nggak terlalu sering memperhatikan HP.."

"iya, betul.."

"Lagian lebih baik memperhatikan kamu yang sudah diciptakan Tuhan untuk bersamaku hari ini.. Lebih indah," kata A'ang.

"Apaan sih?" Iyas malu-malu.

"Eh, udah yuk, kan rencananya kita mau cari makan tadi.." ajak A'ang.

"Ok, yuk.." Iyas menyetujui.

"Bu.. Sampun, pinten niki?" kata A'ang yang artinya : Bu.. Sudah, berapa (harga) ini?"

"Nggih.. Dadose kalih dasa mas," jawab si ibu yang artinya : Iya.. Jadi semuanya dua puluh (ribu) mas.

A'ang membayarnya dan kemudian pergi bersama Iyas menuju tempat parkir untuk mengambil motor. Bukan mengambil untuk dicuri, tapi mengambil motor yang tadi mereka titipkan disana. Yang dijaga oleh mas-mas petugas parkir itu. Tapi sebelumnya, A'ang mengajak Iyas ke masjid Saka Tunggal yang ada di area Taman Sari dulu untuk sholat dzuhur sendiri-sendiri karena dzuhurnya sudah lewat daritadi. Nggak bisa berjamaah. Sebenarnya Iyas cuma nunggu emperan masjid, tidak sholat mungkin sedang halangan atau mungkin sedang nggak mau sholat, jangan suudzon. Bisa juga karena disuruh jagain tas dan sepatunya A'ang biar tidak hilang diambil orang. Sebenarnya diambil orang pun tidak apa-apa wong isi tas A'ang itu nggak ada duitnya, cuma ada benda-benda yang tidak penting untuk dicuri.

"Udah Ang?" tanya Iyas setelah mendapati A'ang ada disebelahnya.

"Udah.. Sekarang saatnya cari makan.. Mau maem dimana Yas?" kata A'ang.

"Ditempat makan, hehe.." Iyas menjawab.

"Maksudnya mau makannya didaerah mana? Gitu lho Yas, hehe.."

"Terserah.." jawab Iyas.

"Bakso mau?" tawar A'ang.

"Lagi nggak pingin bakso, hihi.."

"Lah.. Mie ayam?"

"Lagi pingin makan nasi.. Tadi pagi belum sempat sarapan, hehe.."

"Ok, kita makan nasi.. Tapi aku biasanya makan nasi yang sederhana lho yas, yang khas anak kost, hahaha.."

"Iya, nggak apa-apa, biar aku ngerti, yuk.." Iyas setuju.

"Ok deh, berangkaat.."

Merekapun pergi menuju arah utara mencari tempat makan, melewati plaza ngasem, kemudian ke Barat lalu belok ke selatan, belok lagi ke Barat, belok lagi ke Selatan, sampai ketemu pertigaan kemudian belok lagi ke arah Timur. Melewati beberapa tempat makan tapi belum ada yang Iyas maui. Sampai ketika sudah hampir sampai di Alun-alun Selatan alias Alun-alun Kidul, HP A'ang berbunyi. Ada yang telepon. Ternyata si Egit. Minta tolong isikan pulsa. Egit ini teman kost-nya A'ang tapi beda kamar, kebetulan mereka juga kerja ditempat yang sama. A'ang pun kemudian minta Iyas untuk mengisi pulsa Egit, kebetulan Iyas punya tetangga yang jualan pulsa, jadi tinggal bilang dulu, bayarnya nanti.
Sudah itu mereka jalan lagi sampai muter Alun-alun kidul dua kali, belum juga ada tempat makan yang cocok. Jadilah mereka lewat ke Timur melalui jalan Langensari kemudian tembus ke utara ke jalan yang menuju daerah Wijilan. Tempatnya warung nasi Gudeg berada. Tapi Iyas nggak mau makan gudeg, bosan katanya. Yasudah, mereka terus bergerak diatas motornya untuk melintasi plengkung wijilan dan kemudian berbelok kearah timur menuju daerah Gondomanan, ketemu pertigaan mereka belok kanan, itu artinya kearah Selatan, terus bergerak sampai hampir ke Pojok Benteng Wetan. Iyas menyarankan untuk belok lagi, mungkin merasa lapar dan merasa kalau mau cari makan aja kok susah banget, atau mungkin memang sudah capek.
Akhirnya mereka belok ke arah Utara dan masuk ke tempat makan bertuliskan PANGHEGAR CAFE 99. Kalian jangan berpikiran bahwa itu cafe tempat nongkrong anak-anak muda jaman sekarang, karena itu adalah sebuah nama WARMINDO (WARung Makan INDOmie) yang banyak menyajikan mie rebus dan mie goreng yang populer dikalangan anak kost. Yang penjualnya adalah orang suku sunda yang tidak rasis, karena membolehkan orang dari suku manapun makan ditempatnya. Dengan itu menunjukkan bahwa Indonesia tetap satu walaupun berbeda-beda.
A'ang dan Iyas pun makan disitu, nasi sayur pakai ayam, minumnya es teh dan es jeruk. Mereka makan tanpa banyak bicara. Karena kalau makan sambil berbicara takut nasinya muncrat keluar dari mulut dan menyebar kemana-mana. Setelah makan selesai, barulah mereka ngobrol.

