Jumat, 16 Desember 2016

12 JAM MULUT DILAKBAN, TANGGAL 12 DESEMBER 2016 MASEHI

Total 12 Jam menjalani dan mendalami peran si Muka Lakban pada saat perayaan Grebeg Maulud di Kota Yogyakarta pada hari Senin tanggal 12 Desember 2016 Masehi (sudah dikurangi waktu 1 jam istirahat).

Berangkat dari kantor Gurat Ungu jam 8 dengan mulut sudah terlakban, pamitan dengan security juga pakai bahasa isyarat.

Jalan kaki menyusuri jalanan sukun raya hingga ke jalan Janti menuju shelter Trans Jogja. Ditanya petugas, mau kemana mas?
Jawabnya pakai tulisan TITIK NOL (maksudnya titik nol kilometer kota Jogja). Bayar tiga ribu lima ratus, naik bus Trans Jogja kode 1B. Cuek aja. Biarkan penumpang lain penasaran.

Turun di shelter Taman Pintar, jalanan sudah mulai macet, ada Gajah yang mau ngiring Gunungan. Gajahnya tiga ekor. Sebenarnya ekornya enam jika dihitung dengan ekor pawangnya. Jalan kakinya gerak cepat, biar kayak charlie chaplin dan dibuat seperti wisatawan yang bingung. Mata lirak lirik dan langkah henti mendadak seperti mencari sesuatu dikeramaian.

Terus menyusup dikeramaian tak peduli pandangan orang. Sampai didepan gerbang pintu masuk Kraton Jogja. Ketemu orang asing, lalu memintanya untuk memfoto aku. Tentunya pakai bahasa isyarat. Dia mau. Terima kasih ya mas Bule.

Pindah tempat ke arah masjid agung. Karena katanya gunungan akan dibawa ke masjid. Agak kecewa juga sih karena aku sebenarnya ingin lihat Prajurit-prajurit. Ternyata para prajurit mengawal gunungan yang dibawa ke Pakualaman. Bersama pasukan gajah. Tapi masih penasaran sehingga tetap panas-panasan disitu. Eh, ada yang pingsan. Cewek. Tapi tenang, udah ditolong kru Saka Bhakti Husada yang kaosnya berwarna hijau. Eh, ada prajurit pingsan. Mungkin dia masuk angin.

Gunungan lewat setelah didahului para abdi dalem dan tiga kuda. Gunungannya berisi kue, kacang panjang, cabe merah. Lalu ada lagi gunungan yang berisi rengginang mentah. Aku tidak begitu paham. Karena aku wisatawan dari luar kota.

Setelah gunungan lewat, aku jalan kaki lagi menuju titik nol. Foto disamping Benteng Vredeburg, diluar saja karena wisata Benteng hari senin tutup. Lalu menyebrang, foto di depan Gedung Agung. Dan duduk-duduk di bangku yang tersedia di sekitar jalan itu.

Hampir jam satu, lapar dan haus melanda. Jalan kaki lagi menuju Masjid Agung. Jangan lupa bersyukur. Setelah itu makan disekitar masjid. Lakban sudah dilepas. Mie Ayam dan Teh hangat. Habis sebelas ribu. Kemudian jalan kaki ke toko mitra, beli kaos polos. Karena ingat Budi dan Zuldan belum dapat kaos The Tampan Decorator.

Habis beli kaos polos. Lakban dipakai lagi. Jalan menuju alun-alun kidul, melewati Pasar Ngasem dan Taman Sari. Panas banget pembaca. Berteduh dulu dibawah pohon beringin yang terkenal itu. Lihat orang-orang yang coba melewati tengah-tengah antara dua pohon beringin dengan mata ditutup kain. Sewa kainnya lima ribu untuk tiga kali gagal. Aduh, kaki dirubung semut.

Jalan lagi, rencananya mau ke Sanggar Pantomim Jemek Supardi di Kampung Siliran. Sampai disitu ternyata sepi. Numpang lewat saja dan naik ke Pojok Benteng Wetan. Ini Benteng yang melingkari wilayah Kraton Jogja. Istirahat dan tiduran disitu sampai sore. Ternyata Pojok Benteng Wetan termasuk tujuan wisata para orang pacaran. Jadi aku disitu sengaja bikin takut mereka dengan mulut masih terlakban. Hasilnya? Mereka nggak takut, malah asyik pacaran dan ciuman pula.

Sekitar pukul lima sore, aku berjalan menyusuri Benteng,  sampai ke Plengkung Gading. Pintu Benteng Selatan. Agak gerimis. Sempat mampir beli minum juga, air mineral. Lalu lanjut jalan dan duduk-duduk dibawah pohon yang ada di alun-alun kidul. Bukan pohon beringin. Sampai Maghrib.

Jalan lagi, ke toilet umum disekitar situ dan ada musholanya juga. Habis itu makan di angkringan. Dua bungkus nasi, dua bakwan, teh anget. Tujuh ribu lima ratus. Dan melanjutkan perjalanan, pasang lakban di mulut lagi. Sampai Pasar Ngasem berpapasan dengan anak kecil.

"Yah, kok ada orang kayak gitu?" katanya sambil nunjuk aku.

Ayahnya menjawab, tapi aku tidak dengar.

Ekspresi orang-orang disekitar aku perhatikan ada yang heran, bingung, tertawa, dan ada yang takut. Mungkin dikira orang gila. Tapi aku tetap cuek aja. Sedang mendalami pantomim. Tes mental.

Di pasar malam sekaten alun-alun utara, ada ibu-ibu bilang,"kok dibungkem ngono ngopo e mas?"

Aku tetap jalan, dalam hati tersenyum.

Tujuanku berikutnya adalah Plang Jalan Malioboro. Panjang dan melelahkan. Pakai Jas ternyata panas juga walau malam dingin. Sepanjang jalan Malioboro. Dengan mulut terlakban. Ngap juga ternyata. Sudah sampai di plang Jalan Malioboro ramai. Males ah foto disitu. Akhirnya belok arah. Sekarang malioboro sisi kiri atau sisi timur jalan yang aku susuri.

Sampai di depan Monumen Serangan Umum Satu Maret. Sempat foto-foto dengan para orang-orangan. Sebenarnya itu upaya untuk memperkenalkan karakter Muka Lakban ke khalayak ramai.

Habis itu jalan kaki lagi, didepan taman pintar, kaki merasa pegal sekali, istirahat sebentar di dekat shelter trans Jogja. Sambil menyiapkan tulisan JEC. Buat nanti kalau mau naik Trans Jogja tanpa berkata-kata. Kaki sudah enakan. Jalan menuju shelter Taman Pintar. Diledekin pegawai-pegawai Trans Jogja karena mulut terlakban.

Didalam shelter, aku dikira mahasiswa yang sedang aksi tutup mulut oleh orang-orang tua. Ada anak kecil yang penasaran dan bertanya-tanya, aku jawab saja dengan isyarat dan tulisan. Sempat juga berfoto dengan bocah itu. Yang bersama kedua orang tuanya naik bus kode 2A. Aku jurusan JEC naiknya kode 1A.

Didalam bus ada anak-anak kecil yang tertawa-tawa melihat penampilanku. Ada juga didepanku mbak-mbak yang sepertinya mengenal Tape Face ditipi. Biarkan saja. Yang penting hari itu aku berhasil jalan-jalan dikeramaian kota dengan mulut terlakban.

Sampai dikantor lagi jam 9 malam. Tapi sebelum masuk, lakban aku lepas, biar terlihat normal. Sekian cerita dari Si Muka Lakban di Jogja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar