Minggu, 04 Maret 2018

KISAH KENTANG DAN TOMAT

Kentang adalah sebuah sayuran yang kadang ada dalam sayur sop. Bentuknya bulat tidak beraturan dan kadang juga lonjong, warna kulitnya cokelat agak terang. Itulah kentang.

Tomat adalah nama buah yang kadang dianggap sebagai sayuran. Ketika muda warnanya hijau, setelah dewasa warnanya berubah menjadi oranye kemerah-merahan. Tomat ini berbentuk bulat dan empuk, kulitnya tipis.

Suatu hari kentang bertemu dengan tomat disebuah pasar tradisional. Kentang langsung jatuh cinta pada tomat. Seperti biasa, lelaki memang mudah jatuh cinta pada pandangan pertama. Sehingga kentang pun menyatakan cinta kepada tomat.

Tetapi sayang, tomat berfikir bahwa mereka tidak bisa bersatu karena adanya perbedaan. Beda kelas buah dan sayur. Beda bentuk dan warna. Beda tempat tumbuh juga. Kentang tumbuh didalam tanah sedangkan tomat tumbuh bergelantungan didahan pohon. Tomat menolak cinta kentang.

Tapi kemudian kentang meminta tomat untuk menunggunya. Kentang akan mencari jalan agar mereka bisa bersatu. Akhirnya kentang merelakan diri untuk tubuhnya dipotong-potong dan digoreng. Setelah itu kentang menghampiri tomat.

Seakan mengerti apa maksud dan tujuan kentang datang dengan keadaan seperti itu, tomat pun merelakan dirinya untuk dipotong-potong dan diblender hingga menjadi saus tomat.

Akhirnya setelah masing-masing berkorban untuk menuju kepentingan bersama, mereka pun bisa bersatu di meja makan sebagai kentang goreng dan saus tomat yang enak dimakan. Apalagi kalau dikasih gratis.

Pesan Moralnya : perbedaan tidak bisa diubah menjadi persamaan, tetapi akan bisa dipersatukan jika saling memahami, saling mengerti, saling menghormati dan saling melengkapi sehingga menjadi kombinasi yang pas.

Pesan untuk Kentang, mungkin suatu saat ada cabe-cabean yang datang menggodamu.

Salam sayang,

Zen
Penulis buku THE TAMPAN DECORATORS

Minggu, 25 Februari 2018

SI MUKA LAKBAN : RENDESVOUZ I

Saat itu aku berada di Pulau Bali. Ya, aku sedang tidak berada di Jogja. Tapi sayang Bali nya sedang suka sedih, sering hujan. Seperti pagi ketika itu, pagi yang masih buta karena belum melek mataharinya. Aku sudah terdampar di emperan toko di Jalan Legian karena tidak ingin tas serta pakaianku basah kena air hujan. Aku tidak membawa payung dan jas hujan. Dalam dingin pagi itu aku merenung sejenak, tidak menyangka akan bisa sampai ditempat itu, kenapa aku bisa sampai ditempat itu, dan untuk apa aku berada ditempat itu.

Hujan sudah mulai mereda menjadi gerimis yang hanya seperti percikan buih ombak ketika menghantam badan kapal ataupun batu karang. Aku lihat seorang wanita paruh baya dengan selendang kuning dipinggangnya sedang membawa canang berisi sesajen yang kemudian ditaruh pada pamerajan dan ditrotoar depan toko yang mungkin miliknya. Itu menandakan bahwa aku memang sedang berada di Pulau Bali, dimana yang sebagian besar penduduknya beragama Hindu Dharma dan gemar memberikan persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala bentuk manifestasinya dengan tujuan agar semua kegiatan yang dilakukan bisa berjalan lancar dan selamat. Aku juga masih di bumi karena aku masih bisa melihat sepasang kekasih berjalan masuk ke bilik ATM untuk menarik uang tabungan mereka sendiri. Aku pun melanjutkan perjalananku ke arah selatan dan kemudian belok ke arah barat menuju pantai Kuta. Sementara kendaraan bermotor sudah mulai ramai dijalan Legian pagi itu. Aku tetap melangkah ditanah yang masih asing bagiku. Untuk mencari dimana letak hotel yang sudah aku pesan untuk tempat singgahku selama di Bali. Bersama pagi yang terus dihujani jarum-jarum air dari langit.

***

Aku terbangun dari tidurku pukul dua belas siang diatas kasur sebuah hotel disekitaran Poppies Lane II. Aku raih handphone ku. Ada pemberitahuan dari aplikasi Whatsapp, Facebook, dan Instagram. Yang aku buka pertama kali adalah akun Instagram karena aku yakin itu dari seseorang yang akan aku temui di Bali. Jadi, dia pernah berkata bahwa dia akan memberikan nomer hp nya ketika aku sudah ada di Bali, dan tadi pagi aku sudah mengabarinya lewat Instagram karena kami sebelumnya hanya berkomunikasi lewat menu Direct Message pada instagram. Kami berkenalan juga lewat Instagram. Terimakasih Instagram.

"Ini nomer hapeku hai Si Muka Lakban.. 08xx xxxx xxxx.. Tapi aku harus isi pulsa dulu karena kartunya dalam masa tenggang.." begitu yang aku baca.

Kemudian aku balas," Ok Can.. terimakasih.."

Kemudian aku mandi. Sepertinya aku tidak usah menyebutkan kalau aku juga beribadah karena aku takut disangka riya'. Jadi sehabis mandi aku makan bekalku yang masih ada yaitu roti lapis berisi coklat satu potong. Itu sudah cukup untuk mengisi perutku. Sesudah itu aku bersantai sambil nonton tivi. Aku setel saja channel Bali TV biar aku mengerti berita yang ada di Bali dan juga kebudayaan dan tradisi yang ada di Bali. Itu aku lakukan karena seseorang yang akan aku temui itu masih praktek jadi perawat di RSUD Bangli. Masuk pagi jam tujuh, pulang siang jam dua.

Waktu terasa cepat berlalu tinggalkan cerita pagi tadi. Sudah jam dua lebih. Aku kirim SMS ke orang yang aku panggil Canti itu.

"Sudah pulang dari rumah sakit belum Can?"

Tidak ada jawaban. Aku kirim lagi pesan ke dia sekitar jam tiga sore.

"Nanti kita jadi ketemu dimana?"

Tidak ada jawaban lagi.

Aku pun memutuskan untuk bersiap-siap pergi. Menemui Canti ke rumahnya. Kebetulan dulu aku sudah dikasih alamat rumah tempat dia tinggal yaitu di Jalan Kalantaka, Gianyar. Bermodalkan Google Maps dan motor sewaan, aku nekat dari Kuta ke Gianyar karena belum tahu daerah Bali sama sekali. Tentunya juga mengandalkan insting manusia yang punya hati dan juga plang-plang petunjuk jalan yang dibuat oleh Dishub. Terimakasih Dishub karena sudah membantu perjalananku. Ternyata jarak dari Kuta menuju Gianyar lumayan jauh, harus melewati Denpasar juga. Belum lagi harus kena macet dan juga lampu lalu lintas yang merahnya lama. Kalau bingung saat dipersimpangan aku berhenti dulu untuk bertanya pada Google Maps. Begitu terus sampai akhirnya aku masuk ke pusat Kabupaten Gianyar yang ditandai dengan patung Patih Kebo Iwa berukuran besar. Kemudian ditengah kota juga aku temui Taman Ciung Wanara yang tentunya ada patung berukuran besar juga. Aku sudah dekat dengan jalan kalantaka. Aku dapatkan tanda jalan kalantaka dan menyusurinya dengan pelan biar aku tidak melewatkan rumah Canti. Aku haus dan aku putuskan untuk berhenti membeli minuman disebuah warung. Eh, itu warung atau toko ya? Yang jualan gas elpiji tiga kiloan, terus jual aneka makanan, ada juga minuman dingin, dan macam-macam barang lainnya. Pokoknya itu deh. Aku beli minuman disitu.

"Ibu, beli minuman.." kataku. Untuk di Bali aku tidak memakai lakban di mulutku karena aku tahu di Bali mungkin aku akan dicurigai sebagai teroris atau orang gila jika berpenampilan aneh, bukannya ketemu Canti tapi malah diciduk satpol PP.

"Iya," jawab pemilik toko itu sambil tetap membuat canang dari janur.

"Ini berapa?" tanyaku sambil menunjukkan sebotol minuman dingin.

"Lima ribu.."

"Ini uangnya Bu.." aku berkata sambil menyerahkan uang kertas berwarna biru.

"Ini kembaliannya.." pemilik toko itu berkata sambil menyerahkan beberapa lembar uang kertas kepadaku, warnanya ada yang hijau, cokelat, dan juga ungu.

"Terimakasih Bu.." lalu aku minum seteguk.

Kemudian aku bertanya pada ibu pemilik toko itu.

"Bu, ini benar jalan Kalantaka?" aku bertanya.

"Iya betul," jawab ibu itu dengan logat Bali nya yang khas.

"Kalau Jalan Kalantaka nomer x dimana ya?" aku bertanya lagi.

Waktu itu ada anak lelaki usia belasan yang sepertinya juga mau membeli sesuatu disitu. Ibu itu belum menjawab pertanyaanku yang tadi. Jadi aku ulangi lagi pertanyaanku.

"Ini, ibu tahu Canti? Jalan Kalantaka nomer X.." tanyaku lagi.

"Canti? Siapa? Kamu ngerti?" Ibu itu bingung dan bertanya pada anak lelaki tadi.

"Mang Canti.." kataku menegaskan, barangkali mereka tahu.

"Oo.. Mang Santi?" kata ibu itu.

"Itu kakak saya.." kata anak lelaki itu menyahut.

"Iya, ada dirumah nggak?" tanyaku ke adiknya.

"Baru pergi, pakai jaket, kayaknya mau pergi jauh.. Ayo kerumah dulu kak, ada Bapak dirumah.." anak itu menjelaskan padaku dengan ramah lalu pergi kerumahnya yang ternyata ada disamping toko itu.

"Mas nya teman Santi?" Ibu pemilik toko itu bertanya.

"Iya bu.." jawabku sambil mengambil hape khusus telepon dan SMS.

"Dari mana?" tanya ibu itu lagi.

"Dari Jogja bu, baru pertama kali kesini.. Sudah janji sama Canti," jawabku lagi.

"Coba ditelepon dulu, ada nomer hapenya kan?"

"Iya, ada.. Wah.. Dia malah ke Denpasar.. ngajakin ketemu disana.. berarti tadi papasan di jalan.." aku berkata sambil mencoba menelepon Canti.

"Kak, masuk kerumah dulu kak.." adiknya Canti berkata setengah teriak dan pergi naik motor.

"Iya.." balasku. "Bu, saya numpang duduk dulu ya sambil nelepon Canti.."

"Iya silakan.."

"Halo.. Can.. Aku sudah di jalan kalantaka nih, kamu dimana?" kataku setelah telepon tersambung.

"Aku di Denpasar.. Kamu sudah dirumahku?" kata Canti.

"Belum.. Ini lagi di toko dekat rumah kamu.. Maaf tadi aku lagi di jalan dan nggak buka hape, jadi nggak tahu kalau kamu ke Denpasar.. Aku susul kesana ya?"

"Nggak usah.. Kamu tunggu aja dirumahku, ini aku mau pulang.. Ketemu dirumah aja, tunggu ya.." Canti berkata begitu lalu menutup telepon.

"Gimana mas? Santi nya mau pulang?" tanya ibu pemilik toko.

"Iya, yaudah Bu, saya kesitu dulu.. lewat mana ya?"

"Itu ada pintu gerbang kecil masuk saja.. motornya juga dibawa masuk.." saran ibu pemilik toko.

"Iya.. mari.." aku berkata sambil menuntun motor sewaan itu masuk ke dalam lingkungan rumah Canti yang didalamnya terdapat beberapa rumah. Sempat digonggongi anjing peliharaan Canti yang aku tahu bernama Cika, berjenis kelamin betina, berwarna kelabu dan punya kalung berwarna ungu. Tadi didepan juga ada gerbang seperti pura tapi tidak untuk lewat motor.

"Swastiastu.." aku berkata menirukan salam orang Bali kepada seorang lelaki yang punya rambut panjang, berkumis dan berjenggot.

"Swastiastu.." lelaki itu menjawab.

"Saya teman Mang Canti pak," kataku.

"Oo.. Teman kuliah?" tanya lelaki itu yang mungkin adalah bapaknya Canti.

"Bukan.. Saya dari Jogja.." jawabku sambil menjabat tangannya.

"Saya bapaknya Mang Santi.. Mang Santi nya sedang keluar tadi.. Adik sudah janjian sama dia?"

"Sudah pak, tadi sudah saya telepon, katanya lagi di Denpasar.. sekarang mungkin di jalan mau pulang," jelasku.

"Oh iya, silakan duduk dulu," perintah bapaknya.

"Nggih.." jawabku sambil meneruskan dengan pertanyaan, "Sedang bikin apa itu pak?"

"Oh ini.. Pelangkiran.. buat naruh canang atau sesajen.." jawab si bapak.

"Oh gitu.." aku menimpali. Buat yang belum tahu apa itu Pelangkiran, itu adalah benda berbentuk kotak terbuka berkaki empat pada bagian bawah, kemudian dibagian atasnya yang depan lebih rendah daripada bagian belakang, biasanya diukir motif bunga-bunga dan dedaunan disertai simbol suci umat Hindu yaitu OM KARA atau ONG KARA.

Sementara Bapaknya menyelesaikan pelangkiran itu aku berusaha menenangkan diri dan kalem dengan minum minuman botol yang tadi aku beli karena si Cika sepertinya ingin selalu dekat dengan aku, mungkin pingin kenalan sama orang baru. Aku sih tidak apa-apa selama dia tidak menjilat.

"Cika.. Cika.. Hush!" begitu perintah bapaknya Canti ketika tahu bahwa si Cika mendekat padaku.

Kemudian aku melihat sesosok pria lain yang berkacamata, tinggi, kurus, memakai sarung sedang meletakkan persembahan di pura pribadi keluarga yang berada depan rumah Canti. Yang aku tahu dia sedang sembahyang menurut kepercayaannya. Dan dia adalah kakaknya Canti.

Bapaknya Canti sudah selesai membuat pelangkiran. Kemudian aku disuruhnya pindah tempat duduk karena mau disapu biar bersih. Aku menurut saja karena sebagai tamu. Selesai menyapu, si bapak membersihkan diri dengan mencuci tangan dan kaki di kamar mandi yang tersedia sebagai kamar mandi bersama seluruh penghuni uma tersebut. Letaknya ada disebelah selatan, tepat dihadapan rumah yang ditempati Canti tapi berjarak sekitar sepuluh meter. Sesudah itu si bapak berpakaian dan merapikan rambutnya yang panjang dengan cara diikat dan digelung. Kemudian menemani aku duduk, dia bersandar didinding rumah. Kemudian seorang gadis kecil usia belasan membawakan aku segelas kopi susu panas.

"Ini kak kopinya," kata si gadis.

"Iya, terimakasih.." balasku sambil memegang gelas yang masih panas.

"Gita.. Tolong ajik dibuatin teh ya.." perintah bapaknya kepada si gadis yang ternyata bernama Gita.

"Nggih Jik.." jawabnya dengan bahasa Bali yang artinya iya pak.

"Mang Canti apa ten praktek?" tanya si bapak kepada si gadis.

"Praktek tapi tadi sampun mulih.. masuk semeng.." jawab si gadis.

"Silakan diminum dek.." kata si bapak sambil mengeluarkan bungkus rokok dari saku celananya kemudian menyalakannya.

"Nggih.." aku irit bicara.

"Jadi adek ini dari Jogja.. Disini tinggal dimana?" si bapak mulai bertanya.

"Di Kuta pak," jawabku singkat.

"Kenal Mang Canti dimana?"

"Eng.. Di Instagram.." aku agak ragu menjawabnya karena takut dikira penjahat medsos.

"Oo di instagram.."

"Iya," timpalku.

"Oo.. kerja atau kuliah?" tanya si bapak lagi.

"Kerja pak, kerjanya di Jogja.." jawabku.

"Kerja dibidang apa?"

"Saya kerja di dekorasi pak.. jadi bagian produksi, ya sama seperti bapak tadi bikin ukiran tapi dari gabus.." jelasku, buat yang belum paham gabus itu bukan ikan gabus ya, tapi styrofoam.

"Kalau di Jogja sistemnya dekorasi disewakan ya?"

"Iya pak, disewa buat acara nikahan, ulang tahun, gathering, bahkan kematian juga.."

"Oo gitu.." mungkin si bapak lelah, kemudian menghisap rokoknya kemudian meminum teh dari gelasnya.

"Iya," kataku sambil tersenyum diikuti menyeruput kopi susu yang agak panas.

"Itu plat motornya kok DK?" dia bertanya.

"Iya ini motor nyewa didekat hotel.." jawabku jujur.

"Jadi adek ini kesini liburan atau apa?"

"Eng.. Kebetulan di kerjaan lagi sepi proyek jadi saya ambil cuti.. sudah janji juga sama Canti mau main kesini.."

"Oh begitu.. Kapan sampai di Bali?" tanya si bapak.

"Tadi pagi pak.." kataku sambil sesekali menengok ke arah gerbang siapa tahu mang Canti pulang tapi yang ada malah Cika dibalik punggungku, bikin kaget saja.

"Ya.. beginilah rumah adat di Bali.. nggak ada ruang tamu, nggak ada kursi, duduknya di lantai.. tidur juga cuma pakai kasur nggak ada ranjang.. ini kamar Mang Santi disini sama adiknya yang tadi.. kalau itu kamar saya sama ibunya Mang Santi.. diatas kamar kakak-kakaknya.." jelas si bapak.

"Hehe.." aku hanya tersenyum.

"Gita.. tolong ambilkan hape di tas," perintah si bapak kepada anaknya yang bernama Gita.

"Nggih.." jawab Gita sambil meraih tas dan memberikan kepada bapaknya.

"Coba carikan ini nomernya Mang Canti.."

Beberapa detik kemudian terdengar suara dari seberang.

"Halo.." suara dari seberang. Aku dengar karena hapenya si bapak loudspeakernya diaktifkan.

"Halo.. Swastiastu.. Mang Santi? Dije jani Mang?" kata si bapak.

"Ampura niki ten Mang Santi.." kata suara dari seberang.

"Oo.. Ampura.. salah sambung berarti nggih.." kata si bapak sambil menutup telepon dan kemudian bertanya kepadaku. "Adek ada nomer Mang Canti?"

"Iya ada.. ini," kataku sambil memperlihatkan nomernya.

Kemudian si bapak mencoba menghubungi Canti. Tuuut.. Tuuut.. Tuuut.. Tuuut.. Tidak diangkat. Dicoba lagi pun tidak diangkat.

"Nggak diangkat, mungkin lagi dijalan.."

"Iya pak, palingan lagi dijalan," aku menimpali.

Datanglah seorang bocah lelaki gendut membawa kertas dan pulpen yang sepintas aku lihat dikertas ada tulisan nominal uang. Dan si bapak langsung paham untuk menyerahkan uang iuran sebesar lima puluh ribu rupiah dibayar tunai. Sah? Sah? Saaah.. Mungkin itu iuran untuk kegiatan upacara adat. Setelah menerima uang dan mencatatnya, bocah gendut itu pun pergi.

"Sebentar lagi Nyepi ya Pak?" tanyaku daripada bengong.

"Iya, nanti pertengahan bulan Maret," jawab si Bapak.

"Kegiatannya apa saja pak kalau Nyepi?" aku bertanya lagi.

"Itu, lima hari sebelum Nyepi, ada yang namanya Melasti.. jadi nanti semua melarung sesajen ke laut sebagai simbol menghilangkan hal-hal negatif biar berubah jadi positif.." jelas si Bapak.

"Oo begitu.."

"Terus ada juga yang namanya Pengrupukan.. itu kegiatan menerangi rumah dengan obor-obor dan juga pukul-pukul kentongan sebagai simbol mengusir mahluk-mahluk halus pembawa hal negatif supaya pergi.. Ada juga arak-arak ogoh-ogoh yang nantinya dibakar, itu juga sebagai simbol menghapuskan hal-hal negatif supaya berubah menjadi positif.." si Bapak menjelaskan dengan semangat.

"Terus kalau Nyepi nya itu sendiri?"

"Pas Nyepi itu kami melakukan Catur Brata, yaitu tidak boleh menyalakan api, tidak boleh bekerja, tidak boleh bepergian keluar rumah, dan tidak boleh membuat keributan ataupun bersenang-senang.. selama 24 jam, mulai dari jam enam pagi setelah pengrupukan sampai jam enam pagi pada hari berikutnya.. intinya untuk merenungi apa yang sudah kami lakukan satu tahun yang lalu dan merencanakan apa yang akan kami lakukan ditahun mendatang.." si Bapak meminum teh nya setelah menjelaskan panjang lebar.

"Oh begitu ya.. jadi benar-benar sepi ya suasananya.." kataku.

Belum sempat si Bapak menjawab, ada seorang cewek naik motor scooter matic berwarna cokelat datang, memakai helm, masker dimulutnya, memakai jaket abu-abu dan juga celana abu-abu masuk ke halaman rumah untuk kemudian berhenti dan turun. Aku meminum kopi susuku untuk sedikit menekan rasa nervous karena aku yakin cewek itu adalah Canti. Dan ini pertama kali aku menemui manusia di Bumi yang mengenali aku sebagai Si Muka Lakban, saat itu aku berani mengungkap siapa aku sebenarnya. Membuka lakbanku hanya untuk dia, yang berani berjanji untuk bertemu dengan aku jika aku datang ke Bali. Dia yang tidak takut kepada penampilanku yang seram dan seperti orang gila. Terimakasih Canti.

"Haai.. Akhirnya ketemu juga Zen Armstrong.." dia sedikit berlari sambil menjabat tanganku dengan senyum ceria.

"Hai juga Can.." kataku sambil menjabat tangannya juga sambil tersenyum.

"Sudah lama nunggu?" Canti berkata dengan logat Bali yang khas.

"Ya lumayanlah, ada setengah jam.." jawabku.

"Kok bisa tau rumahku?" dia bertanya heran.

"Tadi kebetulan tanya sama yang punya toko didepan itu.. tanya rumahmu, eh kebetulan ada adikmu juga.. ya akhirnya sampai disini," aku menjawab.

BERSAMBUNG








Jumat, 23 Februari 2018

BACKPACKER-AN DARI JOGJA KE BALI

Kali ini aku mau berbagi tentang pengalaman backpacker-an-ku ke Bali pada pertengahan bulan Februari tahun 2018 masehi. Aku pergi ke Bali bukan untuk tujuan berwisata atau tourism tapi karena ingin menepati janji dengan seseorang untuk bertemu disana. Aku tidak akan bercerita tentang pertemuan itu disini karena aku hanya akan berbagi tentang biaya dan proses perjalanan dari Jogja ke Bali yang mungkin bisa kalian jadikan referensi jika ingin backpacker-an sendiri atau rombongan.

Jauh hari aku sudah memesan tiket kereta ekonomi Sri Tanjung jurusan Stasiun Lempuyangan (Jogja) - Stasiun Banyuwangi Baru (Banyuwangi) dengan harga 94.000 rupiah, tapi karena aku pesan tiketnya lewat aplikasi KAI ACCESS dan bayarnya lewat INDOMARET jadi kena biaya admin 7.500 rupiah. Aku juga sudah pesan hotel low budget melalui aplikasi TRAVELOKA, waktu itu aku dapat hotel dengan harga 85.000 per malam dengan tipe single room yang berisi double bed, kipas angin, tivi, lemari, dan kamar mandi dalam. Aku booking untuk dua malam dengan jam check-in pukul 14.00 dan check-out pukul 12.00 jadi biaya hotel totalnya 170.000 rupiah.

Perjalanan aku mulai pada tanggal 13 Februari 2018 masehi pukul 07.00 WIB dari stasiun Lempuyangan.  Itu 14 jam di dalam kereta dan hanya  berbekal satu botol air mineral dan tiga lembar roti sandwich, ngirit sekaligus diet, hehehe. Sampai di Stasiun Banyuwangi Baru pukul 21.00 WIB. Dari situ aku langsung keluar dari Stasiun dan berjalan kaki menuju Pelabuhan Ketapang yang jaraknya dari Stasiun sekitar 500 meter. Sempat berhenti makan bakso juga dipinggir jalan lumayan murah 7.000 rupiah semangkok. Sehari belum terisi nasi nih perut karena pas sarapan juga pakai Mie Instant isi dua.

Kemudian mampir di Indomaret untuk isi amunisi perbekalan, air mineral plus roti sandwich lagi. Disitu bertemu kaum backpacker lain yang dari lain daerah, ada Afoy dari Tasikmalaya, kemudian ada Alim dan Asif dari Semarang. Daripada nggak ada teman, akhirnya kami berempat jalan bersama. Mampir di warung nasi goreng. Aku tidak ikut makan karena tadi sudah makan bakso, tapi minum teh hangat saja untuk basa basi sembari menunggu ketiga teman baruku itu makan. Teh hangatnya aku bayar 3000 rupiah.

Selesai makan kami langsung melanjutkan perjalanan ke pelabuhan Ketapang. Untuk info, penyeberangan di Pelabuhan ini ada setiap jam, jadi tidak usah takut ketinggalan kapal. Ongkos menyeberang per orang adalah 6.500 rupiah, oh iya, harus mengisi data diri sesuai KTP sebelum membeli tiketnya. Jadi, KTP ini sangat penting ketika kalian mau pergi ke Bali secara Backpacker. Di kapal ada rombongan backpacker lagi empat orang yang ternyata orang Tasikmalaya semua. Yasudah, akhirnya kami bergabung lagi menjadi delapan orang, karena semuanya belum pernah ada yang pergi ke Bali secara backpacker sebelumnya. Biar lebih rame dan lebih tenang lah karena banyak teman. Menyeberang dari Pelabuhan Ketapang sekitar pukul 22.30 WIB dan sampai di Pelabuhan Gilimanuk, Bali itu sudah pukul 24.00 WITA. Sebenarnya proses menyeberang itu cuma setengah jam, tapi karena perbedaan zona waktu jadi seperti beberapa jam.

Keluar dari Pelabuhan Gilimanuk, kami langsung menuju terminal Jembrana, lokasinya juga tidak jauh dari Pelabuhan, sekitar 300 meter. Masuk terminal, KTP diperiksa lagi sama pak Polisi dan Dishub. Setelah itu kami mencari bus jurusan Denpasar. Ongkos dari Gilimanuk ke Terminal Ubung, Denpasar kalau malam sebenarnya 50.000 rupiah, tapi kami tawar jadi 40.000 rupiah. Perjalanan dari Gilimanuk ke Denpasar sekitar 4 jam, pas banget adzan subuh sampai di terminal Ubung, Denpasar. Sempat nongkrong di depan Alfamart lama banget karena bingung tujuan berikutnya mau kemana, akhirnya sepakatlah kami untuk ke Kuta. Sempat terjadi tawar menawar dengan sopir angkot jurusan Ubung - Kuta. Sopir minta per orang dikenai tarif 15.000 tapi akhirnya jadi 12.000 per orang. Dari Ubung ke Kuta perjalanan memakan waktu setengah jam. Kalau jalan kaki sih bisa 2 jam lebih, hehe.

Kuta pagi itu hujan deras. Terpaksa berteduh di emperan toko yang sudah tutup. Kemudian Aku, Alim, dan Asif memisahkan diri dari kelima teman Sunda kami itu. Kami bertiga memutuskan untuk check-in di hotel sebagai tempat singgah sementara, aku ikut karena aku belum bisa check-in di hotel yang aku pesan. Lumayanlah sekedar untuk tidur dan ngecas hape, kurang lebih tiga jam aku tidur. Untuk itu aku iuran 25.000 rupiah, dan bonus Mie instant cup buat sarapan plus air mineral botol kecil. Jam 12 kami berpisah, aku menuju hotel yang sudah aku booking sebelumnya di Jalan Poppies II, Kuta. Check-in dan bersantai, menunggu waktu untuk bertemu seseorang yang aku ceritakan tadi. Oh iya, untuk bepergian aku menyewa motor dengan biaya 60.000 per hari. Aku sewa untuk dua hari, jadi semuanya 120.000 rupiah.

Sorenya aku jalan ke Gianyar untuk bertemu orang itu. Dari Kuta ke Gianyar perjalanan memakan waktu 1 jam 30 menit mengandalkan Google Maps karena aku tidak hafal jalan di Bali, nekat pokoke. Hahaha. Aku di Gianyar sampai jam 12 malam, itu masih tanggal 14 Februari 2018 masehi. Setelah itu pulang ke hotel. Tidur sampai siang, karena hujan sepanjang pagi tanggal 15 Februari 2018 masehi. Males banget mau ngapa-ngapain.

Sorenya aku jalan ke Pasar Seni Sukawati mendung agak gerimis. Beli barang pesanan teman sekaligus beli oleh-oleh untuk orang rumah. Udah gitu aja. Malamnya jalan jalan disekitar Legian, niatnya cari makan, tapi nggak selera, yaudah pulang ke hotel dengan snack dan air mineral saja. Nonton tivi sampai tertidur. Begitu bangun sudah tanggal 16 Februari 2018 masehi. Waktunya check-out dari hotel dan mengembalikan motor sewaan tadi.

Jumat, 16 Februari 2018 masehi. Niatnya mau jumatan tapi belum tahu letak masjid ada dimana, untungnya ketemu bapak-bapak pakai sarung, baju koko, pakai peci, dan naik motor. Aku bilang saja mau ikut jumatan, akhirnya dibonceng sampai Masjid Al Mujahidin di Kuta.

Rencana pulang naik bus yang langsung dari Bali ke Jogja batal karena sudah kehabisan tiket, terpaksa pakai rencana selanjutnya. Akhirnya naik GO-JEK dari Kuta ke Terminal Ubung, kena tarif 17.000 rupiah. Sampai di Terminal Ubung langsung naik bus jurusan Gilimanuk, bayar 40.000 rupiah. Sampai di Gilimanuk sekitar pukul 19.30 WITA, naik kapal bayar 6.500 lagi, ini yang unik, nyeberang pukul 20.00 WITA sampai di Ketapang malah pukul 19.30 WIB, hehehe.

Dari Pelabuhan langsung pesan tiket kereta, terpaksa beli jurusan Banyuwangi - Surabaya yang berangkat tanggal 17 Februari 2018 masehi jam 09.00 WIB karena yang jurusan Banyuwangi - Jogja sudah sold out. Aku pesan tiket lewat aplikasi KAI ACCESS lagi dan bayar di Alfamart, kali ini bayar 140.000 rupiah. Dan malam itu untuk pertama kalinya aku makan nasi. Kemudian mengisi perbekalan lagi dengan air mineral dan roti sandwich. Malam itu numpang tidur di Stasiun Banyuwangi Baru.

17 Februari 2018 masehi pukul 09.00 WIB berangkat dari Banyuwangi menuju stasiun Gubeng, Surabaya. Perjalanan memakan waktu sekitar 6 jam 25 menit dengan kereta Mutiara Timur Siang. Keluar dari kereta langsung pesan tiket kereta yang jurusan Surabaya - Jogja, tapi dengan kereta Pasundan yang sebenarnya jurusan Surabaya - Bandung. Aku pesan melalui aplikasi KAI ACCESS lagi dan bayar 94.000 rupiah, jadwal keberangkatannya tanggal 18 Februari 2018 masehi pukul 08.10 WIB. Ya, nginep lagi semalam di stasiun Gubeng, Surabaya. Sempat mampir di masjid dekat stasiun juga dari ashar sampai isya. Dan malamnya sempat nonton bola sambil makan dan ngopi di kedai yang ada di stasiun.

18 Februari 2018 Masehi pukul 08.10 WIB berangkat dari Surabaya menuju Jogja dengan bekal yang tetap konsisten air mineral dan roti sandwich. Akhirnya sampai di Jogja pukul 13.55 WIB lalu makan di warung soto yang harganya lebih murah daripada dikota lainnya. Setelah itu naik GO-JEK menuju kos-an dengan tarif 12.000 rupiah.

Itulah sekilas pengalaman perjalanan backpackerku dari Jogja ke Bali, kalian hitung sendiri habis berapa itu ongkosnya. Hehehe. Oh iya, yang jelas jangan lupa bawa KTP kemanapun pergi, itu penting. Selain untuk di cek ditempat-tempat tertentu juga berguna ketika check-in hotel dan sewa motor. Selamat menjalankan backpackeranmu.

Salam sayang dari aku,
Zen
penulis buku THE TAMPAN DECORATORS.

Kamis, 22 Februari 2018

TENTANG UCAPAN HARI RAYA

Mau ngomong soal agama ah..
katanya mengucapkan Selamat Natal berarti kita pindah agama, mengucapkan Selamat Nyepi berarti kita pindah agama..
kok gampang banget ya pindah agama? padahal pindah kos kosan aja kadang perlu waktu seminggu..
kalo gitu, solusi untuk yang pacaran beda agama, pasangannya disuruh ngucapin Selamat Idul Fitri aja biar pindah agama..
menurutku sih mengucapkan Selamat Hari Raya untuk agama lain itu sama seperti mengucapkan Selamat Makan.. Selamat Minum.. Selamat Tidur.. kita tidak selalu ikut makan, minum, dan tidur.. tetapi agar makan, minum, dan tidurnya selamat.
udah gitu aja.. aku mah ngertinya cuma gitu..

Rabu, 21 Februari 2018

PUISI DAN LAGU : ÇANTI

Bali 14 Februari

Langitnya sudah cerah
Sorenya jadi bagus
Bali semakin indah
Kamu juga cantik
Aku jadi suka

Itu ketika di Gianyar
Terbawa ke Denpasar
Melintasi Negara
Kemudian Jembrana
Sampai di Jogja

Jogja, Februari 2018 Masehi dan dingin

Kamu

Adalah yang bersedia menemui aku
Adalah yang bekerjasama dengan Tuhan
Adalah yang membuat soreku jadi indah
Adalah yang membuat malamnya juga indah
Adalah yang memakaikan syal dileherku biar tidak dingin katamu
Adalah yang memberi masker untuk mencegah dingin katamu
Adalah yang membuatkan kopi untuk aku biar tidak ngantuk katamu
Adalah yang berkata oh ketika aku menciummu

Bali, 15 Februari 2018 Masehi sedang hujan deras diluar

Kalantaka

Malamnya aku rasa dingin
Aku berfikir
Setan inikah yang membikin dingin?
Ya, Mungkin
Siap menjebak aku dan kamu
Bersatu
Dalam deru nafas yang memburu
Tengah malam itu
Di Kalantaka
Bersayap enam
Dan aku terbang
Kuajak dirimu juga
O!
Oh!
Oo..
Atau O?

ditulis di Jogja, awalnya Maret 2018 Masehi

Kalian

Hai! Itu Cika
Yang bulunya berwarna campur
Betina dia
Dilehernya kalung ungu

Hai! Itu Dora
Pelan langkah kala berjalan
Hitam dan putih warnanya
Aku kira boneka

Hai! Itu si Puki
Karena berwarna putih
Betina dan punya bayi
Dia itu kucing

Hai! Didalam kandang
Ada ayam sedang berbincang
Atau sedang saling sayang?
Ayamnya sepasang

Sekali aku bertemu kalian
Doakan biar bertemu lagi
Atau jadi majikan kalian
Mungkin lewat mimpi

Kuta, 16 Februari 2018 Masehi dan tumben panas

Selasa, 20 Februari 2018

KEBUDAYAAN BALI

Kebudayaan Bali
Suku bangsa Bali merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaannya, sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama. Walaupun ada kesadaran yang demikian namun kebudayaan Bali mewujudkan banyak variasi dan perbedaan setempat. Di samping itu agama Hindu yang telah lama terintegrasikan ke dalam kebudayaan Bali dirasakan pula sebagai suatu unsur yang memperkuat adanya kesadaran akan kesatuan itu.

Penduduk Bali asli adalah sebagian besar suku Bali menganut agama Hindu Dharma yang sangat terikat pada segi-segi kehidupan sosial, yaitu:
1. Pada kewajiban melakukan pemujaan terhadap pura tertentu
2. Pada satu tempat tinggal bersama atau komunitas
3. Pada pemilikan tanah pertanian dalam subak tertentu
4. Pada satu status sosial atas dasar warna
5. Pada ikatan kekerabatan menurut prinsip patrilineal
6. Pada keanggotaan terhadap sekehe tertentu
7. Pada satu kesatuan administrasi desa dinas tertentu

Perbedaan pengaruh dari kebudayaan Jawa-Hindu di berbagai daerah di Bali dalam zaman Majapahit dahulu menyebabkan adanya dua bentuk masyarakat di Bali, yaitu Masyarakat Bali-Aga dan Bali-Majapahit (wong Majapahit). Masyarakat Bali-Aga kurang sekali mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa-Hindu dari Majapahit dan mempunyai struktur tersendiri. Orang Bali-Aga umumnya mendiami desa-desa di daerah pegunungan seperti Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa, Tigawasa di Kabupaten Buleleng dan desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem. Sekarang ini komunikasi modern, pendidikan, serta proses modernisasi telah membawa banyak perubahan-perubahan juga dalam masyarakat dan kebudayaan di desa-desa tersebut. Orang Bali-Majapahit yang pada umumnya diam di daerah-daerah dataran merupakan bagian yang paling besar dari penduduk Bali. Kecuali di pulau Bali, ada juga orang Bali di bagian barat dari Pulau Lombok, sedangkan usaha transmigrasi oleh pemerintah telah menyebarkan mereka ke daerah-daerah lain seperti Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi dan Nusa Tenggara.

Leluhur orang Bali masuk ke Bali dalam tiga periode: gelombang pertama adalah suku proto-Melayu yang datang dari Jawa dan Kalimantan pada zaman prasejarah; gelombang kedua adalah migrasi sedikit demi sedikit dari Jawa pada zaman Hindu; gelombang ketiga dan terakhir juga datang dari Jawa sekitar abad ke-15 dan 16, masa konversi Islam di Pulau Jawa, para aristrokrat Jawa terutama dari Kerajaan Majapahit melarikan diri dari ke Bali untuk menghindari pengkonversion Islam, merekalah yang akhirnya membentuk kultur Bali yang merupakan suatu bentuk sinkretisasi dari kultur Jawa klasik dengan banyak tambahan elemen Bali. Kenyataannya memang leluhur suku Bali kebanyakan berasal dari Pulau Jawa.

1.1. Identifikasi Geografi

Secara geografis Bali terletak diantara dua lautan luas yaitu Samudra Indonesia dan Laut Jawa dan diapit oleh Pulau Jawa disebelah barat dan Pulau Lombok di sebelah timur. Bali merupakan bagian dari Kepulauan Sunda Kecil. Pulau Bali yang mempunyai panjang 153 km dan lebar 112 km secara astronomi terletak di 8°25′23″ Lintang Selatan dan 115°14′55″ Lintang Timur

Pulau Bali dikeliling oleh beberapa pulau kecil-kecil seperti Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Serangan yang terletak di selatan Pulau Bali dan Pulau Manjangan yang terletak di utara Pulau Bali. Pulau Nusa Penida merupakan pulau terbesar kedua jaraknya sekitar sembilan km dari pantai selatan Pulau Bali.

Pulau Bali yang terletak di deretan pegunungan api terdapat gunung berapi yang masih aktif diantaranya Gunung Agung dan Gunung Batur. Gunung Agung merupakan gunung tertinggi di Bali setinggi 3.148 m. Gunung Agung pernah meletus tahun 1963 yang menyebabkan hujan abu di sebagian besar Pulau Bali. Sedangkan Gunung Batur terakhir meletus tahun 1994 dimana letusannya tidak begitu besar.

Deretan pegunungan di Pulau Bali terletak di sebelah utara pulau, sehingga daerah utara Pulau Bali sebagian besar dataran tinggi. Berbeda dengan bagian utara, bagian selatan merupakan daerah dataran rendah yang subur. Keindahan dataran tinggi dengan pegunungan dan lembahnya juga dihiasi dengan danau. Ada beberapa danau di Bali yaitu Danau Batur, Danau Beratan, Danau Buyan dan Danau Tamblingan. Danau terbesar adalah Danau Batur yang letaknya di Kabupaten Bangli.

Karena letaknya disekitar 8° Lintang Selatan, Bali mempunyai iklim tropis jadi sepanjang tahun ada matahari. Umumnya daerah yang beriklim tropis mempunyai dua musim yaitu musim hujan dan musim panas. Di mana musim hujan biasanya jatuh sekitar bulan Nopember sampai bulan Maret dan musim kemarau jatuh sekitar bulan April sampai Oktober.

