Jumat, 04 September 2020

DATANGLAH, DINDA


DATANGLAH, DINDA

Hari sudah Selasa. Sejak terakhir bertemu Dinda pada hari Rabu yang lalu. Aku sudah bertekad bahwa malam ini aku harus bertemu dengannya daripada aku gila karena tertekan jutaan ton rindu yang menyesakkan dada dan kepala. Aku tak bisa apa-apa. Terlebih Dinda bilang sudah dua minggu tidak pegang hape. Otomatis jika sudah berpisah, kami tidak bisa saling bicara. Tersiksalah bagi orang-orang yang sedang kasmaran, jika rindu sudah datang menyergap malam-malam.

Berawal dari obrolan dengan Broto pada siang hari. Broto mengatakan kalau kangen, sebagai lelaki sekali-kali aku harus datang ke rumah Dinda, jangan dia yang datang ke tempatku terus. Jadi, sorenya aku sudah berhasil meminjam motor Pak Irwan, lengkap dengan eS-Te-eN-Ka-nya. Biar bisa ke rumah Dinda dengan cepat. Semua terlihat beres dan terasa akan berjalan dengan sempurna.

Selepas maghrib, aku pergi menuju ke rumah Dinda dengan diiringi doa sebisanya, intinya biar bisa dipertemukan dalam keadaan yang menyenangkan. Begitu saja. Aku mengarahkan laju motor ke arah selatan. Setelah sampai di jalan raya, aku belok kiri untuk menuju Ringroad Timur Jogjakarta, lewat lampu merah perempatan Blok O. Kemudian belok kanan sepanjang Ringroad Timur yang lumayan ramai kendaraan waktu itu. Melintasi lampu merah perempatan Jalan Wonosari, terus saja sampai ada perempatan lagi. Itu perempatan yang kalau aku belok ke kiri akan sampai di Ngipik, dan kalau aku belok ke kanan akan sampai di Kota Gede. Jadi aku lurus saja terus sampai ketemu yang namanya Jalan Kemasan, itu sebelum Mototech dan SPBU Singosaren. Aku belok kiri melewati rumah-rumah penduduk.

Kemudian aku sampai di daerah yang bernama Glondong. Mendapati pertigaan, aku belok kanan sedikit, lalu belok kiri. Untuk menuju Desa Wirokerten. Melewati SMA Negeri 2 Banguntapan, di seberangnya ada Balai Desa Wirokerten, dan Lapangan Desa Wirokerten. Setelah melewati lapangan ada pertigaan lagi, aku memilih belok kiri, karena kalau ke kanan aku tidak tahu itu jalan ke mana. Sepanjang jalan itu samping kiri dan kanannya sawah, pohon, dan gelap. Aku terus melaju sampai akhirnya masuk ke pemukiman warga yang ditandai dengan adanya gapura besar berwarna hijau dengan tulisan berwarna putih, "Sentra Industri Kecil Emping Melinjo, Kepuh Kulon, Wirokerten." 

Aku terus saja melajukan motor. Lurus sampai nanti mentok di tikungan, belok kiri. Ada rumah dengan desain lawas, warna temboknya putih sedangkan pintu dan jendelanya berwarna biru, halamannya luas, dan banyak ditumbuhi pohon pisang, itu rumah tempat Dinda tinggal. Aku pun mengendarai motor untuk masuk ke halaman, kemudian aku berhenti, dan turun dari motor. Sepi.

"Assalamu'alaykuum.." ujarku mengucapkan salam.

"Wa'alaykumsalaam," jawab seseorang dari dalam rumah, dan terbukalah pintu. Muncul seorang lelaki, mungkin itu ayahnya Dinda. Kemudian aku mengajaknya bersalaman. "Cari siapa?"

"Mbak Dinda.." jawabku.

"Mbak Dinda, sepertinya belum pulang mas.." kata si Bapak.

"Ke mana ya, pak?" aku bertanya lagi.

"Ngasih les anak sekolah.. apa mau ditunggu?" tawar si Bapak.

"Oo.. yasudah, begini saja, pak.. saya tunggu sebentar, kalau sampai waktu isya' belum pulang, saya yang pulang.." tuturku.

"Oh, ya, silakan.. duduk dulu sini," si Bapak mempersilakan aku untuk duduk di kursi kayu yang ada di teras. "Saya sambil kerja ya, mas.." Kemudian si Bapak masuk lagi ke dalam rumah untuk melanjutkan pekerjaannya.

"Iya, pak.."

Detik berganti menit. Aku duduk di kursi sambil diam. Lalu aku mengeluarkan secarik kertas dari dalam tasku. Dilanjutkan dengan aku mengeluarkan bolpen juga. Aku menuliskan pesan singkat untuk Dinda, dengan bahasa Mars. Biar Dinda saja yang tahu. Ini yang aku tulis:

"uaz

Assalamu'alaykuum..
¿keggu uekifewip ndwel
ueguap uelnq feyil new
eweujnd uelnq kosaq

"epuip oley

Bumi, 1 September 2020 Masehi"

Aku berdiam diri lagi. Menanti Dinda yang tak kunjung pulang. Ditemani suara jangkrik yang mengerik di halaman rumah Dinda. Kadang suara motor juga ada. Suara hewan lain juga ada. Sampai akhirnya suara toa di tiang listrik depan rumah Dinda berbunyi sangat keras. Itu suara adzan dari masjid Al Fadhla. Masjidnya di sebelah utara, tapi ternyata pengeras suaranya ditempatkan di titik-titik tertentu.

Karena sudah masuk waktu Isya'. Aku pun memutuskan untuk pulang saja. Seperti kataku di awal kedatangan tadi. Aku melipat kertas berwarna hijau yang sudah aku tulis dengan pesan untuk Dinda.

"Pak, saya mau pulang saja, sudah masuk waktu isya' ini.." ujarku pamit pada si Bapak.

"Oh, iya, Mas.." jawab si Bapak.

"Saya titip ini pak, buat mbak Dinda, tolong nanti disampaikan ya.." kataku sambil memberikan kertas itu kepada ayahnya Dinda. Lalu aku bersalaman dengannya. Dilanjutkan dengan aku pergi naik motor. Bingung mau kemana.

Aku berpikir, kira-kira dimana Dinda sekarang? Yang aku tahu, jadwal les nya kalau hari Selasa itu jam empat sore ada di Sewon. Aku berniat untuk menyusul ke sana, tapi masa iya sampai jam segini belum selesai? Akhirnya aku memutuskan untuk menyusuri jalan yang biasa dilewati Dinda saja. Siapa tahu ketemu di jalan. Jadi aku pulang lewat jalan yang lain, tidak seperti waktu berangkat dengan harapan bisa bertemu Dinda. 

Yang terjadi adalah, aku tidak menemukan sosok Dinda naik motor dengan helm kura-kura-nya sampai masuk perempatan jalan Imogiri Timur. Ada pikiran untuk lurus menuju jalan Imogiri Barat lewat jalan tembusan di kampung-kampung. Tapi aku pikir, buat apa? Yasudah aku belok saja ke kanan,ke arah pulang, menuju lampu merah perempatan Terminal Giwangan. Sudah itu aku telusuri jalanan Ringroad Selatan dengan hati gundah gulana. Sepanjang jalan terus mencari apakah ada Dinda di seberang jalan? Aku benar-benar seperti orang gila.

Aku sempat ingin pergi ke angkringan saja untuk melupakan pikiran tentang Dinda. Kebetulan temanku ada yang buka usaha angkringan di daerah Papringan. Tapi hatiku tidak mau di ajak kesana. Akhirnya aku malah pergi ke Indomaret. Beli mie instant tiga bungkus. Aku beli itu pun karena tidak tahu apa sebenarnya yang ingin aku beli. Karena sudah terlanjur masuk. Yasudah beli saja yang murah dan bermanfaat ketika lapar nanti. Benar-benar kacau pikiran dan hatiku saat itu.

Aku pulang ke tempatku dengan hampa. Gagal bertemu Dinda malam ini. Bingung mau apa lagi. Akhirnya, setelah meletakkan mie instant yang sudah kubeli tadi, aku memutuskan untuk ambil wudhu, kemudian sholat isya'. Dengan do'a pada saat-saat terakhir sholat begini : Ya Allah, aku mohon pertemukanlah aku dengan Dinda, datangkanlah Dinda malam ini ya Allah.. Aamiin.

Dalam penantian yang tak pasti, aku hanya tiduran saja di atas kasur di dalam kamar. Sembari membaca-baca berita di internet. Musik juga aku setel dengan kencang. Biar tidak terasa sepi sekali. Hingga tak terasa jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku mulai merasa ngantuk.

Dalam keadaan hampir memejamkan mata. Sayup-sayup terdengar suara motor berhenti. Kemudian terdengar suara perempuan berteriak-teriak.

"Oom Zeeeen!.." begitu bunyinya.

"Iyaaaa.." jawabku.

"Oom Zeeeeen!.." teriaknya lagi.

"Iyaaa, tungguu sebentaaar.." aku berjalan setengah berlari sampai sandal jepit yang sebelah kiri terlepas dari kaki. Aku pakai lagi setelah tadi mundur untuk mengambilnya. Aku kaget setelah melihat bahwa yang datang adalah Dinda.

"Haaaaaiiiii.." sapanya dengan gaya yang khas.

"Eh, Dek," jawabku. "Aku tadi ke rumahmu, ketemu Bapak," kataku sambil membukakan pintu gerbang untuk Dinda.

"Serius?" tanya Dinda.

"Iya, aku titip surat buat kamu, ke bapak.. isinya..." 

"Stop! Jangan dibilangin sekarang, nanti nggak surprais, hehehe.." potong Dinda sebelum aku selesai bicara.

"Yaudah, masuk dulu sini.." perintahku.

"Nggak ah, mau pulang aja.. hahaha.." kata Dinda sambil menuntun motornya.

"Eeee, jangan dong.. Kan udah sampai sini, baru aja ketemu.. masa mau langsung pulang?" Sergahku.

"Hihihi, kan tadi kamu udah ke rumahku.."

"Tapi kan belum ketemu kamu, Dek.."

"Nih, sekarang udah ketemu, aku pulang yaa.." Dinda berkata begitu tapi menuntun motornya untuk masuk ke dalam. Suka bercanda dia mah.

"Hmmmm.. katanya mau pulang, kok malah masuk?" ledekku sambil menutup pintu gerbang.

"Hahahaha.." Dinda tertawa riang.

"Gimana sertifikasinya kemarin, lancar?" tanyaku sambil memegang pundaknya.

"Belum, baru Sabtu besok.." jawabnya sambil melepas helm dari kepalanya dan menaruhnya di spion motor.

"Ealaaaah, aku kira sudah Sabtu kemarin, makanya aku..." aku tidak meneruskan kalimatku.

"Kenapa? Kok nggak diterusin?" tanya Dinda penasaran sambil meraih tanganku untuk salim.

"Nggak apa-apa.." jawabku sambil membiarkan tanganku di cium Dinda. Aku kecup keningnya. "Yuk, duduk dulu.."

Aku mengajaknya duduk di sofa di dalam ruangan karena di luar dingin. Angin sedang bertiup yang dinginnya melebihi rindu. Kami duduk bersebelahan. Dinda masih menggendong tasnya. Kemudian minum air dari botol minumnya yang selalu dibawa ke mana pun dia pergi. Setelah Dinda minum, gantian aku yang minum. Lalu aku peluk Dinda.

"Aku rindu.." bisikku di telinganya.

"Sebentar, kacamataku mengganggu," ujarnya.

"Yaudah, dilepas dulu, Dek," usulku. Kemudian Dinda melepas kacamatanya.

"Nih, sudah," dia berkata sambil menyerahkan kacamatanya padaku agar aku meletakkannya di atas meja.

"Ulangi ya adegannya.." pintaku sambil memeluk Dinda. "I miss you.." bisikku lagi.

"Aku enggak.." balas Dinda. Tapi aku yakin dia pasti bohong.

"Kalau nggak rindu, ngapain malam-malam begini datang kesini?" ujarku sambil tetap berpelukan.

"Hehehe.." Dinda cuma tersenyum. Aku lepaskan pelukan.

"Udah makan?" 

"Udah tadi, di kantor SCI.."

"Oo, kamu habis dari SCI?" tanyaku.

"Iya.. habis menyelesaikan semua urusan hari ini, biar besok udah bebas dan santai.." jawab Dinda.

"Baguslah kalau begitu, eh, tadi aku sempat kepikiran mau nyusul ke SCI juga setelah nggak ketemu kamu di rumah, tapi nggak jadi, takutnya kamu pas nggak ada di kantornya.."

"Emang tahu kantor SCI dimana?"

"Tahu, di Tarudan, dekat rumah temanku.. ada pos rondanya kan di depan kantor?" 

"Iya, bener.. hehe."

"Aku kan pernah lewat situ, nyari kamu beberapa hari lalu.."

"Ngapain nyari aku? Kangen yaaa? Hayoooo.." Dinda bertanya sambil mencubit mesra perutku. Tapi semesra-mesranya cubitan Dinda tetap saja sakit rasanya.

"Eh, hehe, iya.." aku tersipu.

"Tadi siang tuh, niatnya aku mau ke sini, mau ngajak kamu buat ikut ke tempat aku ngasih les sama ikut ke kantor SCI, tapi nggak jadi.. soalnya aku ingat harus ke bengkel dulu servis motor, biar nggak dikomentari ibu lagi.. motornya besok subuh mau dipakai ibu ke pasar.. eh, malah di bengkelnya kelamaan, nggak jadi kesini, deh.." jelas Dinda panjang lebar.

"Oo.." 

"Kamu tahu nggak? Hari Minggu kemarin juga, aku niatnya mau ke sini pagi-pagi naik sepeda.." tutur Dinda.

"Mau ngajakin beli sarapan ya?" aku memotong.

"Bukan, emang mau sepedaan aja, tapi, pas lihat jam setengah enam pagi dan langit masih agak gelap, aku tidur lagi.. eh, pas bangun udah jam delapan, hahaha.." lanjut Dinda.

"Jam berapapun kamu kesini, pintu akan tetap aku buka Dek.."

"Iya, tadinya mau kesini, tapi tiba-tiba ada temanku datang.. yaah, gagal lagi deh.." tutup Dinda.

"Yaudah, kapan-kapan lagi aja ya.. sepedaan sambil beli sarapan berdua.. boncengan lagi, seperti waktu itu.." ajakku.

"Iya, Mas.."

"Aku mulai ngantuk Dek," kataku sambil menyandarkan kepalaku ke bahu Dinda.

"Yaudah aku pulang ya, biar kamu bisa tidur.."

"Nggak jadi ngantuk kalau ada kamu, hehehe.." kataku mencegah Dinda untuk pulang.

"Jam sepuluh lewat lima belas nanti aku pulang.." ujarnya.

"Jam sebelas," pintaku.

"Nggak bisa, pokoknya sepuluh lima belas," tegas Dinda.

"Setengah sebelas deh, ya.. ya?" aku menawar.

"Sepuluh lewat lima belas, titik." 

"Yaudah deh, sepuluh lewat lima belas.." aku nyerah.

"Dua puluh menit dari sekarang."

Setelah berkata begitu Dinda menyandarkan kepalanya di dadaku. Detik demi detik waktu terus berjalan. Kepala Dinda sekarang sudah ada di pahaku. Selama waktu berdetik itu tubuh dan tanganku tak luput dari cubitan dan gigitan. Sampai Dinda lupa untuk pulang, jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas.

"Nggak jadi pulang Dek?" tanyaku.

"Mager.. entah kenapa kalau di sini tuh bawaannya nggak pingin pulang, betah di sini.." ujar Dinda manja sambil menggeliat manja.

"Yaudah, nggak usah pulang.."

"Bisa digrebek tetangga nanti.. di bom sama ibu juga.. Hahaha"

Sekarang posisi Dinda sudah duduk bersila di atas sofa. Aku yang sudah ngantuk langsung merebahkan kepalaku di atas paha Dinda. Gantian. Dinda pun memainkan rambutku yang baru saja aku cukur sore tadi.

"Mas, kamu potong rambut ya?" tanya Dinda sambil terus memainkan rambutku.

"Iya, soalnya mau ke rumah kamu, harus tampil beda.. dulu kan aku ke tempatmu waktu rambutku masih gondrong dan bleaching-an.."

"Hahahaha.. Ibu udah lihat berarti?"

"Tadi tuh nggak ada ibu, adanya cuma bapakmu.. Sena juga nggak ada," jelasku.

"Ibu kemana ya?" pertanyaan retoris Dinda.

"Ya nggak tahu aku."

"Potonganmu kalau ketahuan ibu bisa dikomentari lho.."

"Ini kan bagus, model rambut kayak Elvys Presley.. tadi waktu ditanya tukang cukurnya mau dipotong model gimana, aku tunjukin aja fotonya Elvys.. dan aku juga mengarahkan tukang cukurnya biar pas.. jadilah begini.." ceritaku.

"Ra wangun," kata Dinda dalam bahasa Jawa yang artinya "tidak bagus." tapi pasti dia bercanda.

Dinda mendekap kedua pipiku dengan kedua tangannya. Lalu perlahan wajahnya mulai turun menuju ke wajahku yang terbaring di pangkuannya. Yang terjadi adalah Dinda menggosok-gosokkan hidungnya dengan hidungku. Ah, rasanya seperti anak kucing saja aku dibuatnya. Lalu aku bangkit dari rebahanku. Duduk dan merangkul Dinda. 

"Dek, besok ke sini lagi ya, lihat bulan purnama, lampunya dimatikan seperti dulu," pintaku.

"Nggak mau, besok aku mau beli benang, dan dilanjutkan dengan merajut, asyiik.." ujar Dinda.

"Yaudah, aku ikut beli benang ya.."

"Aku mau beli benangnya sama Ina, murid les ku.."

"Oo.. pulangnya mampir sini lah.." rengekku.

"Nggak mau, weeek.."

"Yaudah deh, kamu memang nggak bisa dipaksa, pokoknya sesuai sama suasana hatimu aja, kalau lagi nggak mau ya berarti nggak mau, kalau lagi mau ya kamu pasti tiba-tiba datang kesini.."

"Iya, hahaha.."

Tak terasa, waktu hampir jam sebelas malam. Dinda berdiri dari duduknya. Katanya sudah ingin pulang. Aku pun berdiri di depannya. Aku masih belum ingin berpisah dari Dinda. Aku memeluk Dinda. Dinda membalas pelukanku dengan erat. Kami berpelukan dalam keheningan malam. Diam tanpa bicara. Mungkin selama lima menit. Sampai kemudian aku membuka percakapan.

"Dek, aku masih ingin bersamamu," bisikku lirih.

"Besok-besok lagi masih bisa bertemu," balasnya.

"Tapi susah, kamu nggak pegang hape," bisikku lagi.

"Kan kita pakai telepati.. kita masih bisa terhubung kok, tenang saja.." ujar Dinda.

"Iya, Dek.. Tuhan punya malaikat yang tugasnya menyampaikan pesan dari hati ke hati.." aku membisikkan ini pada Dinda tepat di telinganya.

"Hahahaha.. kok rasanya aneh ya.. aku nggak biasa di giniin.. hahahaha.." Suasana romantis jadi buyar karena Dinda tiba-tiba tertawa dan melepaskan pelukan.

"Hmmmm.."

"Udah ah, Adek mau pulang," katanya.

"Iya, kacamatamu jangan lupa.." aku mengingatkan Dinda.

"Ini sudah, yang belum ketemu malah kunci motorku," jawab Dinda.

"Itu di atas kursi," tunjukku.

"Oh iya.." kata Dinda seraya mencomot benda itu.

Kami berdua keluar. Sudah sepi. Langit tertutup mendung sehingga bulan pun tidak menampakkan wujud dan sinarnya. Dinda sudah naik di atas motornya, lengkap dengan tas, helm, masker, dan kacamatanya. Sementara aku membuka pintu gerbang. Sebelum keluar menuju jalan, Dinda berhenti untuk salim kepadaku. Seperti biasa, aku pun memberi kecupan di keningnya.

"Besok ke sini lagi ya, Dek.." pintaku.

"Nggak mau.. Aku pulang dulu ya.. Dadaaaaa.. potongan ra wangun.. hahaha.." ujar Dinda sambil melajukan motornya.

"Hati-hati, Dek.." balasku.

Malamnya kembali menjadi sepi. Tak tahu berapa lama lagi harus berpisah. Menunggu hingga Dinda datang lagi. Menanti walau tak pasti. Tapi, seperti yang Dinda bilang, masih bisa terhubung dengan telepati. Saling menyebutkan nama dalam setiap doa. Serahkan semua kepada Yang Maha Kuasa.

BERSAMBUNG

PURNAMA TERSAPU HUJAN