Senin, 29 Januari 2018

CERPEN IYAS

DIBAWAH PAYUNG BELANG

Cuaca Jogja sedang basah, setiap sore menjelang malam selalu hujan. Bahkan sore itu pun langit sudah gelap karena mendung, padahal masih jam lima sore. Dan yang biasa terjadi pun terjadilah. Ya, Hujan turun membasahi bumi Jogja lagi dengan rintik-rintik air yang seperti jarum menari-nari diatas tanah dan aspal. Menjelang maghrib hujan tak reda. Si Budi murung menghitung laba. Surat kabar sore dijual malam. Pertanyaannya, siapakah si Budi? Kenapa tiba-tiba muncul dalam cerita ini? Oh, si Budi adalah penjual koran yang ada di perempatan Gramedia sana dan tidak ada hubungannya dengan cerita ini, jadi lupakan saja si Budi. Hujan turun dengan deras dan kadang disertai angin. Tapi Aang sudah mandi sore itu. Biasanya dia mandi sekali sehari kalau pagi aja pas mau berangkat kerja. Sore ini tidak seperti biasanya, karena Aang sudah janji mau main kerumah Iyas malamnya. Aang adalah pemuda yang selalu berusaha menepati janjinya. Jadi walaupun malam nanti hujan tetap turun, dia tetap akan datang kerumah Iyas. Karena dia punya payung.

Sementara Iyas dirumahnya sedang mandi. Nggak pakai baju balet. Adegan Iyas mandi dilewati aja ya. Biar tidak kena tegur KPI. Sekarang Iyas sudah berpakaian rapi. Dia mengambil handphone nya dan membuka aplikasi whatsapp. Mengirim pesan kepada Aang.

"Nanti jadi kesini nggak?" tulis Iyas.

"Jadi.." balas Aang singkat.

"Jam berapa?" tanya Iyas.

"Habis isya, tunggu aja dirumah.." jawab Aang.

"Ok."

Sesudah maghrib Aang pergi meninggalkan kost-annya. Dengan kaos oblong polos hitam dan celana jeans hitam panjang serta membawa tas dan juga payungnya. Seperti kata pepatah, Sedia Payung Sebelum Hujan. Benar dugaan, hujan turun lagi ketika Aang sedang berjalan menuju halte TransJogja, untungnya dia bawa payung jadi tidak perlu repot numpang berteduh diemperan toko. Hujannya lumayan deras tapi Aang tidak gentar demi menepati janji kepada Iyas. Akhirnya dia sampai juga di halte TransJogja dan membayarkan uang tiga ribu lima ratus kepada petugas yang berjaga.

Tidak lama kemudian Aang naik ke dalam bus 2A yang rutenya melewati rumah Iyas. Tidak lama, sekitar sepuluh menitan. Itu juga karena kena lampu merah. Aang turun di halte portable yang bentuknya mini, tidak ada atap dan penjaganya, hanya ada panggung bertangga berwarna hijau tua dan kuning ciri khas Jogja. Ketika Aang turun, hujan sudah reda. Dia pun berjalan masuk gang menuju rumah Iyas yang sebenarnya belum dia ketahui. Cuma kata Iyas, rumahnya warna orens dan bernomor empat puluh tiga. Aang menyusuri gang itu dan mendapati rumah nomer 43. Tapi sepi, jadi dia mencoba menelepon Iyas untuk memastikan bahwa dia tidak salah rumah.

"Halo.. aku sudah di depan rumah nomer empat puluh tiga Yas.." kata Aang.

"Hai.. aku keluar ya.." kata Iyas.

Kemudian mereka bertemu. Iyas membukakan pintu gerbang biar Aang bisa masuk.

"Sini Ang, duduk dulu.." suruh Iyas.

"Ok."

"Payungmu lucu bangeeet.. belang-belang," kata Iyas.

"Orangnya lucu nggak?" tanya Aang.

"Orangnya imut.. hehe," jawab Iyas sambil masuk ke dalam dan menyalakan lampu teras. Ctek! lampu menyala. Tapi Aang seperti tidak suka lampu yang terlalu terang. Mungkin dia keturunan vampir, masih kerabatnya Edward Cullen.