Pulau Bali yang beriklim tropis mempunyai beraneka ragam flora dan fauna. Sebagaian besar flora dan fauna yang hidup di Pulau Bali merupakan falura dan fauna yang umum hidup di daerah tropis (Jawa-Indonesia). Jalak Bali yang merupakan hewan langka yang dilindungi, keindahan bulu dan kicauannya membuat pecinta burung memburunya.

Walaupun dengan kekayaan tambang yang miskin tetapi Pulau Bali memiliki keindahan alam yang tiada duanya sehingga sering disebut paradise island. Keindahan alam yang mempesona para wisatawan dan dengan kekhasan budaya menyebabkan kemajuan yang pesat pada sektor pariwisata.

1.2. Identifikasi Demografi

Berdasarkan data statistik tahun 2002 tercatat jumlah penduduk di Bali sebanyak 3.216.881 jiwa yang terdiri dari 1.632.995 jiwa (50,76%) penduduk laki-laki dan 1.583.886 jiwa (49,24%) penduduk perempuan. Jumlah penduduk tahun 2002 ini naik 1,92% dari tahun sebelumnya sebanyak 3.156.392 jiwa. Dengan luas wilayah 5.632,86 km2, maka kepadatan penduduk di Bali telah mencapai 571 jiwa/km2.

Selain penduduk asli Bali ada juga pendatang dari Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatra, Sulawesi bahkan dari Kalimantan. Sebagian besar penduduk yang dari luar Pulau Bali ke Bali karana tugas pekerjaan dan mencari nafkah di Bali. Tapi ada juga yang sudah turun temurun bertempat tinggal di Bali sehingga sudah beradaptasi sama kebudayaan di Bali. Seperti kampung Bugis di Serangan, di Kepaon dan banyak lagi.

1.2.1. Bahasa

Bahasa Bali memiliki tradisi sastra, baik tulisan maupun lisan serta didukung oleh sistem aksara tersendiri. Bahasa Bali merupakan bahasa penghantar yang umum masyarakat Bali, selain itu bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional juga digunakan khususnya untuk hubungan formal. Sedangkan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional digunakan bagi masyarakat pelaku pariwisata. Lebih lanjut mengenai Bahasa dan Aksara Bali dapat dibaca pada bagian Produk Budaya.

1.2.2. Transportasi

Sebagaian besar penduduk Bali memiliki kendaraan sendiri, biasanya minimal mereka memiliki sepeda motor. Sehingga kendaraan umum kurang tersedia, kalaupun ada hanya melewati jalan-jalan tertentu dan rutenya terbatas, kecuali taksi. Jenis kendaraan umum di Bali antara lain:
- Dokar (kendaraan dengan menggunakan hewan kuda sebagai alat penarik)
- Ojek (kendaraan umum dengan menggunakan sepeda motor)
- Bemo (kendaraan umum sejenis mikrolet)
- Bemo dalam kota
- Bemo luar kota (dengan jenis lebih besar)
- Taksi
- Bus antar kota atau kabupaten
- Bus luar pulau

Untuk transportasi ke luar Pulau Bali, tersedia transportasi udara dan laut. Seperti pelabuhan Gilimanuk penyeberangan ke Pulau Jawa yang menggunakan kapal ferry yang memakan waktu antara 30 menit sampai 45 menit. Untuk penyeberangan ke Pulau Lombok, penyeberangan laut melalui pelabuhan Padang Bay menuju Lembar memakan waktu sekitar 4 jam. Juga kita bisa menggunakan transportasi udara yang dilayani oleh Bandara Internasional Ngurah Rai.

1.2.3. Pemerintahan

Propinsi Bali terdiri dari 8 kabupaten dan 1 kota madya, 51 kecamatan, 658 desa, 3.568 banjar dinas. Propinsi Bali dipimpin oleh seorang gubernur sedangkan kabupaten dipimpin oleh seorang bupati dan kota madya dipimpin oleh seorang walikota.

Daftar Daerah Tingkat II di Bali:
1. Kabupaten Badung
2. Kabupaten Bangli
3. Kabupaten Buleleng
4. Kabupaten Gianyar
5. Kabupaten Jembrana
6. Kabupaten Karangasem
7. Kabupaten Klungkung
8. Kabupaten Tabanan
9. Kota Madya Denpasar

1.3. Identifikasi Sejarah

1.3.1 Masa Prasejarah

Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya. Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan kita.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi menjadi:
1. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
2. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
3. Masa bercocok tanam
4. Masa perundagian

Sisa-sisa dari kebudayaan paling awal diketahui dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sejak tahun 1960 dengan ditemukan di desa Sambiran (Buleleng Timur), dan di tepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani) alat-alat batu yang digolongkan kapak genggam, kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat batu yang dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan di museum Gedung Arca di Bedahulu Gianyar.

Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua Selonding, Pecatu (Badung). Goa ini terletak di pegunungan gamping di semenanjung Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar yaitu goa Karang Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang pernah berlangsung disana. Dalam penggalian goa Selonding ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah alat-alat dari tulang. Di antara alat-alat tulang terdapat beberapa lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya diruncingkan. Sisa-sisa kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak batu persegi dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang pohon.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras. Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana).

Kebudayaan megalithik ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk mendapat bentuk yang diperlukan. Di daerah Bali tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri (menhir) yang terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di desa Trunyan. Di Pura in terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4 meter. Temuan lainnya ialah di desa Sembiran (Buleleng), yang terkenal sebagai desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan. Tradisi megalithik di desa Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga dewasa ini. Dari 20 buah pura ternyata 17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk megalithik dan pada umumnya dibuat sederhana sekali. Diantaranya ada berbentuk teras berundak, batu berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan susunan batu kali.

Temuan lainnya yang penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang terdapat di desa Gelgel (Klungkung).Temuan yang penting di desa Gelgel ialah sebuah arca menhir yaitu terdapat di Pura Panataran Jro Agung. Arca menhir ini dibuat dari batu dengan penonjolan kelamin wanita yang mengandung nilai-nilai keagamaan yang penting yaitu sebagai lambang kesuburan yang dapat memberi kehidupan kepada masyarakat.

Dari peninggalan-peninggalan arkeologi yang dapat dijumpai di Bali, membuktikan bahwa pada masa itu manusia Bali telah memiliki suatu kepercayaan yang tersistem walaupun masih sederhana yaitu:
- Kepercayaan pada gunung sebagai alam arwah tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Gunung dan laut melambangkan laki dan perempuan yang menciptakan kesuburan.
- Kepercayaan alam nyata dan tidak nyata. Alam nyata adalah tempat kehidupan di dunia ini sedangkan alam tidak nyata adalah alam yang dituju oleh orang yang telah meninggal. Dan di alam tidak nyata pun ada kemungkinan kembali ke alam nyata.
- Kepercayaan adanya kehidupan setelah kematian dan akan menjelma kembali atau yang saat ini dikenal dengan nama reinkarnasi.
- Kepercayaan terhadap roh nenek moyang yang dipuja untuk mohon perlindungan oleh keturunannya.

Manusia Bali keturunan Austronesia pada masa itu hidup berkelompok dan dipimpin secara kolektif oleh 16 Jro yang umumnya disebut dengan Sahing 16, dan kepala suku atau pimpinannya disebut dengan nama Jro Gede yang penunjukannya dilakukan dengan sistem hulu apad yaitu sistem giliran menurut usia tertua anggota persekutuan. Persekutuan kepemimpinan tersebut masih ada sekarang dan tetap dipertahankan di desa-desa Bali Aga, terutama dalam hal adat. Persekutuan hukum inilah yang diperkirakan menjadi cikal bakal desa-desa di Bali.

Manusia Austronesia inilah yang menjadi leluhur sebagian orang Bali Mula, yang kemudian membaur pada masa berikutnya dengan orang-orang yang datang dari luar Bali. Kebudayaan Bali Mula masih melanjutkan tradisi bangsa Austronesia, walaupun kedatangan kebudayaan agama Hindu, tetapi mereka hanya menerima upacara dan upakaranya saja, misalnya ngaben mereka terima tapi membakar mayat tidak, lalu muncullah istilah beya tanem. Dan saat ngaben, mereka tidak berani menghias wadahnya dengan kertas, parasbaan, kapas dan lain-lainnya, mereka hanya menggunakan bahan-bahan lokal seperti ambu, padang-padang, plawa dan sebagainya.

Mereka yang dikelompokkan sebagai warga Bali Mula, dengan ketua kelompok yang kemudian disebut dengan Pasek Bali, diantaranya adalah Pasek Taro.

1.3.2. Masa Sejarah

1.3.2.1. Masuknya Agama Hindu

Berakhirnya zaman prasejarah di Indonesia ditandai dengan datangnya bangsa dan pengaruh Hindu. Pada abad-abad pertama Masehi sampai dengan lebih kurang tahun 1500, yakni dengan lenyapnya kerajaan Majapahit merupakan masa-masa pengaruh Hindu. Dengan adanya pengaruh-pengaruh dari India itu berakhirlah zaman prasejarah Indonesia karena didapatkannya keterangan tertulis yang memasukkan bangsa Indonesia ke dalam zaman sejarah. Berdasarkan keterangan-keterangan yang ditemukan pada prasasti abad ke-8 Masehi dapatlah dikatakan bahwa periode sejarah Bali Kuno meliputi kurun waktu antara abad ke-8 Masehi sampai dengan abad ke-14 Masehi dengan datangnya ekspedisi Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit yang dapat mengalahkan Bali. Nama Balidwipa tidaklah merupakan nama baru, namun telah ada sejak zaman dahulu. Hal ini dapat diketahui dari beberapa prasasti, di antaranya dari prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada tahun 913 Masehi yang menyebutkan kata Walidwipa. Demikian pula dari prasasti-prasasti Raja Jayapangus, seperti prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1181 Masehi.

Di antara raja-raja Bali, yang banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa itu adalah Udayana, Jayapangus, Jayasakti, dan Anak Wungsu. Dalam mengendalikan pemerintahan, raja dibantu oleh suatu Badan Penasihat Pusat. Dalam prasasti tertua 882-914 Masehi badan ini disebut dengan istilah panglapuan. Sejak zaman Udayana, Badan Penasihat Pusat disebut dengan istilah pakiran-kiran i jro makabaihan. Badan ini beranggotakan beberapa orang senapati dan pendeta Siwa dan Budha.

Di dalam prasasti-prasasti sebelum Raja Anak Wungsu disebut-sebut beberapa jenis seni yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, baru pada zaman Raja Anak Wungsu, kita dapat membedakan jenis seni menjadi dua kelompok yang besar, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Tentu saja istilah seni keraton ini tidak berarti bahwa seni itu tertutup sama sekali bagi rakyat. Kadang-kadang seni ini dipertunjukkan kepada masyarakat di desa-desa atau dengan kata lain seni keraton ini bukanlah monopoli raja-raja.

Dalam bidang agama, pengaruh zaman prasejarah, terutama dari zaman megalitikum masih terasa kuat. Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramid atau bangunan berundak-undak. Kadang-kadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu tiang batu monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada zaman Hindu hal ini terlihat pada bangunan pura yang mirip dengan pundan berundak-undak. Kepercayaan pada dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya yang berasal dari zaman sebelum masuknya Hindu tetap tercermin dalam kehidupan masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu. Pada masa permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sri Wijaya Mahadewi tidak diketahui dengan pasti agama yang dianut pada masa itu. Hanya dapat diketahui dari nama-nama biksu yang memakai unsur nama Siwa, sebagai contoh biksu Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna. Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah agama Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, ada dua aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk, yaitu agama Siwa dan agama Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti-prasastinya yang menyebutkan adanya mpungku Sewasogata (Siwa-Buddha) sebagai pembantu raja.

1.3.2.2. Kedatangan Ekspedisi Gajah Mada

Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dilakukan pada saat Bali diperintah oleh kerajaan Bedahulu dengan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa. Dengan terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin ekspedisi bersama Panglima Arya Damar dengan dibantu oleh beberapa orang Arya. Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan kerajaan Bedahulu. Pertempuran ini mengakibatkan raja Bedahulu dan putranya wafat. Setelah Pasung Grigis menyerah terjadi kekosongan pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga.

1.3.2.3. Zaman Gelgel

Karena ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel. Pada saat inilah dimulai zaman Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama. Raja yang kedua adalah Dalem Watu Renggong (1460-1550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga beliau dapat mengembangkan kecakapan dan kewibawaannya untuk memakmurkan kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak kejayaannya. Setelah Dalem Watu Renggong wafat beliau digantikan oleh Dalem Bekung (1550-1580), sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made (1605-1686).

1.3.2.4. Zaman Kerajaan Klungkung

Kerajaan Klungkung sebenarnya merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel. Pemberontakan I Gusti Agung Maruti ternyata telah mengakhiri periode Gelgel. Hal itu terjadi karena setelah putra Dalem Di Made dewasa dan dapat mengalahkan I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel tidak dipulihkan kembali. Gusti Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, ternyata tidak mau bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas tempat persembunyiannya di Semarapura.

Dengan demikian, Dewa Agung Jambe (1710-1775) merupakan raja pertama zaman Klungkung. Raja kedua adalah Dewa Agung Di Made I, sedangkan raja Klungkung yang terakhir adalah Dewa Agung Di Made II. Pada zaman Klungkung ini wilayah kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi Swapraja (berjumlah delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten.

2. MATA PENCAHARIAN

Mata pencaharian utama masyarakat Bali adalah bertani meskipun Bali terkenal akan pariwisatanya. Hampir 70% dari mereka berpenghidupan dari bercocok tanam dan hanya 30% hidup dari peternakan, berdagang, menjadi buruh, pegawai, atau lainnya. Karena adanya perbedaan lingkungan alam dan iklim di berbagai tempat di Bali, maka terdapat perbedaan dalam pengolahan tanah untuk bercocok tanam.

Di daerah Bali bagian utara, tanah dataran sedikit dan curah hujan kurang sehingga bercocok tanam relatif lebih terbatas daripada di Bali selatan. Selain bercocok tanam di sawah, di Bali bagian utara sebelah timur dan barat terdapat usaha perkebunan buah (jeruk), palawija, kelapa, dan kopi (di pegunungan). Kebun kopi rakyat menurut catatan Dinas Pertanian, meliputi wilayah seluas 26.657 Ha dan terutama terdapat di daerah pegunungan daerah Buleleng (Singaraja) dan Tabanan. Kadang letaknya sangat tinggi dan sulit didatangi. Jenis kopi yang ditanam adalah Robusta dan Arabica. Hasil perkebunan ini diekspor dan cukup membantu perekonomian rakyat. Dari segi hasil, setelah kopi maka kelapa menjadi sumber pendapatan yang juga penting. Luas kebun-kebun kelapa mencapai 6.650,5 Ha. Kelapa juga merupakan komoditi ekspor selain digunakan untuk keperluan lokal. Selain untuk membuat kopra, batok serta serabut kelapa digunakan untuk bahan kerajinan rakyat. Sedangkan hasil perkebunan buah seperti jeruk (di Kabupaten Buleleng) dan salak (di Karangasem), dijual terutama di kota-kota besar di Jawa.

Di daerah Bali selatan yang merupakan dataran yang lebih luas, dan pada umumnya dengan curah hujan yang cukup baik, penduduk terutama bercocok tanam di sawah. Untuk itu diperlukan sistem pengairan yang baik, maka berkembanglah sistem subak, yang mengatur pengairan dan penanaman di sawah-sawah. Bila air cukup, padi ditanam secara terus menerus tanpa diselingi penanaman palawija (sistem ini disebut tulak sumur). Sebaliknya, apabila keadaan air kurang cukup, maka diadakan giliran penanaman padi dan palawija (sistem ini disebut kertamasa).

Di daerah-daerah yang karena luas tanah pada umumnya tidak mencukupi keperluan penduduk yang bertambah padat dengan laju yang cepat, terdapat sistem penggarapan tanah yang dikerjakan oleh buruh tani. Sebelum ada undang-undang yang mengatur hal ini, terdapat berbagai sistem bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarapnya. Sistem bagi hasil tersebut misalnya nandu, pembagian setengah-setengah; nelon (3/5-2/5); ngepit (2/5-1/3); dan mrapat (3/4-1/4) antara pemilik dan penggarap. Di daerah yang airnya kurang atau mendapat air dari hujan, ditanam padi gaga, jagung, kacang-kacangan, dsb. Karena itu keadaan makan penduduk Bali di berbagai daerah berbeda-beda, ada yang makan beras tulen dan ada yang makan beras campuran (dengan jagung atau ketela rambat, disebut cacah).

Kecuali bercocok tanam, beternak merupakan usaha yang penting dalam masyarakat pedesaan di Bali. Binatang ternak yang utama aalah babi dan sapi. Babi dipelihara terutama oleh para wanita, biasanya sebagai sambilan dari dalam kehidupan rumah tangga; sedangkan sapi untuk sebagian digunakan dalam hubungan dengan pertanian, sebagai tenaga pembantu di sawah atau ladang, dan sebagian dipelihara untuk dagingnya. Hampir setiap keluarga di Bali memelihara babi sebagai sambilan karena pembiakannya yang relatif lebih cepat dan mudah daripada sapi. Daerah peternakan sapi yang baik terdapat di Penebel dan Marga (Tabanan), karena daerah tersebut bergunung-gunung dan mendapat curah hujan yang cukup, sehingga tersedia banyak rumput untuk ternak. Selai babi dan sapi, terdapat peternakan kerbau, kambing, dan kuda, tetapi hasilnya relatif lebih kecil.

Mata pencaharian lainnya adalah perikanan, baik perikanan darat maupun laut. Perikanan darat merupakan usaha sambilan dari pertanian terutama di daerah-daerah yang cukup air. Jenis ikan yang dipelihara adalah ikan mas, karper, dan mujair. Perikanan laut terdapat di sepanjang pantai. Ikan yang ditangkap yaitu ikan tongkol, udang, cumi-cumi, dan jenis ikan laut lainnya. Di Bali terdapat juga industri dan kerajinan rumah tangga usaha perseorangan, atau usaha menengah yang meliputi kerejinan pembuatan barang-barang anyaman, patung, kain tenun, benda-benda mas, perak, dan besi, perusahaan mesin-mesin, percetakan, pabrik kopi, pabrik rokok, pabrik makanan kaleng, tekstil, pemintalan, dll. Usaha dalam bidang ini memberikan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat.

Selain itu, karena keadaan alam dan pemandangan yang menarik, kegiatan-kegiatan adat, upacara, dan kesenian, maka bidang pariwisata Bali terkenal dan berkembang pesat. Untuk menunjang pariwisata, berkembang usaha-usaha di bidang perhotelan, taksi, travel bureau, toko kesenian, dan sebagainya, terutama di daerah Denpasar (Badung), Gianyar, Bangli, dan Tabanan. Pariwisata telah merangsang perkembangan kreasi-kreasi di bidang kesenian, baik seni tari maupun seni rupa.

Kegiatan di sektor pariwisata inilah yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian Bali. Sehingga pasca peristiwa bom Bali I dan bom Bali II, perekonomian Bali sejenak mengalami kelumpuhan. Dampak dari peristiwa yang memilukan tersebut tidak hanya dirasakan masyarakat Bali, tetapi juga oleh bangsa Indonesia secara keseluruhan. Seperti kita ketahui, bahwa banyak negara, seperti Australia, Amerika Serikat, dan negara – negara lain menetapkan travel warning bagi warga negaranya yang akan berkunjung ke Indonesia. Akibatnya semakin menurun jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Bali. Namun saat ini seiring dengan berjalannya waktu, dunia pariwisata di Bali sudah pulih seperti saat sebelum terjadinya bom Bali.

3. SISTEM KEKERABATAN

Perkawinan merupakan suatu saat yang amat penting dalam kehidupan orang Bali, karena dengan itu barulah ia dianggap sebagai warga penuh dari masyarakat, dan baru sesudah itu ia memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban seorang warga komuniti dan warga kelompok kerabat.

Menurut anggapan adat lama yang amat dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa), maka perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan di antara warga se-klen, atau setidak-tidaknya antara orang-orang yang dianggap sederajat dalam kasta. Demikian, perkawinan adat di Bali itu bersifat endogami klen, sedangkan perkawinan yang dicita-citakan oleh orang Bali yang masih kolot adalah perkawinan antara anak-anak dari dua orang saudara laki-laki. Keadaan ini memang agak menyimpang dari lain-lain masyarakat yang berklen, yang umumnya bersifat exogam.

Orang-orang se-klen (tunggal kawitan, tunggal dadia, tunggal sanggah) di Bali itu adalah orang-orang yang setingkat kedudukannya dalam adat dan agama, dan demikian juga dalam kasta, sehingga dengan berusaha untuk kawin dalam batas klen-nya terjagalah kemungkinan-kemungkinan akan ketegangan-ketegangan dan noda-noda keluarga yang akan terjadi akibat perkawinan antar-kasta yang berbeda derajatnya. Dalam hal ini terutama harus dijaga agar anak wanita dari kasta yang tinggi jangan sampai kawin dengan pria yang lebih rendah derajat kastanya, karena suatu perkawinan serupa itu akan membawa malu pada keluarga, serta menjatuhkan gengsi seluruh kasta dari anak wanita tersebut. Dahulu apabila terjadi perkawinan campuran yang demikian, maka wanita itu akan dinyatakan keluar dari dadia-nya, dan secara fisik suami-isteri akan dihukum buang (maselong) untuk beberapa lama, ke tempat yang jauh dari tempat asalnya. Semenjak tahun 1951, hukum semacam itu tidak pernah dijalankan lagi, dan pada waktu ini perkawinan campuran antar-kasta sudah relatif lebih banyak dilaksanakan.

Lain bentuk perkawinan yang dianggap pantang adalah perkawinan bertukar antara saudara perempuan suami dengan saudara laki-laki isteri (makedengan ngad), karena perkawinan yang demikian itu dianggap mendatangkan bencana (panes). Perkawinan pantang yang dianggap melanggar norma kesusilaan sehingga merupakan sumbang yang besar (agamiagemana) adalah perkawinan antara seorang dengan anaknya, antara seorang dengan saudara sekandung atau tirinya, dan antara seorang dengan anak dari saudara perempuan maupun laki-lakinya (keponakannya).

Pada umumnya, seorang pemuda Bali itu dapat memperoleh seorang isteri dengan dua cara, yaitu dengan cara meminang (memadik, ngidih) kepada keluarga seorang gadis, atau dengan cara melarikan seorang gadis (mrangkat, ngrorod). Kedua cara itu berdasarkan adat.

Adat perkawinan Bali meliputi suatu rangkaian peristiwa-peristiwa seperti kunjungan resmi dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk meminang si gadis atau memberitahukan kepada mereka bahwa si gadis telah dibawa lari untuk dikawini; upacara perkawinan (masakapan); dan akhirnya lagi suatu kunjungan resmi dari keluarga si pemuda ke rumah orang tua si gadis untuk minta diri kepada ruh leluhurnya. Di beberapa daerah di Bali (tidak di semua daerah), berlaku pula adat penyerahan mas kawin (patuku luh), tetapi rupa-rupanya adat ini terutama di antara keluarga-keluarga orang-orang terpelajar, sudah menghilang.

Sesudah pernikahan, suami isteri baru biasanya menetap secara virilokal di kompleks perumahan (uma) dari orang tua si suami, walaupun tidak sedikit juga suami isteri baru yang menetap secara neolokal dan mencari atau membangun rumah baru. Sebaliknya, ada pula suatu adat perkawinan di mana suami isteri baru itu menetap secara uxorilokal di kompleks perumahan lari si isteri (nyeburin). Tempat di mana suami isteri itu menetap, menentukan perhitungan garis keturunan dan hak waris dari anak-anak dan keturunan mereka selanjutnya. Kalau suami isteri tinggal secara virilokal, maka anak-anak mereka dan keturunan mereka selanjutnya akan diperhitungkan secara patrilineal (purusa), dan menjadi warga dari dadia si suami dan mewarisi harta pusaka dari klen itu. Demikian pula anak-anak dan keturunan mereka yang menetap secara uxorilokal akan diperhitungkan secara matrilineal menjadi warga dadia si isteri, dan mewarisi harta pusaka dari klen itu. Dalam hal ini kedudukan si isteri adalah sebagai sentana (pelanjut keturunan).

3.1. Keluarga Batih, Keluarga Luas, dan Rumah Tangga

Akibat dari perkawinan adalah terbentuknya suatu keluarga batih, dan bentuk keluarga batih ini tergantung pula dari macam perkawinan itu. Karena poligini diijinkan, maka ada juga keluarga-keluarga batih yang sifatnya poligini. Walaupun demikian, keluarga-keluarga yang bersifat poligini ini hanya terbatas dalam lingkungan-lingkungan tertentu saja yang jumlahnya tidak banyak.

Suatu rumah tangga di Bali biasanya terdiri dari suatu keluarga batih yang bersifat monogami, sering ditambah dengan anak-anak laki-laki yang sudah kawin bersama keluarga batih mereka masing-masing dan dengan lain-lain orang yang menumpang, baik orang yang masih kerabat maupun yang bukan kerabat (pembantu rumah tangga dan lain-lain). Sesudah beberapa, kalau seorang anak laki-laki sudah maju dalam masyarakat sehingga ia merasa mempu untuk berdiri sendiri, ia memisahkan diri dari rumah tangga orang tua dan mendirikan rumah dan rumah tangga sendiri yang baru (ngarangin). Salah satu dari anak laki-laki biasanya tetap tinggal di kompleks perumahan orang tua (ngerobin) untuk nanti dapat membantu orang tua kalau mereka sudah tidak berdaya lagi dan untuk menggantikan dan melanjutkan rumah tangga orang tua. Dengan demikian, sebenarnya suatu rumah tangga yang sudah tua terdiri dari suatu keluarga luas virilokal yang terdiri dari suatu keluarga batih senior dengan beberapa keluarga batih yunior yang hidup bersama dalam satu kompleks perumahan (uma) sebagai kesatuan yang formil.

3.2. Klen Kecil dan Klen Besar

Tiap-tiap keluarga batih maupun keluarga luas dalam sebuah desa di Bali harus memelihara hubungan dengan kelompok kerabatnya yang lebih luas yaitu klen (tunggal dadia). Struktur dari tunggal dadia ini berbeda-beda dipelbagai tempat di Bali. Di desa-desa di pegunungan, orang-orang dari tunggal dadia yang telah memencar karena hidup neolokal, tidak usah lagi mendirikan tempat pemujaan leluhur di masing-masing tempat kediamannya. Di desa-desa di tanah datar, orang-orang dari tunggal dadia yang hidup neolokal wajib mendirikan tempat pemujaan di masing-masing kediamannya, yang disebut kemulan taksu. Di samping itu, keluarga batih yang hidup neolokal seperti juga masih terikat oleh dan masih mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap pura asal (dadia atau sanggah) di rumah orang tua mereka. Suatu pura ditingkat dadia merayakan upacara-upacara sekitar lingkaran hidup dari semua warganya, dan dengan demikian suatu pura serupa itu mempersatukan dan mengintensifkan rasa solidaritas anggota-anggota dari suatu klen kecil.

Di samping itu ada lagi kelompok kerabat yang lebih besar yang melengkapi beberapa kerabat tunggal dadia (sanggah) yang memuja pura leluhur yang sama disebut pura paibon atau panti. Kelompok kerabat yang demikian dapat disebut klen besar.

Dalam praktek, suatu tempat pemujaan di tingkat paibon juga hanya mempersatukan suatu lingkaran terbatas dari kaum kerabat yang masih dikenal hubungannya saja. Klen-klen besar sering juga mempunyai suatu sejarah asal usul yang ditulis dalam bentuk babad dan yang disimpan sebagai pusaka oleh salah satu dari keluarga-keluarganya yang merasakan dirinya senior, yaitu keturunan langsung dan salah satu cabang yang tua dalam klen.

4. SISTEM KEMASYARAKATAN

4.1 Sistem Pelapisan

Sistem pelapisan masyarakat di Bali didasarkan atas keturunan; karena itu tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai kelompok-kelompok kerabat yang bersifat patrilineal. Ada pelbagai klen yang mempunyai sejarah keturunan (babad, pamancangah, pretasti) sendiri-sendiri yang masing-masing kembali sampai pada sejarah penaklukan oleh Majapahit dalam abad ke-14. Orang-orang bangga apabila dapat menyusur keturunan mereka sampai pada raja-raja atau bangsawan-bangsawan dari zaman Majapahit itu. Pelbagai keturunan inilah yang memberikan susunan yang lebih kompleks kepada klen-klen patrileneal yang terdapat di Bali daratan. Karena proses sejarah yang kembali ke zaman Majapahit, maka klen-klen di Bali daerah dataran, tersusun dalam suatu susunan berlapis tinggi rendah berdasarkan jarak hubungan kekerabatan dari leluhur-leluhur dari klen-klen itu dengan seorang tokoh raja atau bangsawan dari Majapahit. Di Bali daerah pegunungan, susunan klen berlapis tinggi rendah serupa itu tidak ada; bahkan batas-batas antara klen-klen dalam kehidupan masyarakat tidak tampak begitu nyata.

Susunan tinggi rendah dari klen-klen di daerah dataran tampak pada gelar-gelar yang dipakai oleh warganya di depan nama mereka. Gelar-gelar itu dapat digolongkan menjadi tiga golongan berdasarkan atas sistem pelapisan wangsa. Sistem ini terpengaruhi oleh sistem kasta yang termaktub dalam kitab-kitab suci Hindu Kuno, yaitu sistem keempat kasta: Brahmana, Ksatrya, Vaisya, dan Sudra. Di Bali wangsa-wangsa dalam sistem pelapisan mempunyai sebutan yang sama, yaitu Brahmana, Satria, Waisya, dan Sudra, sedangkan ketiga lapisan yang pertama sebagai kesatuan disebut Triwangsa, dan lapisan yang keempat disebut Jaba. Hanya sebagian kecil dari rakyat Bali, kurang dari 15% yang termasuk anya sebagian kecil dari rakyat Bali, kurang dari 15% yang termasuk Triwangsa, lagipula warga klen-klen besar yang termasuk Triwangsa biasanya tersebar luas di seluruh Bali. Sebaliknya, lebih dari 85% dari rakyat Bali termasuk warga Jaba, dan warga klen-klen yang termasuk Jaba tinggalnya lebih terpusat pada daerah-daerah terbatas.

Gelar-gelar bagi warga klen-klen Brahmana adalah Ida Bagus untuk laki-laki dan Ida Ayu untuk wanita; gelar bagi warga klen-klen Satria adalah Cokorda, dan bagi warga klen-klen Wesia adalah Gusti. Selain itu banyak gelar-gelar lain yang diturunkan oleh klen-klen tertentu tetapi yang kurang terang mengenai kedudukannya dalam wangsa. Pemegang gelar-gelar serupa itu tentu akan mengakuinya sebagai gelar wangsa tinggi, lainnya berpendapat bahwa gelar-gelar serupa itu termasuk wangsa-wangsa yang rendah dan demikian selalu memang ada perselisihan mengenai kedudukan dari orang-orang yang mempunyai gelar-gelar tadi dalam upacara adat dan dalam sopan santun pergaulan Bali.

Zaman modern dengan pendidikannya telah banya membawa perubahan dalam sistem pelapisan wangsa ini. Misalnya undang-undang (awig-awig) yang menghukum adanya perkawinan antara gadis yang lebih tinggi dengan laki-laki yang wangsa-nya lebih rendah telah dihapuskan. Pendeta-pendeta tidak usah lagi berasal dari wangsa Brahmana, dan akhir-akhir ini mereka malahan sudah dianggap sederajat dengan pendeta-pendeta dari wangsa Brahmana.

4.2. Lembaga Tradisional

Jenis-jenis lembaga tradisional dalam masyarakat Bali adalah desa, banjar, subak dan seka/sekaha. Bentuk lembaga tradisional atas dasar kesatuan wilayah disebut desa. Konsep desa memiliki dua pengertian, yaitu desa adat dan desa dinas. Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di daerah Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu yang secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga yang memiliki wilayah tertentu dan harta kekayaan tersendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Landasan dasar desa adat di Bali adalah konsep Tri Hita Karana. Desa dinas adalah satu kesatuan wilayah administratif di bawah kecamatan.

Konsep Tri Hita Karana adalah satu konsep yang mengintegrasikan secara selaras tiga komponen penyebab kesejahteraan dan kebahagiaan hidup yang diyakini oleh orang Bali. Ketiga komponen tersebut adalah:
1. Parahyangan, yaitu Tuhan yang memberikan perlindungan bagi kehidupan.
2. Palemahan, yaitu seluruh wilayah lembaga tersebut.
3. Pawongan, yaitu sumber daya manusia yang terdiri atas semua warga lembaga yang bersangkutan.

4.2.1. Desa

Desa di Bali didasarkan atas kesatuan tempat. Sebagian dari tanah wilayahnya adalah milik para warga desa sebagai individu, tetapi sebagian lagi adalah tanah yang ada di bawah hak pengawasan desa, atau secara konkret dibawah pengawasan pimpinan desa. Pada umumnya tampak beberapa perbedaan antara desa-desa adat di pegunungan dan desa-desa adat di daerah datar. Desa-desa adat di pegunungan biasanya sifatnya lebih kecil dan keanggotaannya terbatas pada orang asli yang lahir di desa itu juga. Sesudah kawin, orang itu langsung menjadi warga desa adat (krama desa), mendapat tempat duduk yang khas di balai desa yang disebut balai agung, dan berhak mengikuti rapat-rapat desa yang diadakan secara teratur pada hari-hari yang tetap. Desa-desa di daerah datar biasanya sifatnya besar dan meliputi daerah yang tersebar luas.

Pada komplek bangunan (bale) yang ditempati keluarga inti maupun keluarga luas, dibangun diatas suatu pekarangan yang bisanya dikelilingi oleh dinding dengan gapura sempit. Di antara komplek bangunan itu terdapat bangunan untuk tidur, satu atau beberapa dapur, lumbung, tempat untuk menerima tamu, dan pura untuk keluarga (sanggah). Seluruh komplek sebagai suatu kesatuan disebut uma. Mengenai letak dari bale, sanggah, dan sebagainya pada umumnya menuruti pola susunan tertentu. Pura keluarga yang dianggap suci terletak di bagian kaja. Sedang tempat kediaman berada pada arah kelod. Bale (bangunan) masing-masing mempunyai nama tersendiri menurut fungsinya dalam adat maupun dalam kebutuhan sehari-hari.

Catatan: Dalam bahasa Bali, kaja berarti ke (arah) gunung dan kelod berarti ke (arah) laut. Dengan demikian untuk orang Bali Utara, kaja berarti selatan, sebaliknya untuk orang Bali Selatan, kaja berarti utara. Begitu juga kelod bagi orang Bali Utara berarti utara dan untuk orang Bali Selatan berarti selatan. Perbedaan ini tidak saja tampak dalam penunjukan arah dalam bahasa Bali, tetapi juga dalam beberapa aspek kesenian dan juga sedikit bahasa. Orang Bali menyebut daerah di bagian utara itu sebagai Den Bukit (kabupaten Buleleng sekarang) dan daerah-daerah di bagian selatan sebagai Bali Tengah (kabupaten Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung). Adapun mengenai arah timur (kangin) sifatnya disamakan dengan arah kaja dan barat (kauh) disamakan dengan kelod. Arah-arah ini sama baik di Bali Utara maupun Selatan.

Di samping kesatuan wilayah maka sebuah desa merupakan pula suatu kesatuan keagamaan yang ditentukan oleh suatu kompleks pura desa yang disebut Kahyangan Tiga. Dimana Kahyangan Tiga ini adalah Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem. Pura Desa merupakan tempat berstananya Dewa Brahma yang dimanifestasikan sebagai pencipta. Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Dewa Wisnu yang dimanisfetasikan sebagai pemelihara dan Pura Dalem yang merupakan berstananya Dewa Çiwa yang dimanifestasikan sebagai pelebur. Biasanya ketiga Pura Kahyangan Tiga tersebut tempatnya dipisahkan satu sama lain. Ada kalanya juga Pura Puseh dan Pura Desa dijadikan satu. Seperti telah diterangkan sebelumnya, konsep mengenai arah adalah amat penting artinya dalam agama orang Bali. Hal yang keramat diletakkan pada arah kaja, dan hal-hal biasa yang tidak keramat diletakkan pada arah kelod. Klasifikasi dualistis ini tercermin pula pada letak susunan rumah dan bangunan-bangunan pusat dari desa. Sedapat mungkin bangunan-bangunan dari desa disesuaikan dengan konsep mengenai arah tadi. Misalnya saja pada arah kaja diletakkan Pura Desa, dan pada arah kelod diletakkan Pura Dalem (pura yang ada hubungannya dengan kuburan dan kematian).

4.2.2. Banjar

Banjar merupakan bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan oleh kesatuan wilayah. Kesatuan wilayah ini diperkuat oleh kesatuan adat dan budaya. Anggota banjar tidak mutlak dari orang asli di daerah tersebut, tetapi juga orang dari wilayah lain yang kebetulan menetap sementara/seterusnya di wilayah banjar tersebut. Masyarakat tersebut dipersilahkan menjadi anggota banjar jika orang tersebut menghendaki.

Banjar dipimpin oleh seorang kelian banjar dan dibantu oleh beberapa orang sebagai wakil kelian, sinoman dan penyarikan. Adapun tugas dari kelian ini adalah mengurus segala urusan sosial kemasyarakatan. Selain itu kelian juga mengurus urusan agama, adat dan urusan yang bersifat administratif. Bahkan seringkali harus juga memecahkan soal-soal yang menyangkut hukum adat tanah dan dianggap ahli dalam adat banjar pada umumnya. Kelian banjar sebagai tetua banjar dipilih langsung oleh para krama (warga) banjar dalam suatu sangkep (pertemuan). Untuk lama masa jabatan tertentu sesuai dengan awig-awig (undang-undang) banjar bersangkutan. Dalam hal ini tiap-tiap banjar memiliki awig-awig yang berbeda sesuai dengan daerah masing-masing banjar.

Untuk mengakomodasikan kegiatannya maka dibangunlah sebuah bangunan yang terbuka yang dikenal dengan nama bale banjar. Bale banjar ini merupakan pusat dari banjar tersebut. Karena fungsinya sebagai pusat maka bale banjar ini biasanya didirikan di tengah-tengah wilayah tersebut. Hal ini dimaksud untuk memudahkan krama banjar. Bale banjar ini biasanya dilengkapi dengan Pura Banjar dan Bale Kukul sebagai tempat untuk menaruh kukul (kentongan). Bale banjar ini juga sebagai bangunan serbaguna untuk menunjang kegiatan umum masyarakat banjar. Seperti olahraga, kesenian hingga agama. Di bale banjar inilah diadakan pertemuan (sangkep) setiap bulan mengevaluasi kegiatan banjar selama sebulan.

4.2.3. Subak

Subak di Bali berdiri seolah-olah lepas dari banjar dan mempunyai seorang kepala sendiri. Hal ini disebabkan karena orang-orang yang menjadi warga suatu subak itu tidak semuanya sama dengan orang-orang yang menjadi warga suatu banjar. Warga subak adalah para pemilik atau penggarp sawah-sawah yang menerima air irigasinya dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak. Sudah tentu tidak semua pemilik atau penggarap tadi hidup dalam satu banjar, tetapi di dalam beberapa banjar. Sebaliknya, ada pula warga suatu banjar yang mempunyai banyak sawah yang terpencar dan yang mendapat airnya dari bendungan-bendungan yang diurus oleh beberapa subak. Dengan demikian warga banjar tadi itu akan menggabungkan diri dengan semua subak di mana ia mempunyai sebidang sawah.

4.2.4. Seka/Sekaha

Dalam kehidupan kemasyarakatan desa di Bali ada organisasi-organisasi yang bergerak dalam lapangan hidup yang khusus, yaitu organisasi seka. Seka ini bisa didirikan untuk waktu yang lama, bahkan untuk waktu yang meliputi angkatan-angkatan yang turun temurun, tetapi ada pula yang bersifat sementara. Ada seka-seka yang fungsinya adalah menyelenggarakan hal-hal atau upacara yang berkenaan dengan desa misalnya seka baris (perkumpulan tari baris), seka truna (perkumpulan para pemuda), seka daha (perkumpulan gadis-gadis). Seka dalam arti ini tentu sifatnya permanen, tetapi ada juga seka-seka yang bersifat sementara, yaitu seka-seka yang didirikan berdasarkan suatu kebutuhan tertentu, seperti misalnya seka mamula (perkumpulan menanam), seka manyi (perkumpulan menuai), seka gong (perkumpulan gamelan) dan lain-lain. Seka-seka seperti ini biasanya juga merupakan perkumpulan-perkumpulan yang terlepas dari organisasi desa dan banjar.

4.3. Gotong Royong

Dalam kehidupan berkomuniti dalam masyarakat desa di Bali, ada beberapa macam cara dan sistem gotong royong; antara individu dan individu atau antara keluarga dan keluarga. Gotong royong semacam itu disebut nguopin (membantu) dan meliputi berbagai aktivitas di sawah (seperti menanam, menyiangi, panen, dan sebagainya), sekitar rumah tangga (memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur, dan sebagainya), dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian. Di dalam hal itu ada seorang atau suatu keluarga minta bantuan dari tetangganya atau keluarga lain, dengan suatu sopan santun yang telah digariskan oleh adat dan dengan pengertian bahwa ia wajib untuk membalas bantuan tenaga yang disumbangkan kepadanya itu dengan bantuan tenaga juga.

Nguopin dalam aktivitas sekitar rumah tangga di kota dan di banyak desa sudah mulai hilang dan mulai diganti dengan sistem menyewa tenaga upahan karena sistem menyewa sekarang dianggap lebih praktis dan seringkali lebih murah (karena tidak perlu menyediakan jamuan dan sebagainya). Hanya dalam perayaan dan upacara, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian cara gotong royong nguopin masih banyak diterapkan.

Selain nguopin masih ada cara gotong royong antara seka dengan seka. Cara semacam ini di sebut ngedeng (menarik). Dalam hal ini suatu seka tertentu, misalnya suatu perkumpulan gamelan ‘ditarik’ untuk ikut serta dangan suatu seka lain dalam hal menyelenggarakan suatu tarian dalam rangka suatu upacara odalan.

Terakhir ada suatu sistem gotong royong yang lebih menyerupai sifat kerja bakti untuk keperluan masyarakat atau pemerintah. Hanya di dalam hal ini khusus kerja bakti untuk keperluan agama, seperti misalnya ikut membantu membangun pura atau memperbaiki sebuah pura yang sudah ada. Sistem kerja bakti semacam ini disebut ngayah atau ngayang, bisa merupakan suatu aktivitas yang ramai dan penuh kemeriahan.

5. SISTEM RELIGI

Hindu Dharma adalah agama yang dianut oleh sekitar 95% dari jumlah penduduk Bali, sedangkan 5% sisanya adalah penganut agama Islam, Kristen, Katholik, Budha dan Kong Hu Cu. Tujuan hidup sesuai ajaran Hindu adalah untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup lahir dan bathin. Di dalam usaha mencapai tujuan itu, masyarakat Hindu mewujudkannya melalui Tattwa, Susila dan Upacara.

1. Tattwa (filosofi) dibagi menjadi 5 kepercayaan utama yang disebut Panca Çrada atau lima kepercayaan yang mendasar, yaitu percaya kepada adanya:
a. Brahman, yaitu percaya kepada adanya Ida Sang Hyang Widhi Waça atau Tuhan Yang Maha Esa
b. Atman, yaitu percaya akan keberadaan atman (roh)
c. Samsara, yaitu percaya akan adanya kelahiran kembali atau reinkarnasi
d. Karma Phala, yaitu percaya kepada adanya hukum sebab akibat (setiap orang akan memperoleh balasan atau hasil dari apa yang telah diperbuat olehnya)
e. Moksa, yaitu percaya kepada kemungkinan menyatunya atman dengan Tuhan

2. Susila (etika). Ajaran ini menekankan kepada tiga cara berprilaku yang baik, yang disebut dengan Tri Kaya Parisudha, yaitu:
a. Manacika Parisudha (berpikir yang baik dan positif)
b. Wacika Parisudha (berkata-kata yang baik dan jujur)
c. Kayika Parisudha (berbuat yang baik)
Di samping itu, ajaran Hindu juga mengharapkan penerapan Tat Wam Asi dalam hidup sehari-hari, yaitu “engkau adalah aku juga” dengan kata lain “kita harus merasakan apa yang dirasakan orang lain”.

3. Upacara (yadnya, korban suci). Upacara ini ditujukan kepada lima aspek:
a. Dewa Yadnya, yaitu kepada Ida Sang Hyang Widhi Waça, beserta para Dewa (Bathara)
b. Pitra Yadnya, yaitu yang ditujukan kepada roh-roh leluhur (yadnya setelah kematian)
c. Rsi Yadnya, yaitu bagi para Rsi atau orang yang disucikan
d. Manusa Yadnya, yaitu bagi umat manusia dari sejak lahir (bayi dalam kandungan) hingga perkawinan
e. Bhuta Yadnya, yaitu untuk menetralisir pengaruh-pengaruh alam yang negatif termasuk dunia supranatural

Agama Hindu adalah agama yang monotheistik, percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa atau disebut juga sebagai Ida Sang Hyang Widi Waça, Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Cintya. Oleh orang-orang hal ini sering disalah mengerti bahwa Hindu percaya kepada banyak Tuhan. Dewa (Bathara) dalam agama Hindu hanyalah manifestasi dari Tuhan yang Acintya (tidak terpikirkan). Kata Dewa berasal dari Bahasa Sansekerta Div yang berarti sinar suci, Sedangkan Bathara berasal dari Bhatr berarti pelindung. Dewa ataupun Bathara yang sering dimunculkan di Bali adalah Tri Murti yaitu:
a. Brahma, manifestasi Tuhan sebagai pencipta alam semesta dengan segala isinya
b. Wisnu, manifestasi Tuhan sebagai pemelihara ciptaannya
c. Siwa, manifestasi Tuhan sebagai pelebur segala sesuatu setelah situasi, kondisi dan waktunya tiba

Di Bali Pendeta itu umumnya dipilih dari golongan brahmana yang mampu untuk memimpin upacara besar, sedangkan Pemangku bertugas untuk menjaga dan memelihara pura dan dapat memimpin upacara termasuk Panca Yadnya. Kitab suci agama Hindu adalah Weda yang berasal dari India, namun yang sampai di Bali adalah Catur Weda dan Weda Qirah yang hingga saat ini masih dipakai Pemangku atau Pendeta untuk memimpin upacara termasuk di dalam menjalankan kewajibannya. Di samping Weda, dalam ajaran Hindu juga dikenal kitab-kitab Purana, yang membicarakan tentang peranan moralitas, ada juga dalam bentuk Mahacarita sepeti Mahabaratha dan Ramayana, dalam bentuk cerita topeng, drama, opera, ballet dan sebaginya sebagai pengungkapan ajaran agama Hindu. Kepercayaan masyarakat Hindu Bali adalah kekuatan hidup yang meliputi kekuatan alam Pulau Bali yang sudah menggaung ke segala penjuru dunia.

Bali dengan penduduknya setiap hari menyanyikan lagu kasih sayang yang diperlihatkan dengan beraneka ragam rajutan dan anyaman sesajen terbuat dari daun kelapa muda, berlambang bunga semerbak wangi yang dilakukan hampir di setiap hari. Dengan pengorbanannya selalu memikirkan alam sekitar, menghaturkan sesuatu yang diperoleh kepada Tuhan, dengan harumnya aroma dupa di tangan, membaca mantra suci dengan gerakan tangan penuh makna, memercikkan air suci memohon keselamatan. Dengan prosesinya yang panjang atau dengan sederhana penuh kerendahan hati, gemar bekerja, memberkati anak-anak, memberikan senyum dan lambaian tangan persahabatan selalu dilakukan.

5.1. Tri Hita Karana

Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan dharma-nya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini berkembang, meluas, dan memasyarakat.

Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara:
1. Manusia dengan Tuhannya (Parahyangan).
2. Manusia dengan alam lingkungannya (Palemahan).
3. Manusia dengan sesamanya (Pawongan).

Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu sebagai berikut:
1. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa Yadnya.
2. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta Yadnya.
3. Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi, Manusia Yadnya.

Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu di Bali dapat dijumpai dalam perwujudan:
1. Parahyangan
- Di tingkat daerah berupa Pura Kahyangan Jagat
- Di tingkat desa adat berupa Pura Kahyangan Desa atau Kahyangan Tiga
- Di tingkat keluarga berupa pemerajan atau sanggah
2. Pelemahan:
- Di tingkat daerah meliputi wilayah Propinsi Bali
- Di tingkat desa adat meliputi asengken bale agung
- Di tingkat keluarga meliputi pekarangan perumahan
3. Pawongan:
- Di tingkat daerah meliputi umat Hindu di Bali
- Di tingkat desa adat meliputi krama desa adat
- Di tingkat keluarga meliputi seluruh anggota keluarga

Dengan menerapkan Tri Hita Karana secara mantap, kreatif dan dinamis akan terwujudlah kehidupan harmonis yang meliputi pembangunan manusia seutuhnya yang berbakti terhadap Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada kelestarian lingkungan serta rukun dan damai dengan sesamanya.

5.2. Panca Yadnya

Dalam ajaran Hindu menyebutkan bahwa mewujudkan kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang diperlukan adanya persembahan suci yang tulus ikhlas yang dikenal dengan nama Yadnya. Disini terdapat lima yadnya yang selanjutnya dikenal dengan istilah Panca Yadnya yaitu lima persembahan suci yang tulus ikhlas. Adapun pembagiannya dari yadnya-yadnya tersebut adalah sebagai berikut:

5.2.1. Dewa Yadnya

Dewa Yadnya adalah persembahan suci yang tulus ikhlas kepada Ida Sang Hyang Widhi Waça dan seluruh manifestasi-Nya yang terdiri dari Dewa Brahma selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku Maha Pralina (pengembali kepada asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan persembahyangan Tri Sandhya (bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta muspa (kebaktian dan pemujaan di tempat-tempat suci).

Contoh Dewa Yadnya: menyelenggarakan upacara piodalan dimasing-masing Desa Adat yang ada di Bali. Melaksanakan persembahyangan di pura dan melaksanakan upacara melasti (pembersihan patung dewa-dewa ke pantai) yang biasanya dilakukan sebelum perayaan hari raya Nyepi. Upacara keagamaan di Bali disesuaikan dengan masing-masing Desa Adat (desa kala patra) masing-masing daerah

5.2.2. Pitra Yadnya

Pitra Yadnya adalah persembahan suci yang tulus ikhlas kepada roh-roh suci dan leluhur (pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan menyelenggarakan upacara jenazah (Sawa Wedana) sejak tahap permulaan sampai tahap terakhir yang disebut Atma Wedana.

Adapun tujuan dari pelaksanaan Pitra Yadnya ini adalah demi pengabdian dan bakti yang tulus ikhlas, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di alam surga. Memperhatikan kepentingan orang tua dengan jalan mewujudkan rasa bakti, memberikan sesuatu yang baik dan layak, menghormati serta merawat hidup di hari tuanya juga termasuk pelaksanaan Yadnya. Hal tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah berhutang kepada orangtuanya (leluhur) seperti:
- Berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.
- Berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.
- Berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.

Contoh Pitra Yadnya adalah upacara ngaben.

5.2.2.1. Ngaben

Kematian, bagi masyarakat Bali tak bisa lepas dari upacara adat ngaben. Kematian bagi orang Bali adalah kembalinya manusia kepada asalnya yaitu Panca Maha Bhuta: pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa) sesuai dengan ajaran Hindu Bali. Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atman (roh). Ketika manusia meninggal yang mati adalah badan kasar saja, atman-nya tidak. Ngaben adalah upacara penyucian atman (roh), fase pertama sebagai kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Ngaben adalah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan badan kasar.

Ada beberapa pendapat tentang asal kata ngaben. Ada yang mengatakan ngaben dari kata beya yang artinya bekal, ada juga yang mengatakan dari kata ngabu (menjadi abu), dll. Namun cenderung disetujui pendapat bahwa ngaben berasal dari kata ngapen (ng + api + an = ngapian > ngapen > ngaben). Dalam Hindu diyakini bahwa Dewa Brahma disamping sebagai dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi ngaben adalah proses penyucian roh dengan menggunakan sarana api sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yang digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra pendeta untuk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yang melekat pada atman/roh.

Prosesi ngaben dilakukan dengan berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya sebagai simbol-simbol seperti halnya ritual lain yang sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yang meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yang tidak ada jenazahnya seperti orang tewas terseret arus laut dan jenazah tidak diketemukan, kecelakaan pesawat yang jenazahnya sudah hangus terbakar, atau seperti saat Peristiwa Bom Bali I dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan. Untuk prosesi ngaben yang jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dengan mengambil sekepal tanah di lokasi meninggalnya kemudian dibakar.

Banyak tahap yang dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yang berbeda-beda.

Ketika ada yang meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta untuk menanyakan kapan ada hari baik (dewasa) untuk melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yang tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya. Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), maka pihak keluarga akan menyiapkan ritual pertama yaitu nyiramin layon (memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh kalangan brahmana sebagai kelompok yang karena status sosialnya mempunyai kewajiban untuk itu. Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap.

Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan membuat simbol-simbol menggunakan kain bergambar unsur-unsur penyucian roh. Pada hari H-nya, dilakukan prosesi ngaben di kuburan (setra) desa setempat. Jenazah akan dibawa menggunakan wadah, yaitu tempat jenazah yang akan diusung ke kuburan. Wadah biasanya berbentuk padma sebagai simbol rumah Tuhan.

Sesampainya di kuburan, jenazah dipindahkan dari wadah tadi ke pemalungan, yaitu tempat membakar jenazah yang terbuat dari batang pohon pisang ditumpuk berbentuk lembu. Di sini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau orang yang dianggap mampu untuk itu (biasanya dari klan brahmana). Pralina adalah pembakaran dengan api abstrak berupa mantra peleburan kekotoran atma yang melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan pembakaran dengan menggunakan api kongkrit. Zaman sekarang sudah tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yang menggunakan angin. Umumnya proses pembakaran dari jenazah yang utuh menjadi abu memerlukan waktu 1 jam.

Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yang dilarung ke laut (atau sungai), karena laut adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan. Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali. Ada catatan lain yaitu untuk bayi yang berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngaben-nya dilakukan mengikuti ngaben yang akan ada jika ada keluarganya meninggal.

Sebenarnya ada bermacam-macam cara melaksanakan upacara ngaben di Bali. Masing-masing desa adat di Bali memiliki awig-awig (undang-undang) tersendiri tentang tata cara melaksanakan upacara ngaben. Umumnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Ngaben Niri
2. Ngaben Ngamasa

Ngaben Niri artinya melaksanakan upacara ngaben sendiri (Niri = diri = sendiri). Dalam hal ini berarti bahwa keluarga duka dapat melaksanakan upacara ngaben pada waktu tertentu, sesuai dengan keinginannya. Banjar adat tidak mencampuri waktu pelaksanaannya, tetapi hanya memberi bantuan tenaga dan materi (dikenal dengan sebutan patus banjar), sesuai ketentuan awig-awig yang berlaku. Patus banjar, baik berupa tenaga maupun materi, jumlahnya tidak seberapa, dibandingkan dengan jumlah tenaga dan materi yang harus dikeluarkan untuk menyelesaikan rangkaian upacara ngaben. Bahkan ada kalanya sama sekali tidak mendapatkan bantuan banjar. Oleh karena itu, ngaben niri juga dilaksanakan oleh keluarga keturunan bangsawan. Terlepas dari ini, lahir sebagai seorang bangsawan, terbilang relatif berat.

Ngaben Ngamasa berarti melaksanakan upacara ngaben secara terjadwal, sesuai situasi dan kondisi yang dianggap baik bagi mereka yang akan melaksanakan upacara ngaben. Istilah lain ngaben ngamasa adalah ngaben ngerit, ngaben massal, atau ngaben bersama. Upacara ngaben ngamasa dilaksanakan dengan maksud menghemat biaya dan waktu, tanpa mengurangi makna pelaksanaan upacara ngaben. Cara pelaksanaan ngaben ngamasa ada dua.

Pertama, ngaben ngemasa dilaksanakan dengan cara yang persis sama dengan ngaben niri. Cuma waktunya bersamaan. Keuntungannya, pelaksanaan upacara ngaben dengan mudah dapat diketahui, jauh hari sebelum puncak acara, sehingga segala aktivitas yang terkait dengan upacara tersebut dapat dijadwalkan. Kelemahannya, warga banjar yang diharapkan memberi bantuan menjadi bingung dan kacau. Mereka dituntut harus pintar membagi waktu agar dapat memberi bantuan kepada sebanyak mungkin warga yang kebetulan melaksanakan upacara ngaben. Untuk memudahkan, biasanya anggota banjar dibagi sesuai dengan jumlah warga yang melaksanakan upacara ngaben. Konsekuensinya, kalau jumlah warga yang melaksanakan upacara ngaben sedikit dan anggota anggota banjar lumayan banyak, maka masing-masing warga yang ngaben mendapatkan bantuan banjar yang lumayan banyak juga. Sebaliknya kalau warga yang ngaben banyak sedangkan jumlah warga banjar sedikit, maka masing-masing akan mendapatkan bantuan banjar dalam jumlah terbatas. Kesulitan lainnya, ada hubungan dengan bantuan materi (patus) kepada warga yang melaksanakan upacara ngaben. Masing-masing warga akan mengeluarkan patus sesuai dengan jumlah warga yang ngaben. Kalau kewajiban patus senilai Rp 25.000, dan jumlah warga yang ngaben 30 orang, maka masing-masing warga banjar akan mengeluarkan patus sekitar 750.000. Jumlah ini tidak dapat dianggap enteng.

Kedua, ngaben ngamasa dilaksanakan dengan cara ‘satu untuk semua’. Artinya, upacara ngaben dilaksanakan pada waktu, tempat, cara dan oleh panitia yang sama. Sarana dan prasarana upacaranya dibuat sedemikian rupa sehingga mencerminkan semangat satu untuk semua. Unsur tertentu dari upacara yang sama sekali tidak mungkin untuk disatukan, barulah dibuat oleh masing-masing anggota. Pelaksanaan upacara ngaben seperti ini dikenal dengan sebutan ngaben bersama. Di Desa Pakraman Celuk, Sukawati, ngaben ngamasa dengan cara ‘satu untuk semua’ ini dikenal dengan istilah ngaben kinembulan.

Ada yang berpendapat bahwa ngaben kinembulan ini akan menjadi pilihan terbaik untuk pelaksanaan upacara ngaben masa depan. Sebabnya, antara lain:
1. Biaya yang disiapkan oleh warga yang akan melaksanakan upacara ngaben relatif lebih kecil, karena sebagian besar sarana dan prasarana ngaben dibuat satu untuk semua.
2. Biaya bagi warga masyarakat yang lainnya (patus) juga kecil, karena kewajiban mengeluarkan (patus) juga dirancang hanya satu untuk semua.
3. Dapat menghemat waktu dan tenaga, karena segala bantuan tenaga diatur oleh panitia banjar dengan pola satu untuk semua.
4. Tidak menganggu warga yang bekerja di instansi pemerintah atau swasta, karena lebih mudah mengatur waktu, termasuk memohon cuti.
5. Upacara ngaben memerlukan sarana tumbuh-tumbuhan (kelapa, pisang, bambu, dan lainnya) yang lumayan banyak. Dengan ngaben ngamasa atau kinembulan, lebih memungkinkan bagi tumbuh-tumbuhan untuk hidup dan berkembang secara wajar dan sehat, sebelum mereka harus turut ‘berkorban’ demi kepentingan upacara ngaben.

Ngaben kinembulan mengandung beberapa kelemahan, antara lain: Pertama, sulit dilaksanakan di desa adat yang termasuk desa pakraman nyatur (terdiri dari empat kasta), dan belum ada persepsi yang sama mengenai perbedaan kasta, sehingga satu golongan merasa sebagai golongan bangsawan yang berkedudukan tinggi dan harus dihormati dan golongan lainnya dianggap sebagai rakyat biasa (panjak), berkedudukan rendah dan harus menghormati golongan bangsawan. Oleh karena itu maka kasta tertentu yang merasa berkedudukan lebih tinggi dari kasta yang lainnya, tidak rela bergerak seiring dan sejalan, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi atas dasar semangat ‘satu untuk semua’ pada waktu melaksanakan upacara ngaben. Kedua, masih ada anggapan bahwa melaksanakan upacara ngaben merupakan satu-satunya cara untuk melaksanakan Pitra Yadnya dalam arti ‘membayar hutang’ kepada leluhur. Anggapan ini menyebabkan banyak orang yang rela melaksanakan upacara ngaben secara besar-besaran, dengan cara menjual harta warisan yang berupa tanah. Mereka yang masih yakin akan hal ini menganggap melaksanakan upacara ngaben dengan cara kinembulan atau ‘satu untuk semua’, sebagai sesuatu yang lebih rendah maknanya dibandingkan dengan ngaben niri.

5.2.3. Manusa Yadnya

Manusa Yadnya adalah suatu persembahan suci yang tulus ikhlas demi kesempurnaan hidup manusia. Di dalam pelaksanaan upacara Manusa Yadnya masalah desa kala patra (tempat-waktu-keadaan) sangat penting. Secara umum upacara itu dilaksanakan pada saat anak mengalami masa peralihan. Sebab ada anggapan bahwa pada saat-saat itulah anak dalam keadaan kritis, sehingga perlu diupacarai atau diselamati. Dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi kemajuan pendidikan, kesehatan dan lain-lain guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat.

Jenis-jenis Manusa Yadnya berdasarkan urutan pelaksanaannya:
1. Magedong-gedongan
2. Upacara kelahiran
3. Upacara kepus puser
4. Upacara nglepas hawon
5. Upacara kambuhan
6. Upacara nelu bulanin
7. Upacara otonan
8. Upacara ngempugin
9. Upacara makupak
10. Upacara rajaswala
11. Upacara mepandes
12. Upacara pawiwahan

5.2.3.1. Magedong-gedongan

Upacara ini dilaksanakan pada saat kandungan berusia 210 hari, tidak harus persis karena dapat disesuaikan dengan hari baik (dewasa). Upacara magedong-gedongan dilaksanakan di dalam rumah, pekarangan, halaman rumah, di tempat permandian darurat yang khusus dibuat untuk itu, dan dilanjutkan di depan sanggah (semacam pura kecil yang ada pada setiap rumah). Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. lstri yang sedang hamil terlebih dahulu dimandikan (siraman) di parisuda, dilanjutkan dengan mabyakala dan prayascita.
2. Sang istri menjunjung tempat rempah-rempah, tangan kanan menjinjing daun talas berisi air dan ikan yang masih hidup.
3. Tangan kiri suami memegang benang, tangan kanannya memegang bambu runcing.
4. Sang suami sambil menggeser benang langsung menusuk daun talas yang dijinjing sang istri sampai air dan ikannya tumpah.
5. Selanjutnya melakukan persembahyangan memohon keselamatan.
6. Ditutup dengan panglukatan dan terakhir natab.

5.2.3.2. Upacara Kelahiran

Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan dan telah mendapat perawatan pertama. Upacara ini adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si bayi di dunia. Upacara kelahiran dilaksanakan di dalam dan di depan pintu rumah dan dilaksanakan atau dipimpin oleh salah seorang keluarga yang tertua atau dituakan, demikian juga untuk menanam (mendem) ari-arinya. Dalam hal tidak ada keluarga tertua, sang ayah dapat melaksanakan upacara ini. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Bayi yang baru lahir diupacarai dengan banten dapetan, canang sari, canang genten, sampiyan dan penyeneng. Tujuannya agar atman/roh yang menjelma pada si bayi mendapatkan keselamatan.
2. Setelah ari-ari dibersihkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil lalu ditutup. Apabila mempergunakan kelapa, kelapa itu terlebih dahulu dibelah menjadi dua bagian, selanjutnya ditutup kernbali. Perlu diingat sebelum kendil atau kelapa itu digunakan, pada bagian tutup kendil atau belahan kelapa bagian atas ditulisi dengan aksara OM KARA dan pada dasar alas kendil atau bagian bawah kelapa ditulisi aksara AH KARA.
3. Kendil atau kelapa selanjutnya dibungkus dengan kain putih dan di dalamnya diberi bunga.
4. Proses selanjutnya kendil atau kelapa ditanam di halaman rumah, tepatnya pada bagian kanan pintu ruangan rumah untuk anak Iaki-laki, dan bagian kiri untuk wanita bila dilihat dari dalam rumah.

5.2.3.3. Upacara Kepus Puser

Upacara ini dilakukan pada saat puser bayi lepas, umumnya pada saat bayi berumur tiga hari. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Puser bayi yang telah lepas dibungkus dengan kain putih lalu dimasukkan ke dalam ketupat kukur (ketupat yang berbentuk burung tekukur) disertai dengan rempah-rempah seperti cengkeh, pala, lada dan lain-lain, digantung pada bagian kaki dari tempat tidur si bayi.
2. Dibuatkan kumara (pelangkiran) untuk si bayi, tempat menaruh sesajian.
3. Di tempat menanam ari-ari dibuat sanggah cucuk, di bawahnya ditaruh sajen segehan nasi empat warna, dan di sanggah cucuk diisi dengan banten kumara.

5.2.3.4. Upacara Nglepas Hawon

Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara yang disebut upacara ngelepas hawon. Si bayi biasanya baru diberi nama demikian pula sang catur sanak (saudara keempat yang dipercaya ikut menemani kelahiran si bayi) setelah dilukat berganti nama di antaranya: Banaspati Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan Mrajapati. Pelaksanaan upacara ini ditujukan kepada si ibu dan si bayi. Upacaranya dilakukan di dapur, di permandian dan di kemulan berfungsi memohon pengelukatan ke hadapan Bhatara Brahma, Wisnu dan Siwa.

5.2.3.5. Upacara Kambuhan

Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari. Tujuannya untuk pembersihan lahir batin si bayi dan ibunya, di samping juga untuk membebaskan si bayi dari pengaruh-pengaruh negatif (mala). Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Untuk upacara yang lebih besar si bayi terlebih dahulu di-lukat di dapur, di permandian, dan terakhir di sanggah kamulan.
2. Kedua orang tua si bayi mabyakala dan maprayascita.
3. Si bayi beserta kedua orangtuanya natab di sanggah kamulan.

5.2.3.6. Upacara Nelu Bulanin

Upacara yang dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari, atau tiga bulan dalam hitungan pawukon (1 bulan = 35 hari). Bila keadaan tidak memungkinkan, misalnya keluarga itu tinggal di rantauan dan ingin upacaranya dilangsungkan bersama keluarga besar sementara si anak terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda. Biasanya digabungkan dengan upacara otonan (210 hari kelahiran bayi). Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Pendeta memohon tirta panglukatan.
2. Pendeta melakukan pemujaan, memerciki tirta (air suci) pada sajen dan pada si bayi.
3. Bila si bayi akan memakai perhiasan-perhiasan seperti gelang, kalung dan lain-lain, terlebih dahulu benda tersebut di-parisudha dengan diperciki tirta.
4. Doa dan persembahyangan untuk si bayi, dilakukan oleh orangtuanya.
5. Si bayi diberikan tirta pengening (tirta amertha) kemudian ngayab jejanganan.
6. Terakhir si bayi diberi natab sajen ayaban, yang berarti memohon keselamatan.

5.2.3.7. Upacara Otonan

Upacara ini dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna. Selanjutnya dilaksanakan setiap 210 hari, semacam memperingati hari ulang tahun. Semakin dewasa, semakin sederhana pula sarana upacaranya. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Pendeta sebagai pimpinan upacara melakukan pemujaan untuk memohon persaksian terhadap Ida Sang Hyang Widhi Waça dengan segala manifestasinya.
2. Pemujaan terhadap Siwa Raditya dan penghormatan terhadap leluhur.
3. Pemujaan saat pengguntingan rambut (potong rambut). Ini dilakukan pada otonan pertama kali, untuk otonan selanjutnya tidak dilakukan.
4. Pemujaan saat pawetonan dan persembahyangan.

5.2.3.8. Upacara Ngempugin

Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama dan sedapat mungkin tepat pada waktu matahari terbit. Upacara ini bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan baik. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Waça dengan mempersembahkan segala sesajen yang tersedia.
2. Si bayi natab mohon keselamatan.
3. Selesai upacara si bayi diberikan sesajen tadi untuk dinikmatinya dan selanjutnya gusinya digosok-gosok dengan daging dari sesajen.

5.2.3.9. Upacara Mekupak

Upacara ini dilakukan pada saat si anak untuk pertama kalinya mengalami tanggal gigi. Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Upacara ini dapat pula disatukan dengan otonan berikutnya.

5.2.3.10. Upacara Rajaswala

Upacara ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Peristiwa ini akan terlihat melalui perubahan-perubahan yang nampak pada putra-putri. Misalnya pada anak Iaki-laki perubahan yang menonjol dapat kita saksikan dari sikap dan suaranya. Pada anak putri mulai ditandai dengan datang bulan (menstruasi) pertama. Orang tua wajib melaksanakan upacara meningkat dewasa (munggah daha) ini. Upacara ini bertujuan untuk memohon kehadapan Sang Hyang Samara Ratih agar diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak.

5.2.3.11. Upacara Mepandes

Upacara mepandes atau potong gigi ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu (enam musuh yang ada dalam diri manusia) yang ada pada diri si anak. Upacara ini dilaksanakan setelah anak meningkat dewasa, namun sebaiknya sebelum anak itu kawin. Dalam keadaan tertentu dapat pula dilaksanakan setelah berumah tangga. Tata cara pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala dan maprayascita.
2. Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya memohon kesaksian.
3. Selanjutnya naik ke tempat upacara menghadap ke hulu. Pelaksana upacara mengambil cincin yang dipakai ngerajah pada bagian-bagian seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar, paha barulah diperciki tirta pesangihan.
4. Upacara dilanjutkan oieh sangging (yang bertugas memotong gigi) dengan menyucikan peralatannya.
5. Orang yang diupacari diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai diasah, bila sudah dianggap cukup diberi pengurip-urip.
6. Setelah diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan natab banten peras kemudian sembahyang ke hadapan Surya Chandra dan Mejaya-jaya.

5.2.3.12. Upacara Pawiwahan

Yang dimaksud upacara pawiwahan adalah upacara pernikahan. Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Perkawinan umat Hindu merupakan suatu yang suci dan sakral, oleh sebab itu pada jaman Weda, perkawinan ditentukan oleh seorang Resi, yang mampu melihat secara jelas, melebihi penglihatan rohani, pasangan yang akan dikawinkan. Dengan pandangan seorang Resi ahli atau Brahmana Sista, cocok atau tidak cocoknya suatu pasangan pengantin akan dapat dilihat dengan jelas.

Pasangan yang tidak cocok (secara rohani) dianjurkan untuk membatalkan rencana perkawinannya, karena dapat dipastikan akan berakibat fatal bagi kedua mempelai bersangkutan. Setelah jaman Dharma Sastra, pasangan pengantin tidak lagi dipertemukan oleh Resi, namun oleh raja atau orang tua mempelai, dengan mempertimbangkan duniawi, seperti menjaga martabat keluarga, pertimbangan kekayaan, kecantikan, kegantengan dan lain-lain. Saat inilah mulai merosotnya nilai-nilai rohani sebagai dasar pertimbangan.

Pada jaman modern dan era globalisasi seperti sekarang ini, peran orang tua barangkali sudah tidak begitu dominan dalam menentukan jodoh putra-putranya. Anak-anak muda sekarang ini lebih banyak menentukan jodohnya sendiri. Penentuan jodoh oleh diri sendiri itu amat tergantuang pada kadar kemampuan mereka yang melakukan perkawinan. Tapi nampaknya lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan duniawi, seperti kecantikan fisik, derajat keluarga dan ukuran sosial ekonomi dan bukan derajat rohani.

Menurut UU Perkawinan no 1 th 1974, sahnya suatu perkawinan adalah sesuai hukum agama masing-masing. Jadi bagi umat Hindu, melalui proses upacara agama yang disebut mekala-kalaan (natab banten), biasanya di-puput oleh seorang pinandita. Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah karena merupakan titik sentral kekuatan Kala Bhucari sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan. Makala-kalaan berasal dari kata kala yang berarti energi. Kala merupakan manifestasi kekuatan kama yang memiliki mutu keraksasaan (asuri sampad), sehingga dapat memberi pengaruh kepada pasangan pengantin yang biasa disebut dalam sebel kandel.

Dengan upacara mekala-kalaan sebagai sarana penetralisir (nyomia) kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi kala hita atau untuk merubah menjadi mutu kedewataan (daiwi sampad). Jadi dengan mohon panugrahan dari Sang Hyang Kala Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala Nareswari menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih. Jadi makna upacara mekala-kalaan sebagai pengesahan perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai, berupa sukla (spermatozoa) dari pengantin laki dan wanita (ovum) dari pengantin wanita.

Peralatan upacara mekala-kalaan:

Sanggah Surya
Di sebelah kanan digantungkan biyu lalung dan di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi berem. Sanggah Surya merupakan niyasa (simbol) stana Ida Sang Hyang Widhi Waça, dalam hal ini merupakan stananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih. Biyu lalung adalah simbol kekuatan purusa dari Ida Sang Hyang Widhi Waça dan Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya, sebagai dewa kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan simbol pengantin pria. Kulkul berisi berem simbol kekuatan prakertinya Ida Sang Hyang Widhi Waça dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih, dewa kecantikan serta kebijaksanaan simbol pengantin wanita.

Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg)
Simbol calon pengantin, yang diletakkan sebagai alas upakara mekala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin.

Tikeh Dadakan (tikar kecil)
Tikeh dadakan diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, tikeh dadakan adalah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni).

Keris
Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi spritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.

Benang Putih
Dalam mekala-kalaan dibuatkan benang putih sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm. Angka 12 berarti simbol dari sebel 12 hari, yang diambil dari cerita dihukumnya Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara mekala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara penyucian tersebut. Dari segi spiritual benang ini sebagai simbol dari lapisan kehidupan, berarti sang pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya dari Brahmacari Asrama menuju alam Grhasta Asrama.

Tegen-tegenan
Makna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambil-alihan tanggung jawab sekala dan niskala.
Perangkat tegen-tegenan:
- Batang tebu berarti hidup pengantin artinya bisa hidup bertahap seperti hal tebu ruas demi ruas, secara manis.
- Cangkul sebagai simbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat bekerja, berkarma berdasarkan dharma.
- Periuk simbol windhu.
- Buah kelapa simbol brahman (Sang Hyang Widhi).
- Seekor yuyu simbol bahasa isyarat memohon keturunan dan kerahayuan.

Suwun-suwunan (sarana jinjingan)
Berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita, yang berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri mengembangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.

Dagang-dagangan
Melambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung segala Resiko yang timbul akibat perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.

Sapu Lidi (3 tangkai)
Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna, berdasarkan ucapan baik, prilaku yang baik dan pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi cobaan dan kehidupan rumah tangga.

Sambuk Kupakan (serabut kelapa)
Serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) mengisyaratkan kesucian. Telor bebek merupakan simbol manik. Mempelai saling tendang serabut kelapa (metanjung sambuk) sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri, agar kekuatan triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut kalapa ini diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.

Tetimpug
Bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma. Setelah upacara mekala-kalaan selesai dilanjutkan dengan cara membersihkan diri (mandi) hal itu disebut dengan angelus wimoha yang berarti melaksanakan perubahan nyomia kekuatan asuri sampad menjadi daiwi sampad atau nyomia bhuta kala Nareswari agar menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih agar harapan dari perkawinan ini bisa lahir anak yang suputra. Setelah mandi pengantin dihias busana agung karena akan natab di bale yang berarti bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Waça. Selanjutnya pada hari baik yang selanjutnya akan dilaksanakan upacara Widhi Widana (aturan serta bersyukur kepada Hyang Widhi). Terakhir diadakan upacara pepamitan ke rumah mempelai wanita.

5.2.4. Resi Yadnya

Resi Yadnya adalah suatu upacara yadnya berupa karya suci keagamaan yang ditujukan kepada para Maha Resi, orang-orang suci, Resi, Pinandita, Guru yang di dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk:
1. Penobatan calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacara Diksa.
2. Membangun tempat- tempat pemujaan untuk Sulinggih.
3. Menghaturkan/memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada Sulinggih.
4. Mentaati, menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para Sulinggih.
5. Membantu pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi pekerti luhur, membina, dan mengembangkan ajaran agama.

5.2.4.1. Mawinten

Mawinten asal katanya dalam Bahasa Kawi, mawa artinya bersinar-sinar dan inten artinya intan (permata). Jadi orang yang sudah mawinten diibaratkan sebagai permata yang kemilau karena lahir bathinnya sudah disucikan. Pada dasarnya semua orang terutama yang akan mengakhiri masa Grahasta (pensiun) perlu mawinten dengan tujuan mensucikan diri menjelang pulang ke sunia-loka. Pada akhirnya manusia Hindu setelah meninggal dunia dan di-aben, diwinten dengan upacara Askara. Mereka yang wajib mawinten karena profesinya antara lain: pemangku, dalang, undagi, tukang banten, sangging, dll.

Tingkat pawintenan ada tiga menurut besar/kecilnya upacara pawintenan yaitu:
1. Pawintenan dengan ayaban saraswati termasuk yang paling sederhana.
2. Pawintenan dengan ayaban bebangkit untuk yang medium, dan
3. Pawintenan dengan ayaban catur yang paling utama.

Pawintenan dengan ayaban saraswati adalah pensucian diri dengan memuja Dewi Saraswati sebagai sakti Brahma yang mencipta ilmu pengetahuan; pawintenan tingkat ini untuk para brahmacari misalnya yang belajar agama, yang senang gegitaan, pegawai kantor agama, dll.

Pawintenan dengan ayaban bebangkit adalah pensucian diri dengan memuja Dewi Saraswati dan Bathara Gana sebagai putra Siwa yang berfungsi sebagai pelindung manusia; pawintenan tingkat ini untuk para undagi, sangging, tukang banten, dll.

Pawintenan dengan ayaban catur adalah pensucian diri dengan memuja para Dewa: Iswara, Brahma, Mahadewa, dan Wisnu sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa; pawintenan tingkat ini untuk para pemangku, dalang, pinandita, dll.

Mereka yang sudah mawinten wajib menggelar brata, tapa, yoga, samadi. Makin tinggi tingkat pawintenan-nya makin ketat pelaksanaan brata, tapa, yoga, samadi-nya. Brata adalah pengekangan hawa nafsu panca indra; Tapa adalah pengendalian diri agar selalu dalam jalur Dharma. Yoga adalah senantiasa memuja kebesaran dan kemuliaan Ida Sanghyang Widhi Waça. Samadi adalah mengosongkan pikiran dan penyerahan diri secara total pada kemahakuasaan Ida Sanghyang Widhi Waça.

5.2.5. Bhuta Yadnya

Bhuta Yadnya adalah suatu korban suci kepada sarwa bhuta yaitu makhluk-makhluk rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala), hewan (binatang), tumbuh- tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Waça. Adapun pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa: Upacara yadnya (korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan/alam semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini dengan diri kita yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos. Contoh lain dari Bhuta Yadnya adalah segehan.

5.2.5.1. Segehan

Tak hanya vertikal ke atas persembahan manusia Hindu ditujukan. Ke bawah pun dilakukan dalam wujud segehan. Satu di antara sekian jenis segehan itu ada diwujudkan seperti manusia. Manusia dalam upayanya mengucap syukur selalu melakukan persembahan. Dalam persembahan tersebut, nasi menjadi satu komponen penting. Ia hadir dalam berbagai bentuk dan nama pada bebantenan Bali.

Selain berwujud tumpeng, nasi juga dipakai untuk membuat berbagai segehan yang dihaturkan di pertiwi. Pada umumnya dihaturkan pada kala bucara-bucari supaya tidak mengganggu. Persembahan itu dihaturkan di bawah yaitu di natar Merajan, rumah serta lebuh. Yang di halaman (natar) rumah ditujukan kepada Sang Kala Bucari. Selain itu, karena di natar rumah ditanam I Catur Sanak yaitu Ari-ari, Lamas, Getih, Yeh Nyom, sebagai tanda manusia memberikan perhatian pada saudara empat-nya karena telah memberikan perlindungan, baik secara sekala maupun niskala.

Selanjutnya di natar sanggah pamerajan ditujukan kepada Sang Bhuta Bucari. Lantas yang terakhir di depan pintu keluar (lebuh) ditujukan kepada Sang Durgha Bucari. Karena tempat masegeh ada tiga, maka jenis segehan itu pun ada tiga. Jenis segeh itu yaitu segehan pat (4) dihaturkan di natar rumah, segehan lima (5) di natar merajan dan segehan sia (9) di lebuh. Ketiga jenis segehan tersebut termasuk segehan umum yang dihaturkan oleh umat Hindu. Sedangkan segehan wong-wongan (ada juga yang menyebut nasi wong-wongan) hanya dihaturkan orang yang nyungsung ataupun memiliki sakit tertentu. Jenis segehan ini dibentuk menyerupai wujud manusia, lengkap dengan kepala, leher, badan, tangan, dan kaki. Tapi, ada juga hanya mengambil bentuk bagian tubuh manusia saja, seperti dada dan rusuk (nasi tangkah-iga).

5.3. Hari Raya di Bali

Setiap pura di Bali baik yang besar maupun kecil termasuk pura keluarga memiliki hari tertentu untuk upacara piodalannya. Piodalan itu dirayakan setiap 210 hari menurut kalender Bali. Karena demikian banyaknya pura di Bali, sehingga hampir setiap hari ada saja upacara piodalan yang berlangsung. Di samping itu ada juga hari raya yang berlangsung serempak di seluruh Bali seperti Galungan, Kuningan, Nyepi dan Saraswati.

5.3.1. Galungan dan Kuningan

Hari Raya Galungan jatuh pada hari Budha (Rabu) Kliwon Dungulan, kemudian disusul oleh Hari Raya Kuningan setelah sepuluh hari.

Sejarah Hari Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan mempelajari pustaka-pustaka, di antaranya Panji Amalat Rasmi (Zaman Jenggala) pada abad ke-11 di Jawa Timur, Galungan itu sudah dirayakan. Dalam pararaton zaman akhir kerajaan Majapahit pada abad ke-16, perayaan semacam ini juga sudah diadakan. Menurut arti bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda terdapat kata Galungan yang berarti berperang. Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Namun tidak berarti bahwa dunia ini lahir pada hari Budha Kliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan rasa syukur atas karunia Tuhan Yang Maha Esa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini.

Pada hakekatnya Galungan adalah perayaan bagi kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kebatilan). Tuhan sebagai pencipta dipuji dan dipuja, termasuk leluhur dan nenek moyang keluarga diundang turun ke dunia untuk sementara kembali berada di tengah-tengah anggota keluarga yang masih hidup. Sesajen menyambut kedatangan leluhur itu disajikan pada sebuah tugu di merajan/sanggah keluarga. Penjor selamat datang dibuat dari bambu melengkung, dihiasi janur dan bunga kemudian digantungkan pula hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Terakhir diisi sanggah di bagian bawahnya serta hiasan lamak di pancang di depan pintu masuk rumah masing-masing.

Disebutkan dalam pustaka-pustaka Hindu bahwa dalam rangkaian peringatan Galungan, sejak hari Minggu (tiga hari sebelum Galungan) umat Hindu didatangi oleh Kala-tiganing Galungan. Mereka adalah simbol angkara. Jadi dalam hal ini umat Hindu berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi simbol keletehan dan adharma. Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan adharma.

Kemudian pada hari Saniscara (Sabtu) Keliwon Wuku Kuningan, adalah Hari Raya Kuningan. Ini adalah hari raya khusus, dimana para leluhur yang setelah beberapa saat berada dengan keluarga sekali lagi disuguhkan sesajen dalam upacara perpisahan untuk kembali ke stananya masing-masing. Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terima kasih umat Hindu menerima anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa berupa bahan-bahan sandang dan pangan. Sedangkan di pedesaan biasanya ada beberapa Barong ngelawang diikuti sekolompok anak-anak dengan tetabuhan.

5.3.2. Siwaratri

Siwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan ke hadapan Sang Hyang Widhi Waça dalam perwujudannya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat Hindu, karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa beryoga. Sehubungan dengan itu umat Hindu melaksanakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri, pembuatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menimbulkan kesadaran diri. Hal itu diwujudkan dengan pelaksanaan brata berupa jagra (tidak tidur), upawasa (puasa makan/minum) dan monabrata (tidak berbicara). Siwaratri juga disebut hari suci pajagran.

Di Bali, Siwaratri selalu dikaitkan dengan cerita Lubdaka. Konon, pada malam Siwaratri, Bhatara Siwa sebagai manifestasi Tuhan melakukan yoga. Saat yang bersamaan, dikisahkan seorang pemburu bernama Lubdaka kemalaman di hutan. Agar tidak dimakan binatang buas, si Lubdaka naik ke pohon. Agar tetap terjaga, sebagai pengusir kantuk, si Lubdaka memetik dan menjatuhkan daun-daun pohon yang dipanjatnya dan kebetulan di bawah pohon tersebut ada sebuah lingga Bhatara Siwa, jadi secara tidak langsung Lubdaka melakukan pemujaan kepada Bhatara Siwa tepat di saat beliau beryoga.

Bhatara Siwa konon sangat senang karena Lubdaka terjaga dan ‘menemani’ Bhatara Siwa melakukan yoga. Maka ketika Lubdaka meninggal, saat Bhatara Yama melakukan pengadilan, datanglah satu batalyon tentara surga yang dikirim oleh Bhatara Siwa, dan membawa Lubdaka ke sorga. Padahal, Bhatara Yama hendak mengirimnya ke neraka karena profesi Lubdaka sebagai pemburu adalah dosa, membunuhi binatang-binatang tak berdosa demi kesenangan. Sementara, Bhatara Siwa sudah terlanjur ’sayang’ dengan Lubdaka yang menemaninya satu malam beryoga, melakukan intervensi pada keputusan Bhatara Yama.

5.3.3. Nyepi

Hari Raya Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap Tahun Baru Çaka. Hari ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (bulan mati kesembilan) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta (air kehidupan). Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka. Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Mahaesa, untuk menyucikan Buana Alit (diri manusia) dan Buana Agung (alam semesta). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian perayaan yang lebih besar. Berikut perinciannya:

Tawur (Pecaruan), Pengrupukan, dan Melasti
Sehari sebelum Nyepi, umat Hindu melaksanakan upacara Bhuta Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya. Bhuta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian Bhuta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi lima warna berjumlah 9 paket beserta lauk pauknya, seperti ayam berbulu brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Bhuta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala dan Bhatara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu manusia.

Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.

Tahap terakhir adalah melasti, yaitu menghanyutkan segala leteh (kotoran) ke laut, serta menyucikan pratima. Upacara ini dilakukan di laut, karena laut dianggap sebagai sumber amerta. Selambat-lambatnya pada tilem sore, melasti harus selesai.

Nyepi
Keesokan harinya, yaitu pada Tilem Kesanga, tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini dilakukan puasa Nyepi yang disebut Catur Brata Penyepian dan terdiri dari:
- Amati Geni (tidak menggunakan dan/atau menghidupkan api)
- Amati Karya (tidak bekerja)
- Amati Lelungan (tidak bepergian/keluar rumah)
- Amati Lelanguan (tidak bersenang-senang)

Brata ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit. Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Misalnya seorang bayi yang akan beralih menjadi anak-anak diwujudkan dengan matekep guwungan (ditutup sangkar ayam). Wanita yang beralih dari masa kanak-kanak ke dewasa, upacaranya didahului dengan ngekep (dipingit). Demikianlah untuk masa baru, ditempuh secara baru lahir, yaitu benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru pun, dasar ini dipergunakan, sehingga ada masa amati geni.

Ngembak Geni
Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Çaka adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada tanggal ping pisan (satu) sasih kedasa (kesepuluh). Pada hari inilah Tahun Baru Çaka tersebut dimulai. Umat Hindu seling mengunjungi keluarga besar dan tetangga, saling maaf memaafkan satu sama lain.

5.3.4. Saraswati

Hari Raya Saraswati diperingati sebagai hari Pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati (ilmu pengetahuan). Hari raya ini diperingati setiap hari Saniscara (Sabtu) Umanis Wuku Watugunung.

Dewi Saraswati merupakan sakti (istri) dari Dewa Brahma. Dewi Saraswati adalah Dewi Ilmu Pengetahuan yang merupakan pelindung/pelimpah pengetahuan, kesadaran (widya), dan sastra. Berkat anugerah Dewi Saraswati, manusia menjadi beradab dan berkebudayaan. Dewi Saraswati digambarkan sebagai seorang wanita cantik bertangan empat, biasanya tangan-tangan tersebut memegang Genitri (tasbih) dan Kropak (lontar). Tangan yang lain memegang Wina (alat musik sejenis rebab) dan sekuntum bunga teratai. Di dekatnya biasanya terdapat burung merak dan undan yaitu burung besar serupa angsa, tetapi dapat terbang tinggi.

Pada hari raya Saraswati, semua pustaka-pustaka, lontar-lontar, buku-buku dan alat-alat tulis menulis yang mengandung ajaran atau berguna untuk ajaran-ajaran agama, kesusilaan dan sebagainya, dibersihkan, dikumpulkan dan diatur pada suatu tempat, di pura, di pemerajan atau di dalam bilik untuk diupacarai. Upacara ini biasanya dilakukan pada pagi hari dan tidak boleh melewati tengah hari. Selain itu dilakukan juga persembahyangan pada hari raya Saraswati untuk memuja Dewi Saraswati sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Waça (Tuhan Yang Maha Esa).

Di Bali, persembahyangan Saraswati biasanya didominasi oleh para penuntut ilmu yaitu siswa, mahasiswa dan instansi pendidikan serta instansi pemerintahan. Khusus untuk daerah Denpasar, pura yang biasanya paling ramai adalah dijadikan tempat bersembahyang adalah Pura Jagatnata yang terletak di pusat kota Denpasar. Di pagi hari para generasi muda terutama siswa akan berbondong-bondong menuju sekolah masing-masing untuk bersembahyang bersama kemudian dilanjutkan Pura Jagatnata. Dari pagi hari sampai malam harinya tetap saja masih ada yang datang ke Pura Jagatnata, bahkan di malam harinya biasanya sampai terjadi antrian dan berdesak-desakan untuk masuk ke pura.

Perayaan Saraswati juga dilakukan dengan Mesambang Semadhi, yaitu semadhi ditempat yang suci di malam hari atau melakukan pembacaan lontar-lontar semalam suntuk dengan tujuan menemukan pencerahan Ida Hyang Saraswati. Banyak kelompok Dharma Gita atau Pesantian yang biasanya melakukan semadhi, membaca pustaka-pustaka, atau melakukan Dharma Gita atau kekawin di tempat-tempat suci, pura atau merajan. Untuk generasi muda, banyak yang begadang di pantai, bersama teman-temannya. Mereka begadang sampai pagi. Namun muncul kesan negatif dari hal ini yaitu generasi muda terutama para siswa yang masih duduk di bangku sekolah menggunakan kesempatan ini untuk berpacaran.

Keesokan harinya, dilaksanakan Banyu Pinaruh, yakni di pagi buta membasuh muka dengan air kumkuman (air kembang). Setelah melakukan upacara dan semadhi di malam hari, masyarakat akan beramai-ramai menuju pantai dan melakukan Banyu Pinaruh serta mandi di pantai. Pantai yang paling ramai dikunjungi biasanya pantai Sanur.

6. PRODUK BUDAYA

6.1. Seni Drama dan Tari

Drama dan tari tidak dapat dipisahkan. Keduanya seperti dua warna permukaan daun sirih, sama-sama mengandung rasa dan aroma yang tidak berbeda. Budaya Bali memiliki banyak sekali ragam kesenian Drama dan Tari. Drama dan tari penuh dengan simbol-simbol. Baik simbol dari kehidupan nyata maupun simbol kehidupan alam lain dan mimpi-mimpi. Hanya peradaban manusia yang mengerti arti simbol. Simbolisme yang digambarkan oleh para seniman drama dan tari di Bali sangat komunikatif. Tidak hanya menghibur hati, tetapi dapat memberikan pedoman yang mudah dicerna tentang benar dan salah, tentang baik dan buruk. Drama dan tari tidak hanya menghubungkan nalar dan rasa antar manusia, tetapi juga menghubungkan alam sekala dan niskala manusia secara harmonis dan estetis. Mengalir terus dipenuhi dengan inovasi baru yang tak pernah terbendung.

6.1.1. Tari Kekebyaran

Tari Kekebyaran meliputi berbagai jenis tarian tunggal, duet, trio, kelompok dan sendratari. Tari-tari ini dikelompokan sebagai Kekebyaran bukan hanya karena diiringi dengan gamelan Gong Kebyar, namun karena gerakannya yang dinamis dan bernafas kebyar. Oleh sebab itu, dalam kelompok ini terdapat Tari Lepas dan Sendra Tari. Tari Lepas adalah tari-tarian yang jangka waktu pentasnya relatif pendek, tidak berkaitan (terlepas-lepas) antara yang satu dengan lainnya, baik yang bercerita maupun tanpa cerita. Sendra Tari adalah sejumlah seni drama tari-tarian berlakon, yang berjangka waktu pentas relatif lebih panjang, dan dimainkan oleh lebih banyak orang.

6.1.1.1. Tari Lepas

Kelompok tari lepas adalah karya cipta profan yang biasanya dikhususkan untuk pertunjukan singkat namun menawan. Cerita dalam seni drama ini tidak saling berkaitan (terlepas-lepas) satu sama lain. Titik beratnya adalah perpaduan keindahan gerak, gamelan pengiring dan busana dan emosi tema yang diperagakannya.

Beberapa contoh tari lepas:

- Merak
- Sekarjagat
- Magoak-goakan
- Pendet
- Puspawresti
- Kebyar Duduk
- Nelayan
- Angkeran
- Panji Semirang
- Mregapati
- Trunajaya
- Oleg Tambulilingan
- Cilinaya
- Kupu-kupu
- Baris “Papotetan”
- Wiranata
- Wirayudha
- Cendrawasih
- Gelatik
- Manukrawa
- Senapati Abhimayu
- Rarad
- Sekar Ibing
- Dharma Putri
- Gopala
- Makepung
- Baris (Tunggal)
- Tenun
- Yudhapati
- Siwa Nataraja
- Tani
- Jaran Teji
- Garuda Wisnu
- Blibis
- Saraswati
- Baris Bandana Manggala Yuda

6.1.1.2. Sendratari

Di samping tari-tarian lepas, sejak sekitar tahun 1960 para pencipta tari di Bali juga telah menghasilkan sejumlah Seni Drama Tari (Sendratari). Sendratari pada hakekatnya adalah hasil kreativitas para seniman modern melalui pengolahan kembali elemen-elemen seni dan bentuk-bentuk kebudayaan yang sudah ada. Sebagaimana halnya di Jawa di mana sendratari dibentuk oleh unsur-unsur Wayang Wong dan Wayang Kulit, di Bali sendratari di bentuk dengan memadukan unsur-unsur Pewayangan, Pegambuhan, Pelegongan dan Kekebyaran.

Para ahli dan pengamat seni di Bali sepakat bahwa pencipta sendratari pertama adalah I Wayan Beratha, guru tari dan tabuh pada Konservatori Karawitan (Kokar) Bali di Denpasar (kemudian berubah SMKI dan sekarang menjadi SMK Negeri 3 Sukawati).

Pertumbuhan sendratari di Bali, diawali dengan karya yang menampilkan lakon dari cerita rakyat Bali - Jayaprana. Beberapa tahun kemudian, muncul sendratari-sendratari yang melakonkan babad/sejarah Bali, serta cerita-cerita rakyat dari luar namun cukup dikenal di kalangan masyarakat Bali. Kelahiran tarian berlakon atau dramatari modern ini mendapat sambutan yang cukup hangat dari kalangan masyarakat luas. Kenyataan ini mendorong I Wayan Beratha untuk menciptakan sendratari lainnya.

Sendratari kedua yang diciptakannya adalah Sendratari Ramayana yang pertama kali dipentaskan pada tahun 1965 pada hari ulang tahun yang ke-5 Kokar Bali di Denpasar. Dalam kedua sendratari ini (Jayaprana dan Ramayana), I Wayan Beratha masih tetap konsisten dengan konsepnya semula, yaitu menyajikan sebuah cerita atau lakon melalui tari dan karawitan. Walaupun antawacana atau narasi sudah dimasukkan kedalam kedua sendratari ini, peranan narasi masih sebatas memberikan penekanan dramatik bagi adegan-adegan yang terjadi di atas pentas. Disampaikan oleh seorang dalang, dari luar panggung, antawacana masih bersifat pendukung yang tidak terlalu dominan. Dominasi antawacana dalam sendratari Bali mulai tampak kurang sejak pertengahan tahun 1970.

Pada tahun 1978, panitia Festival Gang Kebyar se-Bali mengharuskan setiap wakil dari Kabupaten se-Bali untuk menampilkan sebuah sendratari yang durasinya tidak lebih dari 60 menit. Ketika itu lahir delapan buah sendratari pendek dengan jumlah pelaku utamanya antara 10 sampai dengan 15 orang penari. Yang menarik adalah bahwa dalam semua sendratari yang ditampilkan pada festival ini peranan dalang nampak dominan, bahkan melebihi dari apa yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.

Berdasarkan jumlah penarinya, sendratari yang ada di Bali kiranya dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu sendratari kecil (pada umumnya dibawakan oleh 10 sampai 25 orang penari,seperti yang terjadi antara tahun 1960 sampai 1970) dan sendratari kolosal atau besar (pada umumnya melibatkan antara 50 sampai 150 orang penari, seperti yang terjadi pada sendratari-sendratari yang ditampilkan dalam arena PKB).

Berdasarkan sumber lakonnya, sendratari Bali dapat dibagi kedalam 3 kelompok:
Babad dan Cerita Rakyat
- Jayaprana
- Rajapala
- Sampik Ingtai
- Arya Bebed
- Kebo Iwa
Ramayana
- Ramayana Kecil
- Ramayana Besar (Kolosal)
Mahabarata
- Mahabarata Kecil (sang Kaca)
- Narakesuma
- Mahabarata Besar (Kolosal)

6.1.2. Tari Baris

Sebagai tarian upacara, sesuai dengan namanya "Baris" yang berasal dari kata bebaris yang dapat diartikan pasukan maka tarian ini menggambarkan ketangkasan pasukan prajurit. Tari ini merupakan tarian kelompok yang dibawakan oleh pria, umumnya ditarikan oleh 8 sampai lebih dari 40 penari dengan gerakan yang lincah cukup kokoh, lugas dan dinamis, dengan diiringi Gong Kebyar dan Gong Gede. Setiap jenis, kelompok penarinya membawa senjata, perlengkapan upacara dan kostum dengan warna yang berbeda, yang kemudian menjadi nama dari jenis- jenis tari Baris yang ada.

Tari-tarian Baris yang masih ada di Bali antara lain:

Baris Katekok Jago
Baris yang membawa senjata tombak poleng (tombak yang tangkainya berwarna hitam dan putih) dan berbusana loreng hitam putih ditarikan dalam upacara Pitra Yadnya (Ngaben). Umumnya ada di daerah Badung dan Kodya Denpasar. Sedang tarian Baris sejenis di Buleleng disebut Baris Bedug dan di Gianyar disebut Baris Poleng.

Baris Tumbak
Baris yang membawa senjata tombak dan berbusana awiran berlapis-lapis ditarikan dalam upacara Dewa Yadnya, banyak dijumpai di daerah Badung, Bangli dan Gianyar.

Baris Dadap
Baris yang membawa senjata dapdap (semacam perisai), gerakannya lebih lembut dari jenis-jenis tari Baris lainnya dan penarinya menari sambil menyayikan tembang berlaras slendro dengan diiringi gamelan angklung yang juga berlaras slendro dan ditarikan dalam upacara Dewa Yanya kecuali di daerah Tabanan ditarikan dalam upacara Pitra Yadnya, banyak dijumpai di daerah Bangli, Buleleng, Gianyar dan Tabanan.

Baris Presi
Para penari baris ini membawa senjata keris, dan sejenis perisai yang dinamakan presi. Diadakan dalam kaitannya dengan upacara Dewa Yadnya. Banyak dijumpai di daerah Bangli dan Buleleng.

Baris Pendet
Tari baris yang para penarinya tampil tanpa membawa senjata perang melainkan sesaji (canang sari), ditarikan dalam upacara Dewa Yadnya. Di desa Tanjung Bungkak (Denpasar) penari baris ini membawa canang yang disebut canang oyod dan pada bagian akhir tariannya, para penari menari menggunakan kipas sambil "ma-aras-arasan" atau bersuka ria.

Baris Bajra
Baris yang membawa senjata gada dengan ujungnya berbentuk bajra (seperti gada Bhima) dan ditarikan dalam upacara Dewa Yadnya serta dapat dijumpai di daerah Bangli dan Buleleng.

Baris Tamiang
Baris yang membawa senjata keris dan perisai yang dinamakan tamiang, dapat dijumpai di daerah Badung.

Baris Kupu-kupu
Sesuai dengan temanya, tari Baris ini melukiskan kehidupan binatang kupu-kupu dan penarinya mengenakan sayap kupu-kupu, gerakannya lincah dan dinamis menirukan gerak-gerik kupu-kupu. Hingga kini tari ini ada di desa Renon dan Lebah (Denpasar).

Baris Bedil
Baris ini ditarikan oleh beberapa pasang penari yang membawa imitasi senapan berlaras panjang (bedil) terbuat dari kayu, ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di daerah Klungkung, Bangli dan Badung.

Baris Cina
Tari Baris ini diduga mendapat pengaruh budaya Cina, keunikannya terlihat dari tata busana (celana panjang dengan baju lengan panjang, selempang kain sarung, bertopi, berkacamata hitam serta memakai senjata pedang), geraknya (mengambil gerakan pencak silat), dan iringannya (gamelan Gong Bheri yaitu Gong tanpa moncol). Tarian ini menggambarkan pasukan juragan asal tanah Jawa yang datang ke Bali. Tarian ini ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di desa Renon dan Belanjong, Sanur (Denpasar).

Baris Cendekan
Baris ini ditarikan oleh beberapa pasang penari yang membawa senjata tombak yang pendek (cendek), ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya.

Baris Panah
Baris ini ditarikan oleh beberapa pasang penari yang membawa senjata panah dan ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya, terdapat di daerah Buleleng dan di Bangli.

Baris Jangkang
Baris ini ditarikan oleh penari-penari yang membawa senjata tombak panjang, ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di daerah Bangli, Gianyar, dan Klungkung (Nusa Penida).

Baris Gayung
Baris ini ditarikan oleh sekelompok penari yang terdiri dari para pemangku dengan membawa gayung atau cantil (alat untuk membawa air suci), ditampilkan dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di daerah Bangli, Gianyar serta Badung.

Baris Demang
Ditarikan oleh sekelompok penari yang menggambarkan tokoh Demang (salah satu dari tokoh Pagambuhan) dalam drama tari klasik Gambuh dengan senjatanya pedang, tumbak, panah dan lain-lainnya. Tari Baris ini terdapat di daerah Buleleng.

Baris Cerekuak
Tarian yang menggambarkan gerak-gerik sekelompok burung air (cerekuak) ketika mencari kekasihnya, burung manuk dewata. Para penarinya memakai busana babuletan (kain yang dicawatkan sampai di atas lutut) dengan hiasan dari daun- daunan pada sekujur tubuh dan kepala, hanya ditampilkan dalam upacara Pitra Yadnya (Ngaben) dengan Gamelan pengiringnya Batel Gaguntangan. Tarian baris tersebut terdapat di daerah Tabanan.

Baris Mamedi
Tarian ini menggambarkan sekelompok roh halus (mamedi) yang hidup ditempat angker seperti kuburan, para penarinya memakai busana yang terbuat dari dedaunan dan ranting yang diambil dari kuburan. Gamelan pengiring tarinya gamelan Balaganjur. Tarian diselenggarakan dalam rangka upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan terdapat di daerah Tabanan.

Baris Katujeng
Tari ini menggambarkan sekelompok roh halus yang hidup di tempat angker yang dimaksudkan sebagai tari pengantar atman orang yang meninggal menuju sorga, dibawakan oleh sekelompok penari yang mengenakan busana dari dedaunan. Tari baris ini dipertunjukan dalam upacara Pitra Yadnya (Ngaben).

Baris Gowak
Tarian yang melukiskan peperangan antara pasukan Tegal Badeng (Badung) dengan sekelompok burung gagak pembawa kematian, di mana beberapa pasang penarinya memerankan prajurit Tegal Badeng dan yang lainnya sebagai sekelompok burung gagak dengan kostum yang memakai sayap. Tarian ini sangat disucikan oleh masyarakat desa Selulung, Kintamani (Bangli) dan terdapat dalam Upacara Dewa Yadnya.

Baris Omang
Tari Baris yang mempergunakan senjata tombak tetapi gerakannya perlahan-lahan seperti jalannya siput (Omang), menggambarkan pertempuran antara pasukan Tegal Badeng (Badung) dengan pasukan Guwak (burung gagak). Tarian ini sangat disucikan oleh masyarakat Selulung (Kintamani - Bangli, dan terdapat dalam upacara Dewa Yadnya.

Baris Jojor
Tarian baris yang ditarikan sekelompok penari dengan membawa senjata Jojor (tombak bertangkai panjang) terdapat dalam upacara Dewa Yadnya dan ada di daerah Buleleng, Bangli dan Karangasem.

Baris Tengklong
Tari yang dibawakan oleh sekelompok penari dengan senjata pedang, gerakannya dinamis, perkasa dan mendekati gerakan pencak silat. Khusus ditampilkan dalam upacara di Pura Penambangan Badung, tepatnya di desa Pamedilan, Kodya Denpasar.

Baris Kelemet
Tarian ini dibawakan oleh sekelompok penari yang memerankan para nelayan, dengan senjata semacam dayung dan menggambarkan orang naik sampan di laut untuk menangkap ikan, tari ini ada dalam upacara Dewa Yadnya dan terdapat di daerah Badung.

6.1.3. Drama Gong

Drama Gong adalah sebuah bentuk seni pertunjukan Bali yang masih relatif muda usianya yang diciptakan dengan jalan memadukan unsur-unsur drama modern (non tradisional Bali) dengan unsur-unsur kesenian tradisional Bali. Dalam banyak hal Drama Gong merupakan pencampuran dari unsur-unsur teater modern (Barat) dengan teater tradisional (Bali). Nama Drama Gong diberikan kepada kesenian ini oleh karena dalam pementasannya setiap gerak pemain serta peralihan suasana dramatik diiringi oleh gamelan Gong (Gong Kebyar). Drama Gong diciptakan sekitar tahun 1966 oleh Anak Agung Gede Raka Payadnya dari desa Abianbase (Gianyar). Diakui oleh penciptanya bahwa Drama Gong yang diciptakan dengan memadukan unsur-unsur drama tari tradisional Bali seperti Sendratari, Arja, Prembon dan Sandiwara dimaksudkan sebagai sebuah prembon (seni campuran) modern.

Unsur-unsur teater modern yang dikawinkan dalam Drama Gong antara lain:
- tata dekorasi
- penggunaan sound efect
- akting
- tata busana

Karena dominasi dan pengaruh kesenian klasik atau tradisional Bali masih begitu kuat, maka semula Drama Gong disebut "drama klasik".

Adalah I Gusti Bagus Nyoman Panji yang kemudian memberikan nama baru (Drama Gong) kepada kesenian ini berdasarkan dua unsur baku (drama dan gamelan gong) dari kesenian ini. Patut dicatat bahwa sebelum munculnya Drama Gong di Bali telah ada Drama Janger, sebuah kesenian drama yang menjadi bagian dari pertunjukan tari Janger. Dalam banyak hal, drama Janger sangat mirip dengan Sandiwara atau Stambul yang ada dan populer sekitar tahun 1950.

Drama Gong adalah sebuah drama yang pada umumnya menampilkan lakon-lakon yang bersumber pada cerita-cerita romantis seperti cerita Panji (Malat), cerita Sampik Ingtai dan kisah sejenis lainnya termasuk yang berasal dari luar lingkungan budaya Bali. Dalam membawakan lakon ini, para pemain Drama Gong tidak menari melainkan berakting secara realistis dengan dialog-dialog verbal yang berbahasa Bali.

Para pemeran penting dari Drama Gong adalah:
- Raja manis
- Raja buduh
- Putri manis
- Putri buduh
- Raja tua
- Permaisuri
- Dayang-dayang
- Patih keras
- Patih tua
- Dua pasang punakawan

Para pemain mengenakan busana tradisional Bali, sesuai dengan tingkat status sosial dari peran yang dibawakan dan setiap gerak pemain, begitu pula perubahan suasana dramatik dalam lakon diiringi dengan perubahan irama gamelan Gong Kebyar. Masyarakat Bali mementaskan Drama Gong untuk keperluan yang kaitannya dengan upacara adat dan agama maupun kepentingan kegiatan sosial. Walaupun demikian, Drama Gong termasuk kesenian sekuler yang dapat dipentaskan di mana dan kapan saja sesuai dengan keperluan. Kesenian Drama Gong inilah yang memulai tradisi pertunjukan berkarcis di Bali karena sebelumnya pertunjukan kesenian bagi masyarakat setempat tidak pernah berbentuk komersial. Drama Gong mulai berkembang di Bali sekitar tahun 1967 dan puncak kejayaannya adalah tahun 1970. Pada masa itu kesenian tradisional Bali seperti Arja, Topeng dan lain-lainnya ditinggalkan oleh penontonnya yang mulai kegandrungan Drama Gong. Panggung-panggung besar yang tadinya menjadi langganan Arja tiba-tiba diambil alih oleh Drama Gong. Namun semenjak pertengahan tahun 1980 kesenian ini mulai menurun popularitasnya, sekarang ini ada sekitar 6 buah sekaa Drama Gong yang masih aktif.

Sekaa-sekaa Drama Gong yang dimaksud antara lain adalah:
- Drama Gong Bintang Bali Timur
- Drama Gong Duta Budaya Bali
- Drama Gong Dewan Kesenian
- Drama Gong Dwipa Sancaya
- dan lain-lain

Terakhir muncul Drama Gong Reformasi yang didukung oleh para bintang Drama Gong dari berbagai daerah di Bali.

6.1.4. Drama Klasik

Drama Klasik pada dasarnya adalah suatu bentuk seni drama yang menyajikan lakon-lakon klasik terutama dari kisah pewayangan. Berbeda dengan yang terjadi dalam Drama Gong, dalam Drama Klasik faktor iringan tidak begitu mengikat dan dalam banyak hal gamelan dimainkan sekedar hanya sebagai ilustrasi yang berfungsi sebagai pengisi kekosongan ketika terjadi peralihan adegan. Pemusik tidak ditampilkan di pentas melainkan disembunyikan dibalik layar. Lakon dan dialog - dialog dalam Drama Klasik dituangkan kedalam sebuah skenario yang disusun oleh seorang sutradara. Di dalam membawakan lakon, para pemain berakting secara realistis dengan dialog berbahasa Indonesia gaya sandiwara atau bahasa Bali, dengan mengenakan busana yang dirancang mendekati busana pewayangan.

Seni drama modern ini diciptakan oleh seorang tokoh drama asal Badung, Ida Bagus Anom Ranuara, melalui sanggar teater yang dipimpinnya yaitu Sanggar Mini Badung. Kreasi ini muncul menjelang akhir tahun 1970 yang kehadirannya banyak didorong oleh TVRI Denpasar. Penampilan Drama Klasik karya Anom Ranuara sebagian besar melalui tayangan layar kaca. Satu aspek penting yang membedakan drama ini dengan Drama Gong adalah tidak adanya peran Punakawan untuk menterjemahkan dialog para pemeran utama. Set dekorasi dan properti panggung yang realistis menjadi salah satu kekuatan dari Drama Klasik ini. Disamping itu durasi pementasan dari Drama Klasik relatif singkat yaitu sekitar 2 jam, dibandingkan dengan Drama Gong yang bisa dipentaskan semalam suntuk.

6.1.5. Barong

Tarian ini merupakan peninggalan kebudayaan Pra-Hindu yang menggunakan boneka berwujud binatang berkaki empat atau manusia purba yang memiliki kekuatan magis.

Topeng Barong dibuat dari kayu yang diambil dari tempat-tempat angker seperti kuburan, oleh sebab itu Barong merupakan benda sakral yang sangat disucikan oleh masyarakat Hindu di Bali. Pertunjukan tari ini dengan atau tanpa lakon, selalu diawali dengan pertunjukan pembuka, yang diiringi dengan gamelan yang berbeda-beda seperti Gamelan Gong Kebyar, Gamelan Babarongan, dan Gamelan Batel.

Beberapa jenis Barong yang hingga kini masih ada di Bali adalah sebagai berikut:

6.1.5.1. Barong Ket

Barong Ket atau Barong Keket adalah tari Barong yang paling banyak terdapat di Bali dan paling sering dipentaskan serta memiliki pebendaharaan gerak tari yang lengkap. Dari wujudnya, Barong Ket ini merupakan perpaduan antara singa, macan, sapi atau boma. Badan Barong ini dihiasi dengan ukiran-ukiran dibuat dari kulit, ditempel kaca cermin yang berkilauan dan bulunya dibuat dari perasok (serat dari daun sejenis tanaman mirip pandan), ijuk atau ada pula dari bulu burung gagak.

Untuk menarikannya Barong ini diusung oleh dua orang penari yang disebut Juru Saluk/Juru Bapang, satu penari di bagian kepala dan yang lainnya di bagian pantat dan ekornya. Tari Barong Keket ini melukiskan tentang pertarungan kebajikan (dharma) dan keburukan (adharma) yang merupakan paduan yang selalu berlawanan (rwa bhineda). Tari Barong Ket diiringi dengan gamelan Semar Pagulingan.

6.1.5.2. Barong Landung

Barong ini mula-mula dipakai untuk mengelabui barisan makhluk halus ganas yang menebar segala bencana penyakit dan marabahaya ke perkampungan penduduk Bali. Makhluk-makhluk halus tersebut dipercaya sebagai anak buah dan hulubalang Ratu Gede Mecaling yang menyeberangi lautan dari Nusa Penida. Oleh seorang pendeta sakti, kemudian penduduk disarankan untuk membuat patung yang mirip sang majikan, tinggi besar, hitam dan bertaring, dan diberi nama Jero Gede Mecaling, atau Ratu Mecaling. Karena itu masyarakat segera membuat tiruan Jero Gede Mecaling dan mengaraknya berkeliling kampung untuk membuat para makhluk halus itu takut dan menyingkir. Sirnalah segala macam penderitaan yang menghantui penduduk selama ini. Untuk penghormatan kepada tiruan Jero Gede, dibuatlah pasangannya yang biasa dipanggil Jero Luh. Kedua Barong Landung itu sering dihibur, diajak berjalan-jalan dan dibuatkan keramaian supaya bisa menari dan bersenang-senang.

Tinggi Barong Landung itu kira-kira dua kali ukuran manusia. Orang yang memperagakannya mendapat penglihatan melalui celah-celah yang dianyam di bagian perut sang Barong.

Di beberapa tempat di Bali ada juga Barong Landung yang lebih lengkap dari pada yang hanya sepasang saja, tetapi ada yang diberi peran seperti Mantri, Galuh, Limbur dan sebagainya. Mereka dipakai sebagai anggota dalam pementasan yang membawakan lakon Arja (terutama didaerah Badung) dan diiringi dengan gamelan Batel.

6.1.5.3. Barong Gajah

Barong ini menyerupai gajah, ditarikan oleh dua orang dan termasuk jenis barong yang langka sehingga dikeramatkan warga masyarakat pengemongnya. Dipentaskannya secara berkeliling desa (ngelelawang) tanpa membawakan lakon dan diiringi dengan gamelan batel/tetamburan. Barong ini terdapat di daerah Gianyar, Tabanan, Badung dan Bangli.

6.1.5.4. Barong Macan

Sesuai dengan namanya, Barong ini menyerupai seekor macan dan termasuk jenis barong yang terkenal di kalangan masyarakat Bali. Dipentaskannya dengan berkeliling desa dan adakalanya dilengkapi dengan suatu dramatari semacam Arja serta diiringi dengan gamelan batel.

6.1.5.5. Barong Asu

Barong ini menyerupai anjing (asu) dan termasuk jenis Barong yang langka, hanya terdapat di beberapa desa di daerah Tabanan dan Badung. Biasanya dipentaskan dengan berkeliling desa (ngelelawang) pada hari-hari tertentu tanpa lakon dengan diiringi gamelan batel/tetamburan atau Balaganjur.

6.1.5.6. Barong Brutuk

Tarian yang langka, menggambarkan makhluk-makhluk suci (para pengiring Ida Ratu Pancering Jagat) yang berstana di Pura Pancering Jagat, Trunyan. Penarinya adalah remaja yang telah disucikan dan mengenakan busana yang terbuat dari daun pisang kering (keraras), memakai topeng dari batok kelapa, setiap orang membawa cambuk yang dimainkan sambil berlari-lari mengelilingi pura, diiringi dengan gamelan Balaganjur/Babonangan. Barong ini terdapat di daerah Trunyan-Kintamani (Bangli).

6.1.5.7. Barong Kadingkling

Barong ini disebut juga Barong Blasblasan, pementasannya secara ngelelawang, para penarinya hanya mengenakan topeng Wayang Wong dengan lakon cuplikan-cuplikan dari cerita Ramayana terutama adegan perang dan setiap tokoh dimainkan oleh satu orang penari yang masih anak-anak, dipentaskan pada hari-hari Raya Galungan maupun Kuningan diiringi dengan gamelan batel dan ada pula yang semacam babonangan (gamelan batel yang dilengkapi dengan reyong). Barong ini terdapat di daerah Gianyar, Bangli dan Klungkung.

6.1.6. Tari Sanghyang

Tari Sanghyang adalah tari sakral, yang terdapat dalam rangkaian sebuah upacara adat suci. Sampai saat ini, tari Sanghyang tidak diadakan sekedar sebagai sebuah tontonan. Tari Sanghyang merupakan tari kerauhan (trance) karena kemasukan roh (bidadari khayangan dan binatang lainnya yang memiliki kekuatan merusak seperti babi hutan, monyet, atau yang mempunyai kekuatan gaib lainnya). Tari ini adalah warisan budaya Pra-Hindu yang dimaksudkan sebagai penolak bahaya, yaitu dengan membuka komunikasi spiritual dari warga masyarakat dengan alam gaib. Tarian ini dibawakan oleh penari putri maupun putra dengan iringan paduan suara pria dan wanita yang menyanyikan tembang-tembang pemujaan. Di daerah Sukawati-Gianyar, tari ini juga diiringi dengan Gamelan Palegongan.

Di dalam Tarian ini selalu ada tiga unsur penting yaitu asap/api, Gending Sanghyang dan medium (orang atau boneka).

Penyelenggaraannya melalui tiga tahap penting yaitu:
- Nusdus (upacara penyucian medium dengan asap/api)
- Masolah (penari yang sudah kemasukan roh mulai menari)
- Ngalinggihang (mengembalikan kesadaran medium dan melepas roh yang memasuki dirinya untuk kembali ke asalnya)

Beberapa jenis tari Sanghyang yang hingga kini masih ada di Bali, antara lain:

6.1.6.1. Sanghyang Dedari

Sebagaimana namanya, tari Sanghyang Dedari ini termasuk tarian sakral yang tidak untuk dipertontonkan sebagai fungsi pertunjukan, tetapi hanya diselenggarakan dalam rangkaian upacara suci. Tarian ini dilakukan oleh sepasang gadis cilik yang belum akil balig. Sebelum menari, kedua gadis tadi diupacarai untuk memohon datangnya sang Dedari ke dalam badan kasar mereka. Prosesi diiringi dengan paduan suara gending sanghyang yang dilakukan oleh kelompok paduan suara wanita dan pria. Kedua gadis itu kemudian pingsan, tanda bahwa roh dedari telah merasukinya.

Kemudian beberapa orang membangunkan dan memasangkan hiasan kepalanya, kedua gadis dalam keadaan tidak sadar, dibawa ke tempat menari. Di tempat menari, kedua gadis kecil itu diberdirikan di atas pundak dua orang pria yang kuat. Dengan iringan gamelan Palegongan, kedua penari menari-nari di atas pundak si pemikul yang berjalan berkeliling pentas. Gerakan tarian yang dilakukan mirip dengan tari Legong. Selama tarian berlangsung, mata kedua gadis itu tetap tertutup rapat. Menari di atas bahu seseorang tanpa terjatuh, tidak mungkin dilakukan oleh gadis-gadis cilik dalam keadaan sadar, apalagi biasanya si gadis belum pernah belajar menari sebelumnya. Sungguh menakjubkan.

Tarian suci ini diadakan dalam upacara memohon keselamatan dari bencana atau wabah penyakit yang menyerang suatu desa.

Tarian ini terdapat di daerah Badung, Gianyar, dan Bangli.

6.1.6.2. Sanghyang Jaran

Ditarikan oleh seorang pria atau seorang pemangku yang mengendarai sebuah kuda-kudaan yang terbuat dari pelepah daun kelapa. Penarinya kerasukan roh kuda tunggangan dewata dari khayangan, diiringi dengan nyanyian paduan suara yang melagukan gending sanghyang, berkeliling sambil memejamkan mata, berjalan dan berlari-kecil dengan kaki telanjang, menginjak-injak bara api batok kelapa yang dihamparkan di tengah arena.

Tari ini diselenggarakan pada saat-saat prihatin, misalnya terjadi wabah penyakit atau kejadian lain yang meresahkan masyarakat, dan terdapat di daerah Denpasar, Badung, Gianyar dan Bangli.