"Ang, kamu kelaparan? Tadi makannya cepet banget.. Hihihi," Iyas membuka obrolan.

"Nggak, kan memang biasa makan cepet, hemat waktu.. Hehe," jawab A'ang.

"Oh iya, kalo di kantor juga kan begitu.. Hmmm," Iyas memaklumi.

"Gimana, udah tahu kan menu nya anak kos?"

"Udah, hehe.."

"Seringnya malah nasi telor Yas.. Ini aja kebetulan lagi ada duit, jadi beda.. Hahaha," A'ang berkelakar.

"Nanti habis ini mau langsung ke tempat tukang kaosnya?" Iyas bertanya.

"Iya, biar nggak kesorean, biasanya kalo sore hujan.."

"Iya, bener.."

"Yaudah, yuk.. Aku bayar dulu," kata A'ang sambil bangkit dari duduknya.

"Pakai uangku aja Ang.." sergah Iyas.

"Beneran?"

"Iya, nggak apa-apa.." jawab Iyas.

"Yaudah kalo gitu.."

Iyas pun kemudian menuju kasir dan membayarkan sejumlah uang sesuai dengan apa-apa yang tadi mereka makan dan minum. Sudah itu mereka naik motor. Melanjutkan perjalanan. Tujuan mereka selanjutnya adalah daerah Ngampilan. Tapi dijalan tiba-tiba A'ang mengajak Iyas untuk mampir ditempat foto yang sedang hits di Instagram kala itu, yaitu yang disebut sebagai Gereja Gothic Gondomanan atau Istana Disney Yogyakarta karena bangunannya yang mirip istana yang ada pada logo Walt Disney. Walaupun sebenarnya bangunan itu hanyalah rumah tua yang kebetulan arsitekturnya mirip gereja dan istana.

"Ini Yas, bangunannya kalau dilihat dari dekat seperti ini," A'ang berkata sambil tetap duduk diatas motor disebuah gang yang tepat disamping bangunan itu.

"Oo.. Serem ya.." kata Iyas.

"Mau foto-foto disitu nggak?" kata A'ang sambil menunjuk ke tanah lapang diseberang gang, ada juga orang-orang disitu sedang foto-foto.

"Iya, coba kesitu dulu Ang.." ajak Iyas.

"Ok." A'ang mengiyakan dan menjalankan motor kesitu.

"Waah.. Kalo dari sini bagus ya.." Iyas takjub.

"Iya, makanya rame.."

"Kamu berdiri disitu Ang, tak fotoin.." suruh Iyas.

"Ok, arahin gayanya juga ya," A'ang menurut.

"Ya, nanti gantian ya.."

Disitu A'ang dan Iyas berfoto bergantian, ada juga yang foto berdua. Tapi cuma sebentar, karena cuaca panas dan tak ada tempat berteduh. Mereka pun pergi lagi. Kali ini benar-benar menuju Ngampilan. Ya, dari situ belok kiri langsung ada traffic light, langsung putar balik mumpung tidak ada polisi menuju perempatan Gondomanan. Lalu belok kiri jalan terus menuju arah nol kilometer Jogja, itu jalan Senopati, kemudian lurus terus menuju jalan Ahmad Dahlan sampai ketemu perempatan Serangan, belok kanan didepan hotel Cavinton, terus saja kearah Utara sampai bertemu Gang Mulkemis yang tepat disamping toko Roti Ganis. Kesanalah mereka, untuk urusan tentang kaos. A'ang masuk ke rumah pemilik usaha sablon itu setelah parkir motor disebuah gang. Iyas tidak ikut, dia memilih untuk melihat-lihat pemandangan disekitar situ. Beberapa menit kemudian A'ang keluar lagi.

"Yas.. Yas.." A'ang memanggil Iyas yang sedang asyik melihat pemandangan pinggir kali.

"Eh, iya, udah Ang?" tanya Iyas sambil berjalan mendekat kearah A'ang. Langkahnya anggun.

"Kaosnya belum jadi, pulang aja yuk.."

"Yuk.."

"Atau mau jalan lagi?" tawar A'ang.

"Kemana?" tanya Iyas.

"Tanpa tujuan, asal sama kamu terus hari ini.. Hehehe," jawab A'ang.

"Huuu maunya.."

"Gimana?"

"Tapi nanti aku mau ke Nava Green Salon jam setengah tiga.." kata Iyas.