"Lebih asyik remang-remang Yas.." kata Aang.

"Oh gitu ya.." Iyas menimpali.

"Iya.."

"Eh, Ang.. mau minum apa?" tawar Iyas.

"Wedhang Jahe biar anget," jawab Aang.

"Tapi adanya jahe merah yang waktu itu kita beli di pasar Beringharjo," kata Iyas lagi.

"Nggak apa-apa yang penting jahe, hehe.."

"Ya ampun to the point banget, eh itu kuenya dimakan.." kata Iyas sambil menunjuk toples dan berjalan masuk ke dalam untuk memasak wedhang jahe. Tapi kemudian keluar lagi.

"Ang, pindah kesamping aja yuk.." ajak Iyas.

"Lewat mana?" Aang bertanya.

"Lewat situ aja.. payungnya dibawa.. dapurnya juga lebih deket disamping," jelas Iyas kepada Aang.

Kemudian Aang berjalan melewati rerumputan dan sampai di garasi yang ada mobil kijang dan beberapa motor bebek. Jadi bingung, sebenarnya itu garasi atau kandang hewan? kok ada kijang dan bebek nya.. Ah, yang penting cerita tetap berlanjut.

"Sini Ang, duduk disini," kata Iyas sambil menggeser meja dan kursi.

"Siap grak!" kata Aang sambil meletakkan toples dan tisu yang tadi dia bawa ketika pindah.

"Ang, main sulap lagi dong.. kayak waktu di Tamansari.." todong Iyas.

"Sabar dong Yas.. baru juga nyampe, wedhang jahe nya aja belum mateng.. hayoo.. yang masak bukan kamu ya?" Aang berkata.

"Ehehe tau aja kamu, aku nggak bisa bikinnya.." timpal Iyas.

"Pakai bantuan ibu ya?"

"Iya.. hehehe," Iyas berkata sambil diikuti tertawa kecil.

Tiba-tiba ada tukang bakso lewat dengan memberi kode menggunakan mangkuknya yang kosong dipukul pakai sendok. TING! TING! TING! begitu bunyinya. Untung bunyi TING-nya tiga kali, kalau dua kali mungkin dia bukan tukang bakso, tapi penyanyi dangdut yang kesana kemari mencari alamat palsu. Untungnya lagi tuh abang tukang bakso mukul mangkuknya nggak pakai palu, coba kalau pakai palu, pasti bunyinya cuma sekali. Itu juga bukan TING! tapi PYARR! pecah mangkuknya. Hihihi

"Yas, suara apa tuh?" tanya Aang.

"Tukang bakso.. kamu mau?" jawab Iyas.

"Mau.. kebetulan belum makan.. hujan-hujan gini asyik juga makan bakso..," Aang berkata tanpa basabasi.

"Yaudah, bentar ya.. kamu komplit apa kosongan?"

"Komplit!" jawab Aang semangat.

Iyas berjalan ke gerbang dibawah payung dan bilang ke tukang bakso bahwa dia mau beli dua porsi. Iyas pun menunggui tukang bakso yang sedang meracik bakso di depan gerbang rumahnya. Beberapa jurus kemudian bakso selesai dibuat dan dibawa Iyas menggunakan nampan punya tukang baksonya. Betapa repotnya gadis itu, memegang payung dan nampan sekaligus.

Tanpa basa basi mereka langsung menyantap bakso hangat itu. Tentunya sambil diselingi obrolan yang nggak penting untuk kalian dengar, tapi penting bagi mereka berdua. Setelah selesai makan bakso, Iyas mengembalikan mangkuk dan nampan punya abang tukang bakso sembari membayarkan sejumlah uang tunai. Sah? Sah? Saaah..

"Ang, bawa alat sulap yang kalung itu nggak?" tanya Iyas.

"Bawa.. bentar ya aku cari, ini tasnya penuh alat kartu.. kemarin baru beli lagi dua pak," jelas Aang.

"Emang yang kemarin kurang?" tanya Iyas.

"Pesulap harus punya banyak kartu, soalnya trik yang dimainkan juga banyak Yas.." jawab Aang.

"Oo gitu ya?"

"Iya.. dan kartu yang mahal itu kartu merk Bicycle.."

"Emang berapa harganya?" Iyas bertanya.

"Seratus ribu.. tapi aku beli yang bajakan lima puluh ribu, hehe.."

"Kalau kartu yang ini yang beli ditoko biasa, berapa?"

"Itu lima ribuan satu pak, murah kan?"

"Iya murah, mau beli ah.." kata Iyas.

"Buat apa?" Aang bertanya.

"Buat latihan sulap kayak kamu.. hehe," Iyas menjawab.

"Jadi mau diajarin main ring and chain nggak? nih udah ketemu alatnya.."

"Jadi, mana?"

"Nih.. gini caranya.." jelas Aang kepada Iyas.

Mereka berdua ngobrol sambil sesekali diselingi Aang bermain sulap kartu yang selalu membuat Iyas keheranan kenapa kartu pilihannya selalu bisa ditebak oleh Aang. Tapi Aang tidak mau mengajarkan cara bermain sulap kartunya, dia hanya mengajarkan cara bermain ring and chain sampai Iyas bisa. Diselingi rayuan gombal dan modus tentunya. Waktu berjalan begitu cepat ketika kamu sedang bersenang-senang. Begitupun yang terjadi pada mereka berdua. Tak terasa waktu mulai merangkak menuju malam, padahal hujan belum berhenti. Mereka dikagetkan oleh suara seorang wanita yang tiba-tiba nongol diantara pintu gerbang.

"Udah malem lho dek.." kata wanita itu yang ternyata adalah ibunya Iyas. Anak segede itu dipanggil dek, hehe.. Ya, karena Iyas anak tunggal mungkin.

"Eh oh, jam berapa sekarang Yas?" bisik Aang merasa tidak enak.

"Jam setengah sepuluh.."

"Yaudah, aku pulang aja ya.." kata Aang.

"Aku antar ya.. jam segini kan udah nggak ada Transjogja.." tawar Iyas.

"Udah malam lho Yas, kamu dibolehin nggak?" tanya Aang.

"Nggak apa-apa, aku anter naik motor.." jawab Iyas.

"Yaudah ayo, ada jas hujan kan?"

"Ada di jok.."

Setelah membereskan semuanya, Aang dan Iyas pun berboncengan naik motor. Membelah malam dikota Jogja yang sedang hujan deras dibawah jas hujan yang berkibar-kibar. Malam yang dingin itu membuat Iyas kedinginan dan menyuruh Aang untuk memelankan laju motornya.

"Ang.. jangan ngebut.. dingin.. brrrr," kata Iyas.

"Kalau dingin peluk aja Yas, hehe.."

"Huuu maunya.."

"Yaudah, aku pelan-pelan bawa motornya.. mana tanganmu?" Aang berkata sambil melepas pegangan tangan kirinya pada stang motor.

"Buat apa?" tanya Iyas.

"Biar tanganmu hangat.. nih genggam tanganku.." suruh Aang.

"Hehe.. iya.. kok jadi anget ya? tanganmu anget Ang.." kata Iyas sambil menggenggam tangan Aang.

"Aku kan berdarah panas.. hahaha"

Kemudian sampailah mereka didekat kost-an Aang. Aang sengaja menghentikan motornya agak jauh dari kost-an untuk menghindari pertanyaan dari penghuni kost yang masih terjaga malam itu. Aang membuka payungnya dan meminta Iyas untuk memegangnya sementara Aang melepas jas hujan dan helm yang dipinjami Iyas. Setelah itu gantian Aang yang memegangi payung dan memakaikan jas hujan kepada Iyas.

Saat itu, Aang mencari wajah Iyas. Sebenarnya ingin menciumnya di bibir biar romantis kayak di film-film itu. Tapi ternyata Iyas memakai masker. Yaaah gagal deh romantisnya. Tapi Aang tidak kehilangan cara untuk tetap menciptakan adegan romantis itu. Aang mengecup Iyas dikeningnya dibawah payung belang dikala hujan deras yang dingin itu. Sebelum akhirnya Iyas pergi untuk pulang kerumahnya.

"Hati-hati Yas.." kata Aang yang juga sambil berjalan dibawah payung belang dikala hujan deras malam itu.

BERSAMPUN