"Ngapain?" A'ang bertanya.

"Beli krim.. Sebentar aja sih.." Iyas menjawab.

"Batalin aja ya.. Atau pulangnya aja baru mampir kesana.. Ya?" A'ang merengek.

"Ok deh.. Biar kamu senang.." Iyas menyetujui.

Tapi Tuhan berkehendak lain. Tepat di depan D'SENOPATI HOTEL hujan turun dengan deras dan membuat A'ang dan Iyas berhenti. Bukan untuk masuk hotel. Tapi memakai jas hujan yang ada didalam jok motor Iyas. Jas hujan yang bagian tangannya hilang seperempat. Tapi masih bisa digunakan untuk melindungi badan dari air hujan. Bagian kaki tetap basah. Iyas berlindung dibalik tubuh A'ang yang berjas hujan. Kasihan Iyas tetap kena air hujan. Untungnya hujan sudah agak mereda ketika sudah sampai di jalan Sultan Agung. A'ang terus melajukan motor dengan santai.

"Yas, ini nanti melewati rumahmu ya?" tanya A'ang.

"Iya, kenapa?"

"Sepi nggak?"

"Cuma ada babeku dirumah, mama belum pulang kerja.."

"Mampir dulu aja gimana?"

"Ya nggak apa-apa sih.. Yuk," ajak Iyas.

"Tapi jangan dulu ding, nanti dikira gimana-gimana.. Malu, hehehe.."

"Gimana-gimana gimana?" tanya Iyas bingung.

"Ya nggak enak aja, tadi kan kamu keluar sendiri, tiba-tiba pulang bawa cowok.. Nanti ketahuan kalau kamu jemput aku dan antar aku pulang.. Nggak enak lah.." jelas A'ang.

"Oh gitu.."

"Iya, nggak jadi aja ya.. Kita langsung ke kosanku aja.."

"Ok deh.."

Mereka berdua pun terus melaju diatas dua roda yang menyusuri basah jalanan di Jogja. Melewati Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara. Terus melaju sepanjang jalan itu sampai tak terasa kemudian sampai dikosnya A'ang. Hujan masih turun. Satpam kost yang jaga sore itu adalah Pak Irawan, tidur dia. Ya memang paling asyiik ketika hujan deras adalah tidur. Egit juga sepertinya sedang tidur.
A'ang segera naik kelantai atas menuju kamarnya. Iyas membuat teh panas kemudian menyusul A'ang ke kamarnya. Duduk mereka diatas kasur. Sambil sesekali menyeruput teh hangat yang sudah dibikin oleh Iyas.

"Sini Yas, mau lihat koleksi alat-alat sulapku nggak?"

"Mana? Coba lihat.."

"Niih.. Taraaaa.." kata A'ang sambil membuka kotak properti sulapnya yang berisi macam-macam barang untuk perform sulap.

"Waaah.. Banyak banget Ang.."

"Iya, harus banyak, kan jurusnya juga banyak.."

"Eh, ada tikus juga, tikusnya lucuuu.." kata Iyas dengan suaranya yang menggemaskan. Kalau kalian dengar langsung mungkin akan terdengar lucu.

"Ada boneka anjing juga lho.." kata A'ang sambil mengeluarkan sebuah boneka dari dalam lemari.

"Wow iya.. Sini dong, pinjam.." Iyas meraihnya lalu dipeluknya boneka itu..

"Senang nggak?"

"Senang.. Lucuuu.. Aku bawa pulang ya.."

"Boleh.. Sama orangnya juga boleh.. Kan orangnya juga imut.. Hehehe.."

"Nggak mau, orangnya serem.." kata Iyas.

"Mau lihat sulap lagi nggak?" tawar A'ang.

"Nanti aja.. Sekarang ngantuk.. Nyanyiin dong pakai gitar, biar sampai bobok.."

"Iya, tolong ambil gitarnya disitu.."

"Ini.." kata Iyas sambil menyerahkan gitar ke A'ang.

Kemudian A'ang menyanyikan lagu Kasih Jangan Kau Pergi. Tapi Iyasnya nggak tidur-tidur, jadi deh nambah beberapa lagu sampai kira-kira pukul empat sore. Hujan belum reda dan Iyas ternyata nggak jadi tidur. Malah ngajak main sulap lagi. Ya, akhirnya A'ang mau main sulap kartu lagi demi membuat Iyas senang saat itu sebagai timbal balik karena telah membuat A'ang senang hari itu. Sampai akhirnya Iyas pamit pulang karena sudah sore. Sore yang syahdu di Jogja yang habis diguyur hujan. Sore yang indah bagi A'ang. Sore yang menyenangkan bagi Iyas. Sore yang akan terus dikenang dalam benak A'ang. Sampai akhir menutup mata.

BERSAMPUN